Tanpa Bimbel, Lolos SNM PTN Kedokteran Unair
Ratna Devi Antari, 18, berbeda dengan rekanrekan sebayanya. Mereka sibuk meng- update status di media sosial. Gadis yang tinggal di Desa Katimoho, Kecamatan Kedamean, itu memilih menghabiskan waktu dengan membaca buku dan Alquran. Ketekunannya berbuah man
MATA Ratna Devi Antari baru akan terlelap di rumahnya, Desa Katimoho, Kecamatan Kedamean. Namun, perempuan 18 tahun itu terbangun karena mendengar suara dari ponsel yang menandakan bahwa ada pesan singkat atau SMS yang masuk. Isinya membuat anak sulung dari dua bersaudara tersebut sangat senang.
Alumnus SMAN 1 Cerme itu mendapat kabar bahwa dirinya diterima di Fakultas Kedokteran (FK) Unair, Surabaya. Ratna lolos SNM PTN (seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri) lewat jalur prestasi atau undangan. ”Saya sempat tidak percaya kabar itu. Saya langsung ngabari ibu,” ucapnya pada Sabtu (15/7).
Sang ibu, Satumi, langsung bersujud sambil beberapa kali mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa. Satumi menuturkan, selama ini, Ratna membuat dirinya bangga. Salah satu keistimewaan Ratna adalah hafal 25 juz Alquran.
Namun, Ratna menyebutkan, bukan prestasi menghafal ayat suci yang disertakan saat pendaftaran SNM PTN jalur undangan di Unair. Dia hanya melampirkan nilai rapor dan sertifikat juara palang merah remaja (PMR) tingkat kabupaten yang diraih di bangku kelas XI IPA-2. ”Sebab, saya belum hafal 30 juz,” kata alumnus madrasah ibtidaiyah (MI) Darussalam tersebut.
Sejak madrasah hingga sekolah menengah atas, nilai rapor Ratna tergolong moncer. Dia selalu nangkring sebagai juara kelas. Keterbatasan ekonomi tidak membuat Ratna menyerah pada keadaan. Ayahnya, Abdul Rokhman, berprofesi sebagai tukang bangunan. Ratna pun antusias mengejar cita-cita menjadi dokter dengan rajin belajar.
Salah satu kunci keberhasilannya adalah kedisiplinan waktu belajar dan membaca Alquran. Setelah salat Magrib, dia selalu menyempatkan membaca kitab suci. ”Walau satu ayat, saya berusaha istiqamah,” tutur gadis berjilbab itu.
Kemudian, dia melanjutkan membuka buku pelajaran. Bila sedang mood, Ratna bisa belajar berjam-jam. ”Orang tua mengajarkan sejak saya sekolah madrasah. Jadi, sudah terbiasa tanpa harus disuruh untuk belajar,” jelasnya.
Selama sekolah, Ratna juga tidak merepotkan orang tua. Jarak rumahnya dengan SMAN 1 Cerme sekitar 10 kilometer. Selama tiga tahun, dia membawa bekal makan siang dan berangkat pukul 06.00 dari rumah. ”Ratna itu anaknya manut, nggak nekoneko. Semua masakan ibu dilahapnya,” ungkap Satumi.
Ratna juga tidak pernah terlambat masuk sekolah, meski air Kali Lamong sedang meluap. ”Saat Jalan Raya Boboh kebanjiran, itu kondisi paling sulit,” ujarnya.
Memasuki kelas XII, Ratna mengaku sempat gundah. Sebagian besar teman Ratna di sekolah mengikuti bimbingan belajar (bimbel). Biaya bimbel yang mahal membuat Ratna mengurungkan niatnya. Dia pun belajar sendiri. ”Ibulah yang selalu memberikan dukungan kepada saya. Bahkan, ibu kerap mendoakan saya agar kelak bisa menjadi dokter,” tuturnya. (c18/dio)