Jawa Pos

Rindu Kampung Halaman di Inggris dan Indonesia, tapi Takut Pulang

Datang dari berbagai negara, perempuan-perempuan yang pernah menikah dengan para pejuang ISIS ini kini gundah. Meski sangat rindu kampung halaman dan tidak sabar kembali hidup normal, mereka ragu meninggalk­an Syria karena cap sebagai anggota ISIS.

-

’’SAYA sangat mencintai hidup. Saya menyukai pekerjaan saya. Saya suka celana jins dan make-up saya. Saya rindu orang tua saya,’’ kata Saida sebagaiman­a yang dikutip CNN kemarin. Sejak meninggalk­an Prancis, penduduk Montpellie­r itu praktis kehilangan segala kenikmatan hidup. Kini janda Yassin, pejuang ISIS asal Maroko yang tewas dalam serangan udara Amerika Serikat (AS), tersebut hanya bisa mengenang kehidupan lamanya.

Seperti sebagian besar perempuan Eropa lainnya, Saida hijrah ke Syria untuk bergabung dengan ISIS. Tepatnya menikah dengan pejuang ISIS dan hidup sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan, dia sempat memimpikan berjemur di pesisir Laut Mediterani­a dalam balutan bikini. Namun, semua itu tidak pernah terjadi. ’’Satu-satunya hal yang paling saya inginkan adalah pulang,’’ ujarnya.

Namun, Brett McGurk, diplomat Amerika Serikat (AS) yang ikut merancang strategi melawan ISIS, menyangsik­an hal itu. ’’Itu hanya omong kosong,’’ tegasnya. Berdasar laporan intelijen, 3.000–3.500 pejuang asing ISIS memilih untuk bertahan di Raqqa sampai titik darah penghabisa­n. Mereka lebih memilih mati ketimbang pulang. Jones, salah satunya.

Di kamp pengungsi yang kini didominasi kaum hawa dan anak-anak tersebut, berbagai kisah pilu dan sendu tentang ISIS berseliwer­an. Salah satunya adalah kisah Difansa Rachmani. Perempuan asal Indonesia itu terdampar di Ain Issa setelah melewati perjalanan panjang dengan ISIS sejak 2015. Dari pusat kekuat- an ISIS di Mosul, Iraq, dia lantas mengusung keluarga besarnya ke Raqqa, Syria.

Difansa adalah satu di antara sedikit istri para pejuang ISIS yang tujuan hijrahnya ke Khilafah Islam bukan untuk menikah. ’’Saya ditawari operasi gratis. Saya juga dijanjikan terapi bagi anak saya yang autis saat itu. Tanpa pikir panjang, saya langsung berangkat (ke Iraq, Red),’’ ungkap ibu tiga anak itu.

Setiba di Mosul, semua yang Difansa harapkan terkabul. Anaknya yang sampai usia 3 tahun masih merangkak pun kemudian bisa berjalan. Kesuksesan itulah yang membuat dua perempuan Indonesia lain yang mengenal ISIS lewat propaganda online kelompok tersebut mengikuti jejak Difansa. Kakak beradik Syarafina Nailah dan Nur Kharadhani­a lantas menyusul. Bukan ke Iraq, melainkan ke Syria.

Bagi tiga perempuan Indonesia yang tinggal di Raqqa sebagai pengikut ISIS itu, perubahan sikap suami merekalah yang lantas memicu bencana. ’’Suami saya dan teman-temannya tidak mau lagi berjihad. Mereka memilih hidup normal. ISIS tidak menghendak­i itu,’’ ucap Difansa.

Mereka lantas memilih kabur dari Raqqa dan mencari perlindung­an di kamp pengungsi. Namun, status mereka sebagai pendukung ISIS membuat pihak yang bertanggun­g jawab atas kamp pengungsi tersebut tidak begitu saja menyambut dengan tangan terbuka. Difansa, Syarafina, dan Nur boleh tinggal di kamp pengungsi bersama anakanak mereka. Sebaliknya, suami mereka terpaksa menjalani interogasi dan pemeriksaa­n ketat oleh pemerintah di Kota Kobani.

Meski nasibnya tidak jelas, tiga perempuan Indonesia itu masih lebih beruntung. Selain tidak berwajah bule, mereka bisa menjalanka­n ibadah dengan baik. Karena itu, mereka boleh tinggal di kamp pengungsi. Bagi para janda ISIS atau istri para pejuang ISIS yang berasal dari Jerman atau Inggris, pengelola kamp tidak mau ambil risiko. Perempuan-perempuan Eropa itu ditempatka­n di penjara di area kamp itu. (CNN/skynews/hep/c14/any)

 ?? CNN ?? INGIN PULANG: Para janda anggota ISIS berharap bisa meninggalk­an Syria dan kembali ke negara masing-masing.
CNN INGIN PULANG: Para janda anggota ISIS berharap bisa meninggalk­an Syria dan kembali ke negara masing-masing.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia