Guru Tari yang Mantan Sopir tanpa Ijazah Seni
Tak ada jalan lain untuk mewariskan kebudayaan. Selain terus menularkan dan melatihkannya kepada generasi muda. Itu prinsip Dwi Sulistiono. Melalui Sanggar Merah Putih, dia konsisten mengajar tari remo. Gratis.
LUWES betul Kenza Dea, gadis cilik berumur lima tahun. Pinggul kecilnya terlihat megal-megol mengikuti gamelan yang mengalun lewat dua buah pelantang. Matanya melirik ke kanan dan kiri. Terus berusaha menyesuaikan gerak tubuhnya dengan irama musik.
Petang itu, Jumat (14/7), Dea adalah satu di antara 38 anak lain yang sedang berlatih tari. Mereka anggota Sanggar Merah Putih. Dengan kehadiran anak-anak itu, tempat latihan, ruang rapat lantai I kantor Kelurahan Keputran, terasa sangat semarak.
Setelah lima menit anak-anak tersebut berlenggak-lenggok, tiba-tiba musik senyap. Gerakan berhenti. Sontak, bocah-bocah berusia 5–15 tahun itu bingung. Saling berpandangan. Sebagai ganti musik, muncul seruan dari Dwi Sulistiono. ’’Berhenti dulu! Aduh, gerakannya kurang kompak,’’ ujar pendiri Sanggar Merah Putih tersebut.
Pak Gundul, sapaan Dwi, lantas menyuruh para muridnya rehat dan melepas dahaga. Tapi, seruan demi seruan tak kunjung hilang. ’’Ayo, semuanya semangat. Kita harus tampilkan yang terbaik,’’ ujarnya menutup istirahat
Para siswa itu kembali bergoyang seiring Dwi memencet tombol play pada telepon genggamnya.
Ya, Dwi memang punya modal besar dalam mengajar. Yakni, semangat dan motivasi diri. Itulah yang terus dia tularkan agar selalu ada anak yang berlatih di Sanggar Merah Putih.
Tak seperti yang lain, Sanggar Merah Putih tidak mematok biaya. Dwi bekerja prodeo (untuk Tuhan) alias gratisan. Dengan begitu, tak ada ikatan antara Dwi dan muridnya. Sewaktu-waktu bosan, para siswa itu enggak bakal eman kalau ingin keluar dari sanggar yang berdiri sejak 2005 tersebut. Maka, satu-satunya pengikat para siswanya adalah semangat.
Dwi mendirikan sanggar itu karena Bilqis Arij Azizah, anak ketiganya. Waktu itu, Bilqis sedang duduk di kelas III SD. Dia ikut kompetisi tari remo tingkat Surabaya.
Dwi tidak ingat berapa kali putrinya itu mengikuti kompetisi tari. Namun, dia hanya ingat bahwa sang putri kerap cemberut lantaran tidak pernah mendapat juara.
Tidak ingin membuat putrinya terus dirundung kecewa, Dwi melatih putrinya menari remo. Mula- mula sendiri. Lamakelamaan, teman-teman satu tim Bilqis juga dilatihnya. Hasilnya cespleng.
Beberapa pekan kemudian, latihan yang diselenggarakan di halaman rumahnya itu mem- buahkan hasil. Tim tari remo sekolah Bilqis menyabet jawara kategori pelajar se-Surabaya.
Kepercayaan diri Dwi kembali muncul. Dia kembali bersemangat menggeluti tari remo yang sudah belasan tahun ditinggalkannya.
”Saat melatih tari tersebut, saya mulai ingat kembali masa berkesenian ketika masih muda,” terang bapak empat anak itu.
Mantan sopir angkot tersebut memang pernah menjadi pemain ludruk di kampungnya, Dinoyo, pada era ’80-an. Sebagai koordinator ludruk saat itu, Dwi ingat bagaimana setiap kali akan mempersiapkan sebuah pementasan. Selain kesiapan pemain, segala perlengkapan dan tata cara ludruk harus dia perhatikan secara detail.
Dalam pentas itu, Dwi sadar betul bahwa grup ludruk yang terbentuk dari karang taruna kampungnya tersebut punya kekurangan utama. Yakni, tidak ada figur yang dapat menari remo. Padahal, tari itu penting sebagai pembuka pementasan. Karena itu, grupnya harus menyewa penari dari luar ketika akan manggung.
Dwi lantas bertekad mencari guru tari. Bersama lima kawannya, dia belajar pada mendiang Pak Tubi, salah seorang maestro tari Remo Surabaya, pada 1993–1994.
Saat itulah, lelaki berumur 54 tahun tersebut merasa jatuh cinta pada tari remo. Terutama saat mengingat perjuangan sang guru yang dengan sabar melatih dirinya. ”Apalagi, dulu almarhum tidak mau dibayar ketika melatih kami,” kenang suami Yayuk Ningsih itu.
Selain tidak mau dibayar, Pak Tubi selalu mengingatkan pentingnya menularkan keterampilan tari remo kepada banyak orang. Baik secara gratis maupun tidak.
Pesannya, seni tradisi harus tetap diajarkan kepada generasi penerus. Agar tidak punah. Tidak digerus zaman. Petuah sang guru itulah yang terus membekas hingga kini.
Sukses mengantar sang putri meraih juara I, Dwi akhirnya mulai serius membuka sanggar latihan tari. Memanfaatkan pendapa tua di Balai Rakyat Jalan Dinoyo Alun-Alun, Dwi mulai mempromosikan sanggar tarinya kepada warga kampung.
Waktu itu, murid Dwi hanya lima anak. Muridnya kemudian terus bertambah setelah warga tahu. ”Pendaftar mulai ramai ketika tahu latihannya gratis,” jelas alumnus SMAN 9 itu.
Selain lantaran cinta berkesenian, keputusan Dwi membuka sanggar tari di kampung halamannya itu sebenarnya memiliki misi khusus. Yakni, membangkitkan generasi muda melalui kegiatan positif.
Melalui kegiatan tari, Dwi ingin mengubah stigma negatif yang selama ini melekat di kampungnya: sarang miras, narkoba, hingga perjudian. ”Saya tidak ingin kampung ini dikenal karena masalah sosial,” tuturnya. Untuk itu, generasi mudanya harus diberdayakan.
Kesuksesan Dwi menarik minat banyak kalangan. Terutama dari sekolah-sekolah. Mereka tertarik mengajaknya untuk bergabung dan mengajari anak-anak menari.
Tawaran tersebut tidak dia siasiakan. Dwi pun gantung setir. Sopir angkot itu lalu menjadi guru ekstrakurikuler sejak 2010. Konsistensinya berbalas. Banyak anak didiknya yang menjadi juara tari. Baik tingkat kota maupun provinsi.
Prestasi teranyarnya adalah mengantar SDN Keputran 1 menjadi juara pertama dalam lomba tari remo tingkat Surabaya. Sekolah itu juara bertahan sejak 2012 hingga 2017.
Dwi memang langganan juara. Tapi, cibiran tetap saja diterimanya. Ada saja pendidik dari sekolah lain yang meremehkannya. Dwi dianggap tak pantas jadi guru seni tari. Sebab, dia tidak punya ijazah seni. ”Kalau ada yang bicara gitu, saya hanya diam dan membalasnya dengan prestasi anak-anak yang saya didik,” tuturnya.
Saat ini Dwi terus memupuk konsistensi itu. Dia juga ingin terus mencetak penari dan pelatih tari muda. Terutama yang mau mengajarkan tradisi negeri kepada generasi berikutnya. Terlebih yang tanpa memungut biaya.
Dwi optimistis, melalui sistem getok tular kepada generasi muda tersebut, kesenian tradisional di Indonesia akan tetap ada. Berlipat ganda. ”Dengan ini, Indonesia tidak perlu khawatir lagi kesenian tradisionalnya direbut oleh negara tetangga,” jelasnya. (*/c6/dos)