Tak Pernah Mau Pasang Tarif
Bagi komunitas ini, seni cukil dengan media tripleks sudah menjadi alat perjuangan untuk menyuarakan aspirasi. Soal kualitas karya, jangan diragukan.
TATAPAN mata Dedy Pradana berfokus pada sebilah papan tripleks di pangkuannya. Sejurus kemudian, dia mulai mencukil tripleks tersebut dengan pisau cukil. Perlahan namun pasti, guratan wajah seorang pria yang mengenakan jas dan dasi mulai tampak.
Sabtu siang (15/7) itu, Dedy tidak sendirian di Kampung Seni Pondok Mutiara. Sekitar delapan remaja lain yang seumuran dengannya duduk tak jauh darinya. Persis di bawah rindangnya pepohonan bambu. Di antaranya, Orinko Aji Kusumo alias Dinyo dan Muhammad Bahrul Ulum. Mereka sibuk melakukan aktivitas yang sama. Mencukil permukaan datar papan tripleks menjadi gambargambar unik dan menarik.
Gambar yang dihasilkan begitu artistik. Ada manusia berkepala tikus yang mengenakan jas, gambar tengkorak dengan bebungaan mengelilinginya, atau gambar para founding fathers seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Gambar itu tambah ” berbicara” dengan kalimat sarat makna. Misalnya, Tuhan tidak pernah menciptakan produk gagal.
Papan tripleks yang sudah penuh cukilan gambar dan tulisan itu kemudian dilumuri tinta sablon hitam. Lalu, ditempelkan pada beberapa helai baju polos. ”Cukil ya seperti ini. Butuh keseriusan dan proses panjang,” jelas Dinyo. Menurut dia, itulah salah satu kegiatan komunitas Punk Delta Art.
Cukil kayu atau xylografi adalah teknik cetak relief dalam seni grafis. Hampir mirip dengan sablon. Perbedaannya, cukil menitikberatkan pada kepiawaian seni menggambar dan mengukir suatu objek. Cukil juga menggunakan media kayu untuk mencetak gambar yang di- inginkan sebelum disablon pada baju.
Dinyo menceritakan, kelompoknya telah mengembangkan seni cukil dalam kurun lima tahun terakhir. Semula mereka belajar dari komunitas punk lain di luar kota. Misalnya, Malang, Mojokerto, dan Surabaya. ”Banyak ketidakadilan di sekeliling kita. Lewat seni cukil ini, kami ingin menyuarakan ketidakadilan itu,” ujar Ulum, ketua Komunitas Punk Delta Art. Selain seni cukil kayu, komunitas tersebut aktif di bidang literasi dengan membuat puisi. Termasuk bermusik.
Sejauh ini, mereka sudah mencetak ratusan gambar dengan menggunakan teknik cukil. Baik kaos, jaket, maupun celana yang dikenakan sehari-hari. Ukuran gambarnya beragam. Ada yang hanya sebesar kantong saku, ada pula yang sampai memenuhi bagian punggung atau bagian dada pakaian.
Komunitas Punk Delta Art melayani masyarakat yang ingin bajunya disablon dengan gambar-gambar unik karya seni cukil. Cukup datang dengan membawa baju yang ingin disablon ke Kampung Seni Pondok Mutiara. Soal harga, para seniman muda itu tak pernah mematok. Seikhlasnya saja. ”Ini salah satu bentuk kepedulian pada masyarakat. Kami tidak mematok harga bagi warga yang bajunya ingin diberi gambar cukil,” katanya.
Menurut Ulum, komunitas tersebut memang ingin memberikan penyadaran kepada masyarakat melalui pesan-pesan positif. Mulai keanekaragaman Indonesia sampai cinta Pancasila dan NKRI. Ulum menyebut sudah ratusan warga yang datang. Selain remaja, para pejabat dan pegiat dewan kesenian dari berbagai daerah kerap menggunakan karya mereka untuk menghias baju. ”Keuntungannya kami gunakan untuk kegiatan seni lainnya. Misalnya, menggelar festival musik dan puisi atau untuk membeli peralatan cukil yang rusak,” tutur pria 24 tahun itu.
Komunitas Punk Delta Art terbentuk pada 2013. Sama seperti anak punk lainnya, mereka identik dengan pakaian serbahitam. Beberapa anggota berambut gondrong. Selama ini, mereka aktif menyuarakan keadilan dan tata pemerintahan yang bersih. Bagi mereka, itu merupakan salah satu cara untuk mencuri perhatian pemerintah agar lebih memperhatikan nasib rakyat jelata.
Ke depan, komunitas tersebut bertekad lebih memopulerkan seni cukil kepada khalayak. Selain menyediakan jasa cukil di tempat, mereka akan memperjualbelikan baju yang telah dicetak cukil agar lebih praktis. (*/c21/pri)