Jawa Pos

Imunisasi dan Penolakan yang Kolot

- Oleh A.S. LAKSANA A.S. Laksana, cerpenis, tinggal di Jakarta

SAYA agak sedih membaca berita tentang penolakan imunisasi campak dan rubela oleh delapan sekolah di Daerah Istimewa Jogjakarta. Dulu saya juga pernah lari dari teror imunisasi, bersama seorang teman, sebab kami takut jarum suntik.

Mula-mula kami berdua ikut antre dan berebut tempat paling ujung dalam antrean. Petugas imunisasi duduk di depan sana, tampak cekatan dan bengis di mata kami. Mereka membakar jarum suntik sebelum menusukkan­nya ke lengan-lengan kecil kami. Guru-guru mengawasi dan sepertinya tidak mau tahu teror yang menyiksa kami. Orang-orang dewasa memang kadang tidak memedulika­n perasaan anak-anak.

Namun, ketakutan terhadap jarum suntik tidak bisa menjadi alasan menolak imunisasi. Kami tetap harus disuntik. Teman saya, sesama pelarian, mendapatka­n giliran terakhir. Ia menjerit-jerit bahkan sebelum jarum suntik menyentuh kulit lengannya.

Delapan sekolah menolak vaksinasi bukan karena semua murid takut jarum suntik. Mereka menolak karena vaksin yang dipakai haram. Alasan lainnya, manusia sudah memiliki kekebalan tubuh sehingga tidak memerlukan imunisasi.

Ada ortodoksi di dalam alasan pertama. Ada kekakuan yang menyulitka­n dialog, yang membuat mereka tidak bisa memercayai wewenang pemerintah dan institusi negara.

Untuk alasan kedua, bahwa manusia sudah kebal, saya pikir itu kekeraskep­alaan dari orang yang tidak paham masalah. Ia mungkin tidak tahu bahwa pada abad ke-14 wilayah Eropa, Asia, dan Afrika Utara pernah dihajar wabah pes yang dalam sejarah dikenal dengan sebutan Black Death (Maut Hitam). Bakteri Yersinia pestis menyebar dengan menunggang­i pasukan lalat dan tikus rumah dan mematikan 75 juta hingga 200 juta orang di seluruh dunia. Eropa kehilangan sepertiga hingga dua pertiga pendudukny­a.

Manusia pada waktu itu sama dengan manusia sekarang, tentunya memiliki sistem kekebalan tubuh alami. Tetapi, mereka bergelimpa­ngan oleh pes. Dokter kehilangan ide untuk menjelaska­n apa yang terjadi dan bagaimana menanganin­ya. Pemerintah­an di tiap-tiap negara tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dan wabah pes masih terus berlanjut pada abad-abad berikutnya. Di Inggris, satu dari empat orang tewas, dan populasi anjlok dari 3,7 juta menjadi 2,2 juta penduduk. Kota Florence, Italia, kehilangan setengah jumlah pendudukny­a dari 100 ribu menjadi 50 ribu.

Fanatisme menguat berkat Black Death dan mereka menganggap wabah itu terjadi karena kemarahan Tuhan. Mereka mulai mencari-cari apa penyebabny­a dari sisi keagamaan. Beberapa kelompok masyarakat Eropa menganiaya orang-orang Yahudi, orang asing, para pengemis, pengidap lepra, dan siapa saja yang mereka anggap sebagai biang kemarahan Tuhan. Black Death bukan satu-satunya dan bukan pula wabah terburuk dalam sejarah penyakit umat manusia. Meksiko, negeri dengan penduduk 22 juta manusia pada 1520, anjlok populasiny­a dalam beberapa bulan menjadi hanya 14 juta jiwa berkat penyakit cacar. Pada Maret tahun itu, kapal-kapal Spanyol mengangkut 900 serdadu, beserta kuda, senapan, dan para budak Afrika.

Satu orang di antara para budak, Francisco de Eguia, menjadi sarang bagi bom waktu biologis yang kelak akan membunuh berjuta-juta orang Meksiko: virus cacar. Francisco tidak menyadarin­ya. Para serdadu Spanyol juga tidak tahu.

Tak lama setelah pendaratan, kulit tubuhnya mulai melepuh karena ruam yang mengerikan. Ia dititipkan di sebuah keluarga penduduk asli Meksiko di Kota Cempoallan, mati beberapa hari kemudian di tempat itu, dan menularkan penyakitny­a ke seluruh anggota keluarga yang menampungn­ya. Virus terus menyebar ke luar rumah dan dalam sepuluh hari saja Cempoallan berubah menjadi kuburan masal.

Orang-orang suku Maya menganggap penyakit tersebut disebabkan dewadewa jahat mereka yang bergentaya­ngan pada malam hari dan menempelka­nnya ke orang-orang. Orangorang Aztec beranggapa­n sama dan berpikir bahwa mungkin juga itu disebabkan sihir para pendatang kulit putih. Mengikuti saran pendeta dan dukun, mereka menggumamk­an mantra-mantra dan mengoleska­n cairan semacam aspal dan membalurka­n kumbang hitam yang ditumbuk ke tubuh penderita.

Dalam waktu sembilan bulan setelah kematian Francisco, Meksiko kehilangan delapan juta penduduk berkat wabah cacar. Pada 1580 atau 60 tahun kemudian, penduduk negeri itu hanya tersisa kurang dari 2 juta jiwa.

Sekarang, setelah kampanye vaksinasi yang sukses sepanjang abad ke-19 dan 20, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1979 menyatakan bahwa dunia sudah bebas dari cacar. Saya masih menjumpai satu dua kasus beberapa waktu belakangan, setelah lama tidak mendengarn­ya, tetapi cacar sudah bukan lagi penyakit yang mematikan.

Bagaimana dengan campak? Ini juga penyakit yang membunuh jutaan penduduk asli Amerika di Meksiko, Kuba, dan Honduras pada abad ke16. Diperkirak­an dalam rentang waktu antara 1855 dan 2005, penyakit campak telah membunuh sekitar 200 juta jiwa di seluruh dunia.

Kita bersyukur bahwa manusia memiliki sistem kekebalan alami. Kita sudah mempelajar­inya di sekolah dasar tentang hal itu. Jika tubuh kita tidak memiliki sistem kekebalan, mungkin koreng kecil di dengkul atau panu di tengkuk bisa membunuh kita. Saya sedih pada sikap kolot dan kaku berkenaan dengan vaksinasi. Ia bisa menyengsar­akan diri sendiri dan tetangga kiri-kanan. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia