Pengaturan SIM Card Mendesak
Mudah Beli Kartu Perdana Dukung Komplotan Tiongkok
JAKARTA – Terbongkarnya sindikat penipuan online asal Tiongkok pada Sabtu lalu (29/7) benarbenar mencengangkan. Sindikat itu beranggota 150 orang. Dari penyidikan Polri, diindikasikan mereka memilih Indonesia sebagai markas operasi karena longgarnya aturan.
Hal itu terkait dengan bebas visa dan kemudahan mendapatkan SIM card untuk telepon seluler di negara ini. Mereka bisa gonta-ganti kartu setiap saat untuk memperlancar aksi. Yakni, memeras korban mereka di Tiongkok melalui sambungan telepon dari Indonesia.
’’Seharusnya, untuk provider seluler, setiap kartu itu dipersyaratkan mengisi identitas,’’ kata Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto kemarin
Seharusnya, untuk provider seluler, setiap kartu itu dipersyaratkan mengisi identitas.” Komjen Ari Dono Sukmanto Kabareskrim
Padahal, itulah HET yang ditetapkan pemerintah sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan No 27 Tahun 2017 yang disahkan Mei lalu.
Bukan hanya beras, harga daging beku pun bernasib sama. Sesuai Permendag No 27, harga daging beku dipatok Rp 80.000 per kg. Namun, yang terjadi di masyarakat, tidak ada yang harganya di bawah Rp 100 ribu.
Pasar memang punya cara ”hidupnya” sendiri. Harga akan ditentukan oleh keseimbangan suplai dan permintaan. Ketika harga naik, intervensi yang bisa dilakukan adalah menggelontor suplai. Intervensi berupa penetapan HET tidak akan berarti apa-apa.
Demikian halnya dengan intervensi berupa penggerebekan dan penyegelan gudang PT Indo Beras Utama (PT IBU) di Bekasi pada 20 Juli lalu. Bukan menurunkan harga, efeknya bisa jadi melambungkan harga. Sebab, kini para pengusaha dan pengepul beras takut menjual beras di atas HET. Padahal, biaya produksi yang mereka tanggung jauh di atas HET.
Gonjang-ganjing PT IBU itu ternyata menyadarkan pemerintah. Hari ini, Kemendag akan mengadakan rapat dengan perwakilan petani, produsen, pedagang, pengawas industri, dan konsumen untuk membahas harga acuan baru beras. Forum tersebut diharapkan bisa melahirkan HET yang masuk akal setelah bertahun-tahun sebelumnya mustahil dipatuhi.
Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Ronnie S. Natawidjaja menyatakan, pemerintah harus realistis melihat tata niaga beras di tanah air untuk menentukan HET. Jangan melirik negara tetangga yang menetapkan harga beras di bawah Rp 10 ribu, kita ikut-ikutan mematok mendekati mereka. Padahal, biaya produksi beras di tanah air jauh lebih tinggi daripada negara tetangga seperti Thailand, apalagi Vietnam.
Di Vietnam, biaya buruh untuk produksi beras 1 kg Rp 120. Bandingkan dengan Indonesia yang mencapai Rp 1.115 per kilogram. Di samping itu, mulai harga pupuk, pestisida, hingga sewa lahan, biaya di Indonesia cenderung lebih tinggi.
Itu belum lagi rantai distribusi yang panjang. Kurang lebih ada tujuh mata rantai perdagangan beras, mulai dari petani sampai pada konsumen. ”Dan setiap rantai itu berpotensi menaikkan harga sekitar Rp 100–Rp 250 per kg!
Akibat panjangnya rantai tersebut, meski harga gabah dari petani berkisar Rp 4.900 per kg, harga beras sampai di tangan konsumen Rp 11.000–Rp 12.000. ”Berasnya sama, kemasannya sama. Tapi, karena berpindah tempat itu, jadi ada ongkosnya,” ucapnya.
Panjangnya rantai distribusi itu terjadi karena petani tidak punya akses langsung ke pasar induk. Bahkan, karena tidak memiliki fasilitas pengeringan gabah, mereka harus menjual gabah ketika belum dipanen kepada tengkulak.
Hal tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan sistem tata niaga di negara tetangga seperti Thailand. ”Kelompok atau koperasi petani di Thailand bisa langsung menjual beras kepada pedagang, bahkan bisa langsung ekspor sendiri,” papar Ronnie.
Rumitnya tata niaga tersebut semakin dipersulit dengan minimnya peran Bulog. Bulog seharusnya mampu menjalankan fungsi untuk menyerap padi petani sehingga pemerintah memiliki stok cadangan dan mampu mengendalikan harga. ”Bulog tidak boleh membeli dari petani dengan harga lebih tinggi dari HPP (harga pembelian pemerintah). Padahal, pedagangpedagang besar itu umumnya membeli di atas HPP. Intinya, Bulog tidak dapat bersaing dengan pedagang besar swasta,” ulas guru besar ekonomi pertanian dan agrobisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Dwidjono Hadi Darwanto.
Dwidjono berpendapat bahwa penerapan harga acuan Rp 9.500 per kilogram tidak akan efektif. Apalagi jika harga acuan tersebut dipukul rata antara beras medium dan premium. ”Kita ambil contoh dari harga petani sekitar Rp 4.900 ribu per kg. Mungkin biaya di tengah sebelum sampai di konsumen itu katakanlah Rp 5.000–7.000, jadi idealnya bisa mencapai Rp 12.000 per kg. Sementara untuk yang premium, kami rasa tidak perlu dipatok acuan. Dilepas saja. Mekanisme harganya akan terbentuk seiring demand konsumen,” jelas Dwidjono.
Anggota Komisi IV DPR Ichsan Firdaus mengungkapkan bahwa penerapan harga acuan (HET dan HPP) harus didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertimbangan pertama adalah soal kemampuan pemerintah. Saat menetapkan harga acuan (HET dan HPP), pemerintah juga harus sanggup melakukan intervensi pasar. Baik dengan melakukan operasi pasar saat harga melebihi HET maupun menyerap gabah petani saat harga drop di bawah HPP. ”Kalau pemerintah nggak berdaya mengendalikan harga, buat apa ada harga acuan?” katanya.
Pertimbangan selanjutnya adalah kesejahteraan. Baik dari sisi konsumen maupun produsen (petani). Ichsan mengungkapkan, jangan sampai HPP terlalu rendah hingga petani merugi ataupun HET yang terlalu tinggi hingga konsumen menjerit.
Selain itu, pemahaman akan harga acuan itu benar-benar harus klir di masyarakat. Dampak dari polemik PT IBU, misalnya, petani berpikir bahwa pemerintah melarang siapa pun menjual ataupun membeli gabah di atas HPP. ”Petani tidak boleh ketakutan untuk menjual padinya. Kalau ada gejolak harga, itu tanggung jawab Bulog dan pemerintah,” jelasnya. (agf/tau/c6/ang)