Jawa Pos

Karena Kebijakan Berumur Setengah Abad

-

BAHWA harga eceran tertinggi (HET) permendag mustahil dipatuhi, itu semata-mata bukan disebabkan harga yang dipatok tidak sejalan dengan dinamika di pasar

Namun, cara penentuan HET tersebut juga tidak sejalan dengan perkembang­an zaman.

Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Ahli Dewan Ketahanan Pangan Khudori menyatakan, kebijakan beras yang dilaksanak­an saat ini sudah berlangsun­g sangat lama, hampir 50 tahun, dan tidak pernah berubah. ’’Lihat saja penggolong­an beras, hanya satu saja dalam permendag,’’ ungkapnya.

Padahal, di pasar saat ini beredar sekian banyak jenis beras. Untuk beras medium saja, ada beberapa varian yang harganya berbedabed­a. Demikian pula beras premium. Belum lagi beras organik yang saat ini kian mendapat tempat di tengah masyarakat.

’’Harga acuan hanya mengatur satu jenis beras, yakni beras medium. Padahal, kalau ke toko kelontong saja, bisa ada lima jenis beras yang dijual. Di Pasar Induk Cipinang malah bisa 18 jenis,’’ ujar Khudori.

Pemerintah seharusnya membuat definisi lebih detail mengenai jenis-jenis beras yang dijual di pasar. Termasuk perbedaan harga acuannya. Hal itu bisa mengurangi kerancuan informasi yang selama ini muncul.

Penentuan harga beras yang lebih terperinci sangat penting untuk memetakan apakah para pelaku industri beras melakukan persaingan yang sehat atau tidak. Karena itu, perlu ada Standar Nasional Indonesia (SNI) yang baru untuk tiap-tiap jenis beras.

Saat ini SNI untuk beras premium, salah satunya, mengatur derajat sosoh yang mencapai 100 persen. Derajat sosoh adalah tingkat terlepasny­a aleuron (kulit ari) yang melapisi biji beras. Tingkat kadar airnya dalam tiap butir beras maksimal 14 persen. SNI beras premium itu perlu diperinci lagi karena varian beras premium juga bermacam-macam. (rin/c5/ang)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia