Saatnya Terapkan Sanksi Sosial
SETYA Novanto (Setnov) akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Setnov diduga kuat terlibat kasus korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP). Dia berkeras untuk memimpin DPR
Budaya mundur saat berstatus tersangka memang belum menjadi tradisi pejabat di negeri tercinta. Apalagi, sistem pemerintahan mengatur bahwa seorang pejabat baru diberhentikan jika berstatus terdakwa. Kelonggaran peraturan itu dimanfaatkan sejumlah pejabat yang bermasalah dengan hukum. Setnov pun merasa tidak perlu mundur dari jabatan ketua DPR meski berstatus tersangka. Apalagi, masih ada peluang mengajukan praperadilan.
Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan jika Setnov tetap tidak mundur dari ketua DPR? Pada konteks itulah penting dipikirkan penerapan sanksi sosial bagi koruptor. Sanksi sosial penting karena pendekatan hukum positif terbukti belum efektif untuk membuat jera koruptor.
Dalam perspektif agama, penerapan sanksi sosial bagi koruptor sejatinya memiliki landasan kuat. Suatu riwayat mengisahkan, ada seorang sahabat yang wafat dalam perang Khaibar. Para sahabat pun memberi tahu Nabi Muhammad. Kemudian, beliau bersabda, ”Salatilah teman kalian!” Maka, berubahlah wajah para sahabat karena Rasul enggan menyalatinya. Nabi pun bersabda, ”Sesungguhnya teman kalian telah menggelapkan harta rampasan perang.” Para sahabat lantas menggeledah barangbarangnya dan menemukan perhiasan dari orang Yahudi yang nilainya tidak sampai 2 dirham (HR Abu Daud).
Riwayat tersebut dapat menjadi rujukan dalam memperlakukan koruptor tatkala meninggal dunia. Keengganan Nabi Muhammad untuk menyalati jenazah korup tor merupakan bentuk sanksi sosial. Pemberian sanksi sosial bagi koruptor juga sejalan dengan usulan sejumlah
O l e h BIYANTO*tokoh agama dan praktisi hukum. Intinya, hukuman untuk koruptor harus diperberat. Di samping dijatuhi hukuman sesuai perundang-undangan, koruptor harus diberi sanksi sosial.
Presiden Joko Widodo ( Jokowi) ju ga per nah meng usul kan agar koruptor diberi hukuman tambahan. Wujudnya bisa menyapu jalan raya sebagai sanksi sosial. Sanksi sosial bagi koruptor juga bisa berbentuk tidak memilih pelaku korupsi sebagai pejabat publik, baik untuk legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Karena korupsi merupakan bentuk pengkhianatan kepada rakyat, kesaksian koruptor juga bisa ditolak dalam proses pembuktian hukum di pengadilan.
Kini ketegasan penegak hukum dalam kasus korupsi e-KTP benarbenar diuji. Sebab, banyak elite negeri yang diduga kuat terlibat. Jika aparat tidak menerapkan hukum secara adil, jangan salahkan rakyat bila memberikan sanksi sosial kepada koruptor. Apalagi, sejauh ini ada pemahaman di masyarakat bahwa hukum akan tajam jika menghadap ke bawah. Sebaliknya, hukum akan tumpul jika menghadap ke atas.
Jika kondisi itu tidak berubah, kepercayaan rakyat kepada penegak hukum akan terus tergerus. Apalagi, kelompok elite yang bermasalah dengan hukum seakan-akan merasa tidak bersalah. Sikap yang ditunjukkan Setnov hanya salah satu contoh. Ironisnya, sistem hukum dan pemerintahan negeri ini nyaris tidak dapat berbuat banyak. Di tengah kondisi tersebut, penerapan sanksi sosial kepada koruptor bisa menjadi alternatif. (*) *) Dosen UIN Sunan Ampel dan wakil sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim