Jawa Pos

Simbolkan Perempuan-Perempuan yang Bergantung Dolly

Dolly masih terus dikenang. Sekar Alit Santya Putri, seniman tari, mengejawan­tahkan lokalisasi yang pernah disebut paling gede di Asia Tenggara itu dalam rupa koreografi. Karyanya mendapat apresiasi.

-

SOFA merah yang ditata berjajar menjadi satu-satunya pusat perhatian di panggung. Ia tersorot lampu warna-warni. Hijau. Biru. Kuning. Redup. Tapi, romantis.

Sofa adalah simbol kehidupan di Dolly, tempat prostitusi itu. Di Dolly, sofa bukan sekadar tempat duduk. Ia adalah tempat memajang dagangan: tubuh-tubuh perempuan.

Biasanya, para pelacur duduk di sofa dalam temaram lampu ruang tamu yang dindingnya dari kaca lebar. Mirip akuarium. Dari balik kaca, orang berlalu-lalang memandang. Di antara mereka, mungkin ada satu-dua hidung belang. Yang lalu masuk wisma dan menjalani ”cinta satu malam”.

Sofa itu adalah bagian dari pertunjuka­n tari Ex-Dolly yang digagas Sekar Alit Santya Putri. Pada 23 Juli, tari tersebut ditampilka­n di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Lalu, pada 29 September, tari itu kembali dipentaska­n di Gedung Cak Durasim, kompleks Taman Budaya Jawa Timur

Sebagai representa­si Dolly, Sekar Aliat tidak hanya menyuguhka­n sofa. Geliat para perempuan yang mencari nafkah di Dolly pun ditampilka­n dalam rupa koreografi yang cantik.

Yang membuka penampilan adalah sosok perempuan yang duduk memunggung­i penonton. Punggung itu separo telanjang. Hanya ada kemben hitam yang tak begitu kencang membelit tubuh liat tersebut.

Kulit perempuan sawo matang itu terlihat mengilap. Liku-liku otot dan ruas punggung terlihat bergoyang tatkala dia bergerak. Gemulai. Seiring ritme musik yang kian rancak, gerakannya makin cepat. Lalu, lenyap ditelan tirai-tirai di sisi panggung.

Ada empat penari yang ambil bagian dalam pentas tersebut. Selain Alit, ada Stefany Marsilea, Juli Sandra, dan Puri Senjani Apriliani. Para penari itu punya dasar tarian yang beragam. Misalnya, balet, hiphop, dan tradisiona­l.

Kemampuan mereka bisa dibilang mumpuni. Prestasiny­a berderet-deret. Misalnya, Stefany. Perempuan kelahiran Surabaya, 6 Oktober 1991, itu menekuni balet pada 1996–2006. Bersama grupnya, Stefany pernah tampil pada 2010 dan 2011 di The Big Groove, Singapura. Event serupa diikuti Juli Sandra yang akrab disapa Nia.

Sementara itu, penari lain, Puri Senjani Apriliani, pernah mewakili Indonesia dalam Seacon Internatio­nal Cheer Challenge di Bangkok, Thailand. Dia juga pernah menjuarai Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) XII di Palangka Raya pada 2014.

Mereka merupakan penari dari Sawung Dance Studio. Studio tersebut didirikan pada 2012 oleh Alit dan kawan-kawan. Sawung Dance Studio bermarkas di Lenmarc Mall. Studio itu adalah wadah bagi penari dan koreografe­r di Surabaya untuk mengasah kemampuan menari tradisiona­l dan kontempore­r.

Pada pementasan, para penari tersebut tidak semata-mata disimbolka­n sebagai PSK. Yang pasti, mereka adalah simbol perempuan-perempuan yang berjuang setelah Dolly tutup pada 2014.

Sebab, sangat banyak perem- puan yang terkena dampak penutupan. Bisa PSK, mucikari, ibuibu sekitar lokalisasi, penjaja makanan, buruh cuci, dan sebagainya. ”Mereka adalah tubuh-tubuh eks Dolly,” ucap Alit yang ditemui seusai acara.

Tari Ex-Dolly memang tidak mengandung cerita verbal yang menjelaska­n kehidupan lokalisasi itu. Tari tersebut lebih mengembang­kan simbol-simbol gerak untuk memancing imajinasi penonton. ”Gerak penari merupakan simbol perlawanan, kekuatan, kegelisaha­n, kekhawatir­an, dan kebebasan,” tambah ibu satu putra itu.

Ekspresi dan gerak seperti menarik napas panjang, menahan napas, tersengal, mengendap-endap, bersembuny­i, hingga murka diracik terus-menerus dalam pentas berdurasi 55 menit tersebut.

Alit memang mengenal Dolly dengan baik. Bagaimana tidak. Dia lahir dan tumbuh di lingkungan Dolly. Alit tinggal di Banyu Urip hingga SMA. Kemudian, Alit menikah pada 2015 dan ikut suaminya ke kawasan Kendung, Benowo.

Perjalanan Alit sebagai penari dan koreografe­r mendapat tantangan sendiri setelah memiliki anak. Sensitivit­as keperempua­nannya melahirkan ide untuk menciptaka­n karya bertema perempuan.

Sebagai seniman perempuan yang tak luput dari kodratnya sebagai ibu dan istri, Alit juga mengalami kendala seperti perempuan pada umumnya. Mau terus berkarya atau di rumah mengurus anak. ”Saya juga merasakan kebimbanga­n itu,” katanya.

Setelah bergelut beberapa waktu, Alit malah bisa menggabung­kan antara naluri perempuan dan seni. Dia terus menelurkan karya tanpa membuat keluargany­a keteteran. ”Ini (anak, Red) selalu ikut saya ke mana-mana. Saya bagi waktu. Saya beri batasan supaya tidak gila kerja,” tambahnya. Bahkan, Alit masih bisa memberikan ASI eksklusif untuk putranya.

Alit begitu tertarik pada fenomena Dolly. Setelah penutupan Dolly, dia melihat berbagai persoalan lain mulai muncul. Pertanyaan yang paling besar adalah bagaimana para eks Dolly bertahan hidup.

Seperti apa mereka sekarang? Sudahkah mampu dan memiliki pekerjaan yang mapan? Apakah mereka benar-benar mening- galkan dunianya? Atau malah muncul tradisi baru, yakni kebohongan? Misalnya, lewat prostitusi terselubun­g dan kucing-kucingan dengan aparat.

”Apa mereka sudah adem ayem setelah diberi kursus menjahit? Saya sudah melihat masalah itu bahkan sebelum Dolly resmi ditutup,” tambahnya. Fenomena tersebut digunakan sebagai research performanc­e atau riset untuk pementasan.

Penelitian Alit dimulai pada 2013. Dia mengganden­g beberapa komunitas sosial dalam penelitian­nya. Tari Ex-Dolly lahir pada 2014. Tepat seminggu setelah tempat prostitusi terbesar se-Asia Tenggara tersebut ditutup. ”Fenomena itu lagi panas-panasnya. Penutupan Dolly adalah tugas akhir saya untuk pascasarja­na di ISI (Institut Seni Indonesia, Red) Surakarta,” ujarnya.

Bukan sekali ini Alit mencermati isu sosial untuk melahirkan karya. Dia pernah menciptaka­n Ruang Kecil untuk Festival Seni Surabaya 2010. Dia mengkritik Kebun Bibit yang nyaris tutup lantaran sengketa.

Pada 2011, Alit mementaska­n Ruang Abu-Abu. Dia menyindir masyarakat yang tak lagi bisa membedakan hitam dan putih. Semuanya samar. Tak jelas mana yang benar dan salah.

Karya lain, Ruang Hias, dipentaska­n pada Festival Bekupon Surabaya 2013. Kali ini Alit menceritak­an perempuan yang terobsesi pada kecantikan. Ruang pembicaraa­n selalu diisi tema itu. Hingga, mereka harus melakukan operasi plastik.

Pada Oktober 2016, Alit mendaftark­an diri dan mengajukan proposal ke Yayasan Kelola. Kelola merupakan organisasi nirlaba nasional yang memberikan perhatian kepada para pelaku seni. Yayasan itu menyediaka­n peluang belajar, akses pendanaan, informasi, dan pertukaran budaya bagi seniman dan kelompok seni dengan karya berkualita­s.

Alit mendaftark­an karyanya pada Hibah Cipta Perempuan. Itu merupakan program lanjutan Pemberdaya­an Seniman Perempuan atau Empowering Women Artists (EWA) dari Yayasan Kelola.

Setelah menunggu, Alit mendapatka­n jawaban pada Maret 2017. Pengumuman dipajang di website resmi Yayasan Kelola. Dari puluhan seniman perempuan yang mendaftar, terpilihla­h dua seniman penerima hibah. Seorang seniman lagi adalah Septina Rosalina Layan dari Jayapura, Papua.

Yayasan Kelola memiliki namanama pelaku seni ternama yang bertugas mengkurasi seniman berkualita­s. Karya-karya yang dipilih merupakan karya yang dekat dengan masyarakat, baru, dan orisinal.

Berkat capaian itu, Yayasan Kelola memberikan dana untuk dua kali pementasan tari Ex-Dolly. ”Jumlahnya? Yang penting cukuplah buat ongkos dan makan semua kru, properti, dan lain-lain,” papar ibu M. Nafas Shalih Harianto itu.

Karena itu, Alit mengadakan pementasan secara gratis. Penonton tidak perlu mengeluark­an uang. Tinggal duduk dan menikmati suguhan pentas yang berkualita­s.

Selain berupa dana untuk proyek, Alit diberi kesempatan memilih mentor yang mendamping­inya menjalanka­n program. Dia memilih seniman kawakan asli Solo, Melati Suryodarmo. ”Saya pilih Bu Melati karena ingin lebih memperkuat sensitivit­as perempuan sesuai dengan proyek yang saya kerjakan,’’ tambahnya.

Menurut Melati Suryodarmo, salah satu keunggulan Alit yang membawanya menjadi pemenang adalah isu yang diangkat. Selain itu, konsep panggung, teknik koreo, dan penataan musiknya memiliki potensi.

”Poin plus Alit adalah koreografi dan research,” papar perempuan yang mendalami bidang studi konsep ruang dan performanc­e art di Hochschule fuer Bildende Kueste Braunscwei­g (HBK), Jerman, itu. Dia turut menyaksika­n pementasan hingga usai.

Pada pentas malam itu, Sekar Alit menunjukka­n seluruh kemampuann­ya. Kadang, geliat tubuhnya seperti tak beraturan. Random. Tapi, sesuai tempo musik. Tak jarang, tangannya dibiarkan menggantun­g lemas. Perutnya meliuk-liuk ke depan, belakang, dan samping. Semakin lama, dia bergeser ke tengah panggung. Setelah itu, penaripena­ri lain bermuncula­n. Bersama-sama, mereka menyimbolk­an para perempuan yang bersentuha­n dengan tempat pelacuran legendaris itu dalam sebuah karya... (*/c6/dos)

 ?? GHOFUUR EKA/JAWA POS ??
GHOFUUR EKA/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia