Juga untuk Koordinasi Pembuatan SIM D
Setelah salat Subuh, dia berniat kembali ke Surabaya. ’’Kebetulan, kalau pagi itu kan truk-truk arah menuju ke Surabaya pasti kencang,’’ ujarnya.
Nah, ketika sampai di Pandaan, dia dikejutkan truk yang hendak menyalip dari lajur kiri. Rudy yang kaget langsung terjatuh. Truk gandeng itu langsung melindas kaki kanannya hingga hancur.
Saat dibawa ke puskesmas, Rudy sudah diberi tahu bakal berjalan hanya dengan kaki kiri. Kaki kanan itu akhirnya diamputasi di RSUD dr Soetomo. ’’Pas setelah diamputasi itu saya tidak kaget sama sekali. Tapi, pas berada di rumah, rasanya saya sudah mau mati saja,’’ tutur Rudy.
Rudy depresi. Dia meratapi nasibnya selama dua bulan. Sebab, dia tidak bisa beraktivitas layaknya masyarakat normal lainnya. Hingga suatu saat, Rudy melihat kisah penyandang disabilitas di televisi. Orang itu berhasil bangkit dan berkarya meski hanya punya satu kaki. Pada acara televisi tersebut, ada satu kutipan yang selalu diingatnya. ’’Kalau kamu dengan kaki satu malu, mending mati saja,’’ tegas warga Tambak Madu Gang II tersebut.
Kini Rudy tidak lagi minder. Dia menjalani hari-harinya bak masyarakat pada umumnya. Kesedihan tidak lagi menghiasi wajahnya. Dia bahkan sering memberi teman- temanya semangat untuk tetap maju.
Nuraidah Aisyah punya kisah lain. Perempuan 39 tahun itu masih trauma akibat kejadian yang dialaminya setahun lalu. Dia terlindas truk tangki air. Kaki kanannya juga harus diamputasi. ’’Saya baru kerja 2–3 minggu ini setelah pemulihan,’’ ucapnya.
Kesedihan masih mewarnai wajah Nuraidah. Sesekali, ketika diajak sharing, dia masih meneteskan air mata. Ingatan terdahulu tentang dirinya yang bisa beraktivitas layaknya masyarakat pada umumnya masih membayang-bayangi. Apalagi mengingat masih banyak orang yang mencemooh. ’’Ada tetangga saya yang tidak suka sama saya. Tahu kaki saya sudah tidak ada, dia ngapok-ngapokno,’’ jelas warga asli Surabaya tersebut.
Mendengar kata- kata itu, hatinya bak teriris-iris. Dia sudah tidak merasa berguna hidup di dunia ini. Sebab, dia sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi.
Namun, sedikit demi sedikit dia mulai pulih. Semangat dia dapatkan dari perusahaan yang masih menerimanya bekerja. Saat masih berada di rumah sakit, dia dijenguk salah seorang atasannya. Hati perempuan yang sehari-hari menjadi tenaga administrasi di salah satu showroom di Kertajaya itu terketuk. ’’Kamu masih bisa kerja. Kamu saya anggap saudara sendiri,’’ ujar Nuraidah menceritakan omongan atasannya.
Anak kedua di antara dua bersaudara itu tidak kuasa menceritakannya. Air mata perlahan membasahi kedua pipinya. Sembari terisak, dia berjanji untuk bangkit. Apalagi setelah ada komunitas seperti ini. Dia merasa tidak sendiri. ’’Jangan dengerin omongan orang saja deh. Itu saran saya,’’ ungkap perempuan yang tinggal di Bogangin, Surabaya, tersebut.
Jika banyak korban laka yang sudah menemukan arah hidupnya, Nyoman Kurnianingsih berbeda. Perempuan 52 tahun itu masih canggung ketika harus berbicara. Dia masih kerap malu bercerita pengalamannya.
Sesekali, air mata juga membasahi pipinya. Kini dia tidak lagi bisa menjabat tangan seseorang dengan formal. Sebab, dokter memutuskan untuk mengamputasi tangan sebelah kanannya. ’’Kecelakaannya terjadi pas 2014,’’ terangnya.
Lokasinya di Jalan Golf, Gunungsari. Nyoman yang berkendara sendiri saat itu menghindari jalan yang berlubang. ’’Dulu Jalan Golf itu tidak sebagus sekarang. Masih banyak lubang,’’ tuturnya.
Karena tidak bisa menjaga keseimbangan, dia pun terjatuh ke arah kanan. Dari arah bersamaan, datanglah sebuah truk gandeng yang membawa pasir. Truk tersebut langsung melindas tangan kanan Nyoman. Tidak bersisa. ’’Saya harus diamputasi dari sikut hingga telapak tangan,’’ katanya.
Nyoman sempat depresi. Namun, berkat dukungan keluarga, dia pun kembali bangkit. Untungnya, dia memiliki keluarga yang sangat mendukung. ’’Alhamdulillah, saya bisa bangkit karena dukungan keluarga juga,’’ ungkap warga Kutisari tersebut.
Beda ceritanya dengan Ika Wiludjeng. Perempuan 36 tahun itu terlihat paling menonjol. Saat berkumpul, dia terlihat paling aktif. Perempuan yang akrab disapa Ari tersebut tampak terus membagibagikan aura positifnya kepada seluruh anggota komunitas yang datang. ’’Jangan sedih. Berserah diri kepada Yang Mahakuasa. Saya tulang punggung keluarga saja bisa kok,’’ tuturnya.
Dari semua cerita anggota korban laka, Ari memang sedikit lebih tragis. Dia dikabarkan telah meninggal karena kecelakaan. Maklum, kejadian pada 19 Mei 2016 itu memang ngeri. Saat hendak pulang ke rumahnya di Sidoarjo, Ari menghindari jalan berlubang.
Tetapi, dia langsung disantap truk trailer dari belakang. Enam ban kiri truk tersebut melindasnya. Katanya, pengalaman itu terjadi begitu cepat. Dia hanya merasakan saat ban terdepan truk tersebut melindas kaki kanannya. ’’Setelahnya, saya tidak kerasa sama sekali,’’ ujar perempuan asli Samarinda tersebut.
Ketika dibawa ke rumah sakit, denyut nadinya tidak lagi terasa. Ari dinyatakan meninggal oleh dokter yang menangani. Namun, keajaiban muncul ketika anaknya datang ke kamar Ari. ’’Saya langsung sadar begitu mendengar suara anak saya,’’ ungkapnya.
Kini Ari tidak hanya bergabung di Komunitas Korban Kecelakaan. Dia juga ikut dalam komunitas lain. Yakni, Disable Motorcycle Indonesia (DMI). Dia berniat menjadi motivator bagi masyarakat yang memiliki nasib yang sama dengan dirinya. Ari tidak mau mereka putus asa hanya karena kekurangan fisik. ’’ Iki lho aku, kenapa harus malu?’’ tegas warga Graha Kota, Sidoarjo, tersebut.
Komunitas Korban Kecelakaan sejatinya terbentuk dari kepedulian jajaran kepolisian. ’’Kami ingin mereka cepat beradaptasi dengan kehidupannya yang sekarang,’’ ujar Kasatlantas Polrestabes Surabaya AKBP Adewira Negara Siregar.
Anggota komunitas itu dihimpun data Unit Laka Polrestabes Surabaya. Mereka yang dulu pernah terlibat kecelakaan dihubungi satu per satu. Khususnya mereka yang mengalami kecacatan permanen karena kecelakaan.
Para anggota komunitas adalah mereka yang mengalami kecelakaan pada 2016–2017. ’’Kalau kecelakaannya tahun ini, mungkin sekarang masih dalam tahap pemulihan,’’ jelas perwira dengan dua melati di pundak tersebut.
Anggotanya memang tidak cukup banyak. Hanya ada 15 orang yang mau hadir dalam peresmian komunitas tersebut. Tentu mereka yang hadir adalah kelompok orang yang mau dikoordinasi. Sebab, tidak sedikit para korban yang merasa minder. Mereka memilih untuk tidak masuk komunitas difabel karena merasa dulu dia adalah masyarakat yang ’’normal’’.
Menurut Adewira, komunitas itu terbentuk bukan sekadar untuk memulihkan psikologis para korban kecelakaan. Tujuan lain adalah mengoordinasi pembuatan SIM D.
Saat ini banyak sekali difabel yang belum mengurus SIM D. ’’Karena itu, pada tahun keselamatan ini, kami menggalakkan masyarakat difabel untuk mengurus SIM D,’’ terang alumnus Akademi Kepolisian (Akpol) angkatan 1999 tersebut.
Adewira hanya berpesan kepada mereka untuk tidak patah semangat. Masih banyak yang mau mendukung mereka di luar sana. Khususnya kepolisian. ’’Jangan patah semangat dan tetaplah berkarya,’’ tutur ayah dua anak tersebut. (*/c14/dos)