Serangan Brutal Teroris Domestik
CHARLOTTESVILLE – Di segala sisi. Kalimat itu dituliskan Donald Trump dua kali dalam pernyataannya yang mereaksi aksi kekerasan di Charlottesville, Negara Bagian Virginia, Sabtu pagi waktu setempat (12/8). Banyak yang menganggap presiden ke-45 AS itu tidak mau berpihak. Dia tidak berani mengecam kelompok nasionalis kulit putih yang jelas-jelas memicu bentrokan di kota yang pernah dinobatkan sebagai kota terbahagia di AS pada 2014 versi National Bureau of Economic Re
search (NBER) itu
Kami sangat mengecam aksi yang menunjukkan kebencian, intoleransi, dan kekerasan di segala sisi. Di segala sisi. Ini sudah berjalan sejak lama di negara kita. Bukan hanya di masa Donald Trump atau Barack Obama. Hal seperti ini sudah berlangsung sangat sangat lama.” Donald Trump, Presiden AS
”Kami sangat mengecam aksi yang menunjukkan kebencian, intoleransi, dan kekerasan di segala sisi. Di segala sisi,” bunyi sebagian pernyataan Trump yang dikeluarkan saat dirinya bersantai di klub golf pribadinya di New Jersey. Pernyataan yang dinilai setengah hati itu langsung menuai reaksi. Publik menyebut Trump memiliki standar ganda. Jika saja pelakunya muslim, suami Melania tersebut tak mungkin berkomentar seperti itu.
Kritik tidak hanya datang dari jagat dunia maya. Tapi juga dari anggota partai yang mendukungnya. Senator Cory Gardner dari Republik meminta Trump menyebut serangan di Charlottesville sebagai aksi terorisme domestik. Senator Ted Cruz dari Partai Republik juga meminta Departemen Kehakiman ikut menyelidiki dan menganggap insiden tersebut sebagai serangan terorisme domestik.
” Trump tak bakal menyebut nasionalis kulit putih sebagai teroris karena itu mendeskripsikan para pendukungnya, staf, keluarga, dan dirinya sendiri,” cuit salah seorang netizen, C.J. Werleman. Kelompok nasionalis kulit putih memang kian berani muncul saat masa kampanye pilpres AS tahun lalu. Dalam setiap aksi, mereka selalu menyatakan dukungan terhadap suami Melania Knauss tersebut.
Trump sendiri kerap mengeluarkan kebijakan yang dianggap rasis. Sebut saja Muslim Ban yang melarang warga dari negaranegara tertentu masuk ke AS. Atau keinginannya membangun pagar di perbatasan dengan Meksiko untuk mencegah warga negara tersebut masuk dan berbuat ”criminal” di AS.
Tahu bahwa pimpinannya dikecam banyak pihak, Gedung Putih buru-buru mengklarifikasi. ”Presiden kemarin mengatakan bahwa dia mengecam semua bentuk kekerasan, kebencian, dan kefanatikan. Juga, tentu saja itu termasuk supremasi kulit putih, Ku Klux Klan (KKK), neo-Nazi, dan semua kelompok ekstremis lain,” bunyi pernyataan Gedung Putih kemarin (13/8). Kasus yang menjadi sorotan dunia itu kini sudah ditangani FBI.
Saat kejadian, ada dua kelompok massa yang berkumpul. Yaitu kelompok nasionalis kulit putih yang dipimpin aktivis Jason Kessler dan kelompok antirasisme. Mereka sempat bentrok sebelum akhirnya pendukung kelompok ekstrem sayap kanan James Alex Fields Jr menabrakkan mobil Dodge Challenger abu-abu miliknya ke kelompok antirasis. Satu orang tewas dan 19 lainnya mengalami luka-luka. Korban tewas bernama Heather Heyer. Fields kini sudah ditangkap dan mendekam di penjara Virginia.
Aksi yang dipimpin Kessler itu disinyalir merupakan salah satu yang terbesar dalam dekade ini. Itu adalah kali ketiga aksi serupa dilakukan di Charlottesville dalam kurun waktu empat bulan belaka- ngan. Pemicunya adalah ketidaksepakatan atas ide pemindahan patung tokoh konfederasi. Pihak nasionalis sayap putih menganggap pemindahan itu sebagai penghinaan terhadap sejarah. Sedangkan yang pro berargumen bahwa patung tersebut hanya mengingatkan luka hati akibat pasukan konfederasi berabad lalu.
Gubernur Virginia Terry McAuliffe langsung mendeklarasikan status darurat begitu mengetahui serangan penabrakan di Charlottesville.
”Divisi Hak Sipil Kantor Cabang FBI di Richmond dan Kantor Kejaksaan AS wilayah Distrik Virginia Barat telah membuka penyelidikan mengenai insiden serangan mobil mematikan yang terjadi Sabtu pagi,” bunyi pernyataan FBI.
Kasus tersebut tampaknya tidak akan lolos dari hukum begitu saja. Sebab, Jaksa Agung Jeff Session juga ikut mengecam. Menurut dia, insiden di Charlottesville itu sama saja dengan serangan ke jantung hukum dan keadilan di Amerika. ”Ketika insiden seperti itu muncul dari kefanatikan rasial dan kebencian, mereka sama saja telah mengkhianati nilai-nilai inti kita. Itu tidak bisa ditoleransi.”
WNI Diminta Waspada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Washington DC, Amerika Serikat (AS), meminta WNI dan diaspora Indonesia di Charlottesville waspada. Sentimen berbau rasis yang berkembang di sana dikhawatirkan bisa me- ngancam keselamatan WNI.
’’Kami mengimbau agar mereka waspada, menghindari lokasi kerusuhan, mematuhi arahan pemerintah setempat, dan memperhatikan keselamatan. Kami menyampaikan imbauan melalui SMS dan e-mail blast,’’ kata Duta Besar RI di AS Budi Bowoleksono kepada Jawa Pos kemarin (13/8).
Terkait dengan insiden tersebut, Budi memastikan tidak ada WNI yang menjadi korban. Dia juga mengabarkan bahwa kondisi Charlottesville mulai tenang dan terkendali. ’’Menurut data, ada 3.207 WNI di Virginia. Sekitar 80 orang di antara mereka tinggal di Kota Charlottesville. Tidak ada yang jadi korban,’’ terangnya.
Pakar hubungan luar negeri Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah menilai, white supremacy membuktikan bahwa integrasi sosial merupakan sebuah tantangan yang tiada akhir bagi semua negara di dunia, termasuk AS.
’’Kejadian ini juga jadi bukti bahwa supremasi kulit putih, yang biasanya diwakili Ku Klux Klan, ternyata sudah terwakili oleh organisasi tanpa bentuk (OTB) yang sulit terdeteksi oleh pemerintah dan masyarakat,’’ ungkap Teuku.
Teuku menilai, dengan kredibilitas pemerintah AS, diperkirakan tidak akan terjadi eksodus masyarakat nonkulit putih serta pelarian aset mereka. Untuk mempercepat penyelesaian krisis, kata dia, pemerintah AS diperkirakan akan berkonsultasi dengan para tokoh masyarakat di sana. (Rtr/AlJazeera/ sha/and/c11/c5/any)