Jawa Pos

Agustus Suhu Bisa Minus 7 Derajat Celsius

Udara dingin ibarat baju yang selalu membalut aktivitas penduduk Desa Sembungan, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Maklum, mereka tinggal di desa tertinggi di Pulau Jawa, 2.306 meter di atas permukaan laut (mdpl).

-

WELCOME to Sembungan Village. Desa Tertinggi di Pulau Jawa. Kalimat itu menyambut siapa saja yang datang ke Desa Sembungan

Sekitar 7 kilometer atau 20 menit bermobil ke arah selatan dari pusat wisata Dataran Tinggi Dieng.

Menuju ke sana sebenarnya cukup mudah. Pengunjung dapat menggunaka­n mobil maupun sepeda motor. Jalanan sudah beraspal. Hanya harus berhati-hati karena beberapa bagian sudah berlubang. Selain itu, jalannya berkelok-kelok dan naik turun. Jurang terjal juga menemani sepanjang perjalanan. Bila malam tiba, penerangan lampu sangat terbatas.

Namun, semua terbayar saat tiba di Desa Sembungan. Pemandanga­n indah terhampar di sekeliling desa. Sawah dan deretan gunung menyejukka­n mata. Sisi barat Desa Sembungan dibatasi Desa Mlandi dan Gunung Bisma. Sisi timur merupakan Desa Tieng. Ada Telaga Menjer di sisi selatan dan Desa Dieng Kulon merupakan perbatasan sisi utara.

Saat berada di Desa Sembungan, pengunjung merasakan seolaholah terbang. Wajar saja, karena awan menyelimut­i desa. Karena itulah, desa tersebut juga dijuluki Negeri di Atas Awan. Panorama itu paling jelas terlihat saat di titik puncak Gunung Sikunir.

Ketika Jawa Pos berkunjung ke sana Minggu, 6 Agustus lalu, terdengar alunan musik drum band dari pintu masuk Desa Sembungan. Suara tersebut bersumber dari kantor kepala desa yang terletak di sisi kiri 200 meter dari pintu masuk. Siang itu ada 107 warga Desa Sembungan yang sedang berlatih drum band. Latihan tersebut digelar untuk mempersiap­kan penampilan pada HUT Kemerdekaa­n RI 17 Agustus nanti.

Dari aktivitas itu, pengunjung dapat memperhati­kan kebiasaan warga. Jangan berharap menemukan penduduk yang menggunaka­n kaus oblong maupun celana pendek. Mereka semua menggunaka­n jaket. Lengkap dengan celana panjang dan sepatu. Ada pula yang melampirka­n sarung sebagai tambahan penghangat tubuh.

Pakaian tebal sudah menjadi style wajib penduduk desa seluas 6 hektare tersebut. Sebab, udara dingin bisa mencapai minus 7 derajat Celsius pada bulan-bulan tertentu. Siang itu, sekitar pukul 12.30, suhu udara menunjukka­n angka 12 derajat Celsius. ”Kalau latihan, kami harus serius. Tubuh aktif bergerak biar tidak kedinginan,” jelas Sudiono, kepala Desa Sembungan.

Warga desa, menurut Sudiono, sudah terbiasa menghadapi udara dingin. Warga memiliki trik masing-masing agar tidak kedinginan. Salah satunya dengan aktif beraktivit­as. ”Warga sini sangat guyub,” ujarnya. Terutama dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Antara lain mengadakan kumpul rutin, menggelar pengajian, dan membentuk kelompok sadar wisata.

Pria 52 tahun itu menjelaska­n, suhu 12 derajat Celsius itu masih terbilang normal. Bila malam hari, suhu kian dingin. ”Kalau malam rata-rata 5 sampai 9 derajat,” ungkap Sudiono. Suhu ekstrem terjadi pada Juli hingga Agustus seperti saat ini. ”Paling nanti sampai 0 derajat,” katanya.

Bahkan, lanjut Sudiono, saat turun embun es, suhu bisa minus 7 derajat Celsius. Embun es menutupi tanaman dan jalan desa seperti salju. ”Untung belum pernah sampai merusak tanaman,” ujarnya.

Bila menghadapi suhu seperti itu, warga biasanya menghabisk­an waktu di rumah. Ada penghangat ruangan di tiap-tiap rumah warga. Cuaca dingin tersebut cocok untuk aktivitas pertanian. Karena itulah, banyak warga Desa Sembungan yang menjadi petani. Warga berbondong-bondong pergi ke sawah sekitar pukul 05.00 hingga 09.00.

Hasil pertaniann­ya antara lain kentang, terong, cabai, bawang putih, dan kol. Satu lagi tumbuhan yang menjadi ciri khas adalah carica atau dikenal dengan pepaya Dieng. Tumbuhan itu hanya dapat hidup di dataran tinggi basah, yaitu 1.500–3.000 mdpl. Di Jawa ya hanya ada di daerah Wonosobo.

Carica diolah menjadi beberapa jenis produk. Yang paling dikenal adalah manisan carica. Selain itu, ada carica dalam bentuk selai dan keripik.

Nama Sembungan sendiri berasal dari pohon sembung, jenis tanaman obat yang banyak ditemukan di daerah sana. Kekayaan alam yang dimiliki desa yang dihuni 400 kepala keluarga itu membuat pendudukny­a betah. Apalagi, fasilitas desa semakin berkembang.

Di sana terdapat madrasah ibtidaiyah (MI) dan madrasah tsanawiyah (MTs). Dengan pembanguna­n madrasah tersebut, Sudiono berharap penduduk tidak mengalami kesulitan lagi untuk mengenyam pendidikan tingkat SD dan SMP. Tidak perlu lagi jauh-jauh turun ke kota untuk bersekolah. Dia berharap pembanguna­n sekolah itu meningkatk­an kualitas hidup masyarakat.

Selain pertanian, desa yang dihuni 1.250 penduduk tersebut hidup dari hasil pariwisata. Banyak wisawatan lokal maupun mancanegar­a yang berkunjung ke sana. Jumlah kunjungan wisatawan rata-rata 3 ribu orang setiap minggu. Karena itulah, Sudiono membentuk kelompok masyarakat sadar wisata. (*/c9/oki)

 ?? SUMALI IBNU CHAMID/JAWA POS RADAR KEDU ?? PEMANDANGA­N INDAH: Suasana Desa Sembungan dari puncak Gunung Sikunir. Foto kiri, warga desa berlatih drum band untuk persiapan tampil pada HUT Kemerdekaa­n RI pada 17 Agustus.
SUMALI IBNU CHAMID/JAWA POS RADAR KEDU PEMANDANGA­N INDAH: Suasana Desa Sembungan dari puncak Gunung Sikunir. Foto kiri, warga desa berlatih drum band untuk persiapan tampil pada HUT Kemerdekaa­n RI pada 17 Agustus.
 ??  ?? SUMALI IBNU CHAMID/JAWA POS RADAR KEDU
SUMALI IBNU CHAMID/JAWA POS RADAR KEDU

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia