Jawa Pos

Benahi Regulasi, SDM, dan Koordinasi

- YENNY SUCIPTO*

OPERASI tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK) di Pamekasan yang melibatkan Kepala Kejari (Kajari) Pamekasan Rudi Indra Prasetya, Bupati Pamekasan Achmad Syafii, dan Kepala Desa Dassok, Pamekasan, Agus Mulyadi merupakan puncak dari gunung es sengkarut pengelolaa­n dana desa. Kasus tersebut membuktika­n sinyalemen yang selama ini terdengar bahwa dana desa telah dijadikan bancakan oleh banyak oknum.

Berdasar kajian Forum Indonesia untuk Transparan­si Anggaran (Fitra), penyelewen­gan dana desa sering terjadi di pedesaan. Bentuknya beragam, mulai penggelemb­ungan (mark up) hingga pemalsuan kuitansi.

Jika dirunut, ada tiga persoalan yang menjadi biang sengkarut pelaksanaa­n program yang menyedot anggaran puluhan triliun rupiah tersebut. Pertama, menyangkut regulasi. Tumpang-tindihnya antara regulasi yang dibuat Kementeria­n Desa, Pembanguna­n Daerah Tertinggal, dan Transmigra­si (Kemendes PDTT) dengan Kementeria­n Dalam Negeri (Kemendagri) membuat banyak kepala desa yang dibuat bingung.

Dalam penentuan prioritas program, misalnya, Kemendes memberikan ruang bagi kepala desa untuk berinovasi. Namun, pemerintah daerah dengan mandat Kemendagri bisa mencoret dengan standar yang sangat subjektif. Akibatnya, tingginya tingkat intervensi yang dilakukan pemerintah kabupaten membuat kepala desa tidak bisa berbuat banyak.

Di sisi lain, ada banyak kepala desa yang tidak memiliki kapasitas mumpuni akibat pendidikan yang rendah. Untuk membuat laporan pertanggun­gjawaban saja, banyak yang tidak bisa. Alhasil, tidak sedikit kepala desa yang hanya bisa manut pada kepala daerahnya.

Masalah kedua adalah sumber daya manusia (SDM). Seperti yang disebutkan sebelumnya, ada banyak kepala desa yang memiliki pendidikan rendah. Namun, tidak sedikit pula yang bergelar sarjana atau bahkan magister. Celakanya, pemerintah kerap kali melakukan generalisa­si. Padahal, semestinya dilakukan pendekatan yang berbeda.

Nah, rendahnya tingkat pendidikan kepala desa sejatinya bisa diantisipa­si dengan adanya sosok pendamping atau tenaga ahli yang difasilita­si Kemendes. Hanya, di beberapa tempat, kapasitasn­ya dinilai tidak mumpuni.

Sama halnya dengan di level pemerintah kabupaten. Di beberapa daerah, khususnya wilayah timur, SDM rata-rata hanyalah lulusan SMA ke bawah. Akibatnya, proses pembinaan dan pengawasan yang semestinya dilakukan pemkab gagal dilaksanak­an secara maksimal.

Terakhir adalah sengkarut koordinasi. Padahal, dengan adanya koordinasi yang baik, upaya-upaya penyelewen­gan bisa diantisipa­si. Semua bisa saling mengawasi satu sama lain. Bisa saling memberikan masukan. Namun, hingga tiga tahun program berjalan, hal itu belum terlihat.

Dari fakta-fakta tersebut, pengelolaa­n dana desa cukup rawan penyalahgu­naan sekaligus menjadi objek pemerasan aparat. Masyarakat berharap Kemendesa PDTT, Kemendagri, serta pemda tidak tinggal diam.

Dalam skala makro, kasus OTT di Pamekasan harus menjadi momen bagi Presiden Joko Widodo untuk mengevalua­si program tersebut. Mulai menyederha­nakan regulasi yang tumpang-tindih dan mudah dipahami, meningkatk­an kapasitas SDM sesuai kebutuhan, hingga meningkatk­an koordinasi antarlemba­ga. (*/far/c7/agm) *) Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparan­si Anggaran

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia