Gantikan Teman, Tak Sangka Bisa Menang
”Lumayan, udara di kamar jadi lebih bersih,” ucap Firdaus. Bahkan, dia baru menyadari, TTG-nya itu diam-diam bisa mengusir nyamuk. Itu disebabkan aroma pengharum dari jeruk yang dimasukkan dalam alat tersebut. Padahal, rumahnya berada di dekat sawah. Nyamuk sudah menjadi musuh bebuyutannya.
Alat penyaring tersebut tak mungkin ada kalau Firdaus tidak ambil bagian dalam Festival Kampung Kelir. Karena itu, dia mulai bercerita soal pengalamannya ikut mengecat rumah warga. Masuk zona Sidoarjo, Firdaus dan kawankawannya mendapat area pengecatan di Tambak Cemandi, pantai timur Kota Delta. Keikutsertaan Firdaus itu rupanya tidak direncanakan.
”Sebenarnya, saya nggak ikut. Saya menggantikan teman saya,” paparnya. Menjelang Festival Kampung Kelir, SMAN 12 sebenarnya sudah menyiapkan satu regu untuk berangkat. Lima putra dan lima putri. Namun, salah seorang peserta putra berhalangan ikut karena harus menghadapi ujian. Firdaus pun ditunjuk pembinanya menjadi Pramuka pengganti. ”Waktu itu sih saya mau-mau saja,” ceritanya.
Sejak awal, Firdaus sudah mengira bakal ikut kerja bakti membantu warga mengecat rumah. Namun, dia tak menyangka, ternyata cukup banyak yang perlu dicat. Kala itu, regunya kebagian dua rumah, satu warung, dan tembok kuburan. ”Iya, jadi setelah selesai mengecat rumah, anakanak diminta mengecat dinding kuburan warga,” tutur Firdaus.
Kedengarannya horor. Untungnya, pengecatan tak pernah dilakukan saat matahari terbenam. Selain itu, cukup banyak Pramuka lain yang ikut gotong royong mengecat ’’rumah masa depan manusia’’ tersebut.
Justru yang sulit adalah mengecat rumah. Firdaus kebagian mengecat rumah yang punya plafon cukup tinggi. Begitu tingginya, sampaisampai dia harus digendong temannya. ”Saya yang digendong,” ujarnya, lantas tertawa kecil. Tugas tersebut cukup melelahkan. Mengecat dengan kepala terdongak dan tangan teracung ke langit-langit tentu membutuhkan penawar. Minimal pijatan atau balsam.
Itu adalah pengalaman pertamanya mengecat. Memang, Firdaus pernah ”mengecat” objekobjek kecil. Tripleks dan kayu misalnya. Tapi, mengecat tembok dan atap rumah baru kali ini dia lakoni. ” Ternyata, sulit juga. Apalagi mengecat pakai rol,” ungkap pemuda yang hobi olahraga tersebut. Dia terbiasa menggunakan kuas. Karena itu, mengecat dengan rol sering membuatnya agak jengkel. ”Susah ratanya,” lanjutnya.
Kesibukan mengecat itu membuatnya tidak sempat lagi belajar. Setelah pengecatan, peserta menghadapi Festival Kecerdasan. Kepintaran seribu Pramuka itu diadu dengan model kuis Ranking 1. Firdaus mengaku, waktu itu dirinya pasrah saja. ” Nggak sempat belajar. Bermodal mengingat saja,” ujarnya.
Padahal, soal yang dihadapinya ternyata level combo. Ada soal pengetahuan umum tentang Pramuka, soal matematika, dan yang paling mematikan adalah soal kimia dengan bahasa Inggris. Dia sendiri bingung bagaimana waktu itu dirinya bisa menjawab soal satu per satu.
Bukan berarti Firdaus benar 100 persen. ”Sempat salah juga, satu pertanyaan,” ungkapnya. Saat itu, tinggal dia dan satu Pramuka lagi yang tersisa dalam satu kelompok. Rupanya, jawaban mereka berdua salah. Selamat, Firdaus bisa melanjutkan ke pertanyaan berikutnya. ” Tahutahu, saya disuruh maju ke depan karena jawaban saya benar. Saya menang,” tuturnya.
Dia juga berhasil mengalahkan dua lawannya yang lain di babak final Festival Kecerdasan. Dia dan tiga Pramuka asal Sidoarjo lainnya mendapat penghargaan berupa piala yang diberikan langsung oleh Ketua Kwarda Jatim Saifullah Yusuf.
Ada lagi yang paling dia ingat pada malam puncak Kampung Kelir di Sidoarjo waktu itu. Yakni, malam keakraban. Kelompoknya, yang kebetulan semua berasal dari SMAN 12, menampilkan ludruk berjudul Jaka Kembar. Sayangnya, Firdaus tidak ikut memainkan lakon. ”Saya di belakang layar saja,” ucap siswa yang gemar bermain komputer itu. Dia berperan menyusun sound effect dan membuat remix musik latar ludruk mereka.
Ya, Firdaus memang gemar bermain komputer. Bukan cuma main game, dia juga suka membuat program. Hobi itu dia lakoni sejak kelas VI SD bersama teman-temannya. ”Tapi, belum pernah buat program,” akunya. Hobi tersebut sedikit terkikis karena dia harus pindah rumah. Firdaus yang tadinya tinggal di kawasan Demak ikut orang tuanya ke Menganti. Jarang berkumpul lagi dengan kawan- kawan sepermainannya.
Lalu, mengapa dia tidak membuat TTG berbasis teknologi? Firdaus berujar, sebenarnya dirinya sempat kepikiran membuat software untuk TTG Kampung Kelir. Namun, kemudian dia teringat salah satu persyaratan lomba. Mengutamakan kearifan lokal. ”Saya rasa kalau pemrograman kurang menunjukkan kearifan lokal itu,” paparnya.
Karena itu, dia memilih membuat TTG berupa pembangkit listrik dari kulit melinjo. Dari buku yang dia baca, juga internet, kulit melinjo punya khasiat sama dengan kulit jeruk. Mengandung asam basa yang bisa mengalirkan listrik. Namun, ide TTG itu hanya bertahan seminggu. ”Kulit melinjo susah dicari,” ungkap Firdaus. Lagi pula, listrik bukanlah kebutuhan yang sulit didapat di kota besar seperti Surabaya.
Menurut Firdaus, apa yang dibutuhkan warga Kota Pahlawan? Berkurangnya asap dan debu. Sebagai ibu kota provinsi dan pusat bisnis, Surabaya sudah menjadi ladang polusi. Mulai polusi kendaraan bermotor hingga polusi pabrik.
Karena itu, Firdaus kemudian membuat inovasi alat penyerap asap dan penyaring debu. Pembuatannya ternyata lebih mudah daripada listrik kulit melinjo. Bahannya gampang ditemukan.
Orang tuanya pun bisa ikut membantunya. Sang ayah mencarikan tripleks, kayu, serta membantu menggergaji. Pemasangan paku pun ditolong ayahnya. Sementara itu, ibunya menyiapkan serabut kelapa yang dibeli di pasar. Pelepah pisang dia ambil dari pohon di depan rumahnya.
”Pokoknya, orang tua mendukung sekali,” ungkap Firdaus. Dalam tenggat waktu tiga minggu, Firdaus sudah bisa menyelesaikan semua persyaratan lombanya. Mulai naskah, video profil, hingga prototipe.
Untuk melengkapi administrasi dan mengirimkan naskah, Firdaus harus rela keluar malam-malam. Dia bercerita, demi mendapat tanda tangan wakil kepala sekolah, dirinya harus bertandang ke rumah wakil kepala sekolah pukul 22.00. Sekitar pukul itu pula dia pergi ke redaksi Jawa Pos untuk mengumpulkan naskah di hari terakhir. ”Karena hari terakhir, jadi dibelain sampai ke sana,” tuturnya.
Perjuangan Firdaus itu tidak sia-sia. Dia bisa membawakan presentasi di depan tiga juri dengan baik pada 5 Agustus. Bahkan, banyak masukan positif yang dia dapatkan. Misalnya, ukuran prototipe bisa diperkecil agar mudah dibawa. Bisa juga diaplikasikan ke dalam helm sebagai pengganti masker. ”Begitu dengar masukan itu, saya langsung terpikir untuk modifikasi,” ucap Firdaus.
Namun, hal itu tidak bisa dia realisasikan sekarang. Sebab, Firdaus cukup sibuk mempersiapkan keberangkatannya ke Korea Selatan. Tak cuma menjadi salah satu juara, TTG Firdaus juga mendapat vote terbanyak saat pameran. Dia pun mendapat predikat Pramuka Terfavorit versi vote.
Tentu saja, Firdaus mendapat dukungan dari teman-teman sekolahnya, teman kwarcab, serta para guru. Saat pameran, stan TTG Firdaus termasuk yang paling ramai dikunjungi. ”Harus menjelaskan berkali-kali. Capek, tapi senang,” tuturnya.
Korea Selatan bakal menjadi negara asing pertama yang dia kunjungi. Meski terus berbicara dengan kalem, raut senang terlihat di wajahnya. Sebelumnya, daerah terjauh yang pernah Firdaus datangi adalah Bali. Itu pun ketika masih sangat kecil. ”Saya nggak ingat. Yang saya ingat waktu itu cuma beli celana pantai dan pensil,” ungkap Firdaus. Setelah itu, Firdaus tidak pernah jalanjalan ke luar provinsi lagi.
Keluarga dan sekolahnya tentu sangat bangga dengan prestasi Firdaus. Bagaimana tidak, dia yang anak IPS ternyata bisa memenangkan kompetisi berbasis sains dan teknologi. Firdaus menuturkan, gurunya sempat memotivasi para siswa di upacara Senin dengan kisah Firdaus. ”Bukan hanya anak IPA, anak IPS ternyata juga bisa. Menangnya lewat kegiatan Pramuka, lagi,” ujar Firdaus. Sayangnya, pada upacara Senin itu, dia tidak hadir karena belum pulang dari venue festival.
Ketika mendengar soal Korea Selatan, apa yang dibayangkan Firdaus? ”Sebenarnya, saya nggak tahu apa-apa,” ungkapnya. Dia baru mencari informasi soal Korea Selatan setelah menjadi juara festival. Dari hasil riset kecilnya itu, Firdaus mengetahui bahwa Busan punya banyak tempat wisata. Terutama pantai. Meski Surabaya juga punya Kenjeran, Firdaus mengaku penasaran seperti apa pantai di Busan itu. ”Saya juga ingin pergi ke kuil-kuil,” katanya.
Soal bahasa, Firdaus mengaku sudah memperkuat kemampuan bahasa Inggrisnya. Tujuannya bisa berkomunikasi dengan orang asing di sana. Firdaus juga membayangkan bisa mendapatkan banyak ilmu dari study tour yang bakal dia jalani bersama 15 Pramuka lainnya. Selamat menambah pengalaman di Korea Selatan! (*/c6/dos)