Menjaga Proses ’’Meng-Indonesia’’
DALAM buku Islam, Pancasila dan Ukhuwah Islamiyah Kiai Ahmad Shiddiq mengatakan, ’’Republik Indonesia adalah negara nasional yang wilayahnya dihuni oleh penduduk yang sebagian terbesar memeluk agama Islam. Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum muslimin untuk mendirikan negara di wilyah Nusantara’’.
Dalam buku tersebut, kiai asal Jember itu menjelaskan panjang lebar ihwal hubungan Islam, nasionalisme, dan NKRI. Kiai Ahmad Shiddiq berangkat dari sebuah pemahaman bahwa Islam memiliki watak universal. Universalisme Islam bukan berarti bahwa Islam mengatur segala-galanya secara rigid, ketat, terperinci, dan juga seragam. Watak universalisme Islam justru ada pada bervariasinya dalam mengatur pelbagai hal. Sesuai dengan situasi dan kondisi ( muqtadhal hãl dan muqhtadhal maqãm).
Pandangan yang demikian universal ini misalnya tecermin dalam adagium al-ibrah bi ummil lafdzhi, la bikhususis sabb (universalitas teks, partikularitas konteks). Artinya, ajaran Islam tersebut bisa diterapkan secara universal.
Watak universalisme Islam tersebut membuatnya menjadi sejalan dengan nilai-nilai atau kecenderungan-kecendrungan positif yang sudah ada dan sudah langgeng sebelumnya. Watak universal Islam tersebut berkait paut dengan tugas utama Nabi Muhammad SAW, yakni menyempurnakan nilai-nilai positif tersebut. Inilah konteks hadis ’’ Innama buitstu liutammima makrimal akhlak’’ dalam terjemahan kontemporernya berarti ’’sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan nilai-nilai positif’’.
Maka, Islam sesungguhnya sampai kapan pun tidak bisa dipertentangkan dengan nilai-nilai positif yang bahkan itu bersumber dari luar Islam sekalipun. Sebut contoh misalnya: demokrasi. Jika ada pihak yang dengan getol mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem kafir dan Pancasila sebagai dasar negara adalah thaghut, dengan tegas kita katakan bahwa suara lantang tersebut keluar dari mereka yang tidak memahami ajaran Islam.
Negara, lagi-lagi meminjam bahasa Kiai Ahmad Shiddiq, adalah wujud persekutuan sosial dan kekuasaan yang merupakan salah satu sarana untuk menciptakan tatanan kehidupan yang diridai oleh Allah. Oleh karenanya, Islam harus hadir sebagai instrumen penting untuk menopang negara dalam rangka mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik.
Islam menjadi spirit yang melebur dan senyawa dengan nilai-nilai demokrasi yang menjadi sistem bernegara. Islam juga menjadi serbuk yang merasuk ke dalam Pancasila yang sudah disepakati sebagai dasar negara. Atas dasar pemahaman tersebut, umat Islam –utamanya NU– tidak pernah lagi mempermasalahkan hubungan agama dan negara, relasi Islam dengan demokrasi, dan kelindan antara ajaran Islam dan Pancasila.
Hal itu terjadi bukan serta-merta begitu saja. Semuanya melalu proses perjuangan, internalisasi pemahaman, dan juga laku semangat nasionalisme dan kecintaan terhadap tanah air yang demikian luar biasa. Proses yang demikian itu saya sebut sebagai proses ’’mengIndonesia’’. Sebuah proses yang diandaikan selalu dan terus-menerus terjadi, terbarui, termaknai dengan pemahaman-pemahaman yang lebih dalam, segar, dan matang. Dan proses ini senantiasa harus kita jaga. Sebab, kita percaya bahwa hasil tidak akan pernah mengkhianati proses. Hasil yang baik didapatkan dari proses yang baik pula.
Di usia kemerdekaan yang menapaki 72 tahun ini, yang harus dilakukan adalah menjaga proses meng-Indonesia dengan terus melakukan langkah-langkah strategis implementatif dengan skala, sekup, dan kompetensi yang kita miliki di bidang masing-masing.
Sudah bukan saatnya lagi kita menguras energi untuk berdebat soal dasar negara. Pihak-pihak yang masih mempermasalahkan dasar negara harus disadarkan dengan serangkaian formula agar mereka juga merasakan proses meng-Indonesia. Pembentukan UKP PIP bisa menjadi tonggak untuk mewujudkan langkah taktis dalam rangka menguatkan ideologi Pancasila. Hal ini merupakan bagian terpenting dari proses ’’meng-Indonesia’’.
UKP PIP harus bekerja keras melakukan internalisasi nilai-nilai Pancasila dengan cara yang tidak usang. Cara-cara yang modern dan kekinian harus ditempuh guna membumikan ajaran Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pada itu, kehadiran negara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari juga harus diperhatikan secara serius. Tidak boleh tidak, negara harus hadir dalam kehidupan rakyatnya. Dalam konteks itu, negara harus menjamin keamanan nyawa, martabat, dan harta rakyatnya.
Apakah negara selama ini bisa menjamin keamanan nyawa warganya? Kasus persekusi dan juga pembakaran hidup-hidup seorang warga yang dituduh mencuri amplifier sebuah musala di Babelan, Bekasi, adalah tamparan keras bagi kita semua. Hal itu membuktikan bahwa negara belum sepenuhnya hadir untuk melindungi nyawa warganya dari ancaman pihak mana pun.
Demikian pula dengan keamanan martabat atau harga diri dan juga harta. Negara harus menjadi protektor dalam memastikan keterjaminan tegaknya harga diri dan juga kemanan harta warganya. Isu tentang pungutan pajak 10 persen untuk petani tebu, misalnya, adalah contoh kecil yang melahirkan sebuah pertanyaan di ma na kehadiran negara dalam melindungi rakyatnya?
Pada momentum 72 tahun proklamasi kemerdekaan ini, mari kita semua menundukkan kepala sembari merefleksikan makna kemerdekaan bagi kita masing-masing. Kemerdekaan yang dengan susah payah dan berdarah-darah direbut oleh para pendahulu kita harus kita jaga, kita maknai, dan terus kita rawat untuk kelangsungan hidup kita dan anak cucu kita generasi mendatang kelak. Dalam konteks bernegara, tidak ada yang lebih berharga untuk dijadikan warisan kecuali warisan kemerdekaan.
Walhasil, untuk mengakhiri tulisan ini, saya mengutip pidato Bung Karno pada HUT pertama Proklamasi Kemerdekaan RI pada 1946. Bung Karno mengatakan ’’Dalam pidatoku, Sekali Merdeka tetap Merdeka!’’ Kucetus semboyan: ’’Kita cinta damai, tetapi kita lebih cinta kemerdekaan’’. Merdeka! Wallahu a’lam bis-sawab. (*) *) Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama