Mencari Capres Alternatif untuk 2019
DUKUNGAN partai politik (parpol) terhadap Joko Widodo (Jokowi) untuk maju kembali pada Pilpres 2019 terus mengalir. Selain Partai Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura, kini muncul dukungan dari Partai Perindo besutan Hary Tanoesoedibjo yang selama ini gemar mengkritisi pemerintah. Perindo kini mendadak membuka peluang mendukung pencapresan Jokowi. Tak berlebihan bila ada yang menyebut tahun politik 2019 datang lebih awal.
Tentu sulit tidak mengatakan bahwa dukungan sejumlah parpol terhadap Jokowi merupakan bagian dari strategi partai menjelang Pemilu 2019. Dengan melayangkan dukungan terhadap Jokowi, yang dalam dua tahun ini dipersepsikan publik relatif bagus kinerjanya, khususnya terkait pembangunan infrastruktur, partai-partai bersangkutan berharap mendapatkan limpahan elektoral.
Ini menarik lantaran strategi itu ternyata menuai hasil. Temuan survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 8–15 Agustus 2016 menyebutkan, 33 persen responden akan memilih Golkar jika partai beringin tersebut mengusung Jokowi. Padahal, saat survei dilakukan, elektabilitas Golkar hanya 14,1 persen. Artinya, ada korelasi positif antara dukungan partai dan pencapresan Jokowi.
Di titik itulah adagium Lasswell bahwa ”politik adalah soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana” menemukan relevansinya. Sebab, parpol-parpol yang mengusung Jokowi juga tak lepas dari alasan belum memiliki figur yang kuat. Karena itulah, pilpres mendatang boleh jadi hanyalah pertandingan ulang antara Joko Widodo melawan Prabowo Subianto seperti pada Pilpres 2014. Apalagi, sejumlah survei menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi dan Prabowo paling atas alias belum ada kandidat lain yang mampu bertengger menandingi keduanya. Capres Alternatif Karena itu, dua tahun menjelang perhelatan pilpres, agaknya para elite partai dan opinion maker mulai melakukan pemetaan dan penjaringan calon presiden (capres) alternatif 2019. Capres alternatif dimunculkan bukanlah ingin menggeser figur Jokowi ataupun Prabowo. Bukan pula karena alasan ingin melihat Pilpres 2019 tidak monoton. Satu alasan capres alternatif penting adalah justru untuk melihat kualitas Jokowi dan Prabowo. Kita hanya bisa melihat keduanya berkualitas kalau ada capres pembanding lain.
Artinya, semakin banyak ”menu prasmanan” Pilpres 2019, publik makin diuntungkan. Banyaknya capres tidak hanya berfungsi memberikan ruang-ruang penilaian publik terhadap mana ”capres loyang” dan mana ”capres emas”. Banyaknya kandidat juga meniscayakan adanya sebuah kompetisi.
Dalam alam demokrasi, kompetisi adalah sebuah keharusan. Sebagaimana digariskan Robert Dahl (1994), selain adanya partisipasi, ukuran penting dari dimensi demokrasi adalah adanya sebuah kompetisi. Demokrasi tanpa adanya partisipasi adalah bisu. Sedangkan demokrasi tanpa kompetisi adalah buta. Keduanya, yakni partisipasi dan kompetisi, merupakan dimensi demokrasi yang harus ada. Konvensi Rakyat Salah satu cara memunculkan capres alternatif ialah menggelar konvensi. Konvensi adalah pemilihan capres dari tiap-tiap partai di level pertemuan nasional yang dilakukan delegasi dari tiap negara bagian (Indrayana, 2013). Konvensi merupakan model tradisi penjaringan capres di Amerika Serikat. Di Indonesia, penjaringan capres melalui konsep konvensi pernah digunakan Golkar pada Pemilu 2004 dan Demokrat pada Pemilu 2014. Konvensi Demokrat lebih modern karena selain melibatkan pengurus partai, mulai ranting hingga pusat, juga melibatkan publik melalui sebuah survei.
Selain oleh parpol, konvensi dapat digelar langsung oleh rakyat. Contohnya, menjelang Pilpres 2014, masyarakat membentuk apa yang disebut Konvensi Rakyat. Ketua Komite Konvensi Rakyat saat itu adalah Salahuddin Wahid alias Gus Sholah. Konvensi Rakyat akhirnya berhasil menjaring tujuh capres alternatif dari 25 peserta. Tujuh nama itu kemudian didaftarkan ke parpol. Meskipun parpol akhirnya ”kurang berminat” terhadap tujuh nama hasil Konvensi Rakyat, sebagai sebuah ikhtiar menyajikan ”menu prasmanan” pilpres, inisiatif tersebut patut diapresiasi.
Konsep Konvensi Rakyat tentu saja bisa diadopsi lagi menjelang Pilpres 2019. Konvensi Rakyat merupakan cara bijak memunculkan capres alternatif ketimbang kemudian menuduh Presiden Jokowi diktator karena mendukung presidential threshold tetap 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Mumpung masih dua tahun lagi, kita mendukung dimunculkannya figurfigur alternatif untuk meramaikan pesta demokrasi 2019.
Tentu di tengah makin moncernya kinerja Presiden Jokowi dan tingginya apresiasi publik terhadap kepemimpinannya dalam beberapa tahun terakhir, harus diakui, mencari figur alternatif penantang Jokowi pada 2019 tidaklah mudah. Ditilik dari optik politik, sulit melawan incumbent Jokowi bila tidak ada capres alternatif yang memiliki kans kuat dan menjanjikan. (*) *) Direktur Riset Monitor Indonesia