Pendidikan yang Memerdekakan
KRITIK pedas Paulo Freire dalam bukunya, Pedagogy of the Oppressed (1972), terhadap dunia persekolahan layak ditimbang saat kita memperingati HUT Ke-72 RI tahun ini. Mengapa? Hingga kini, saat kita menghirup kemerdekaan sampai kurun sembilan windu, seluruh peserta didik belum bisa menikmati kemerdekaannya dalam belajar. Berita akan kekerasan ( bullying) terhadap peserta didik masih acap terjadi. Baik disebabkan sesama peserta didik maupun atas otoritas perlakuan pendidik.
Kasuspenganiayaansesamapeserta didik di sebuah asrama ( boarding school) di Sumbar yang terunggah di YouTube beberapa waktu lalu sungguh memprihatinkan nurani. Bagaimana tidak? Seorang peserta didik yang tinggal di sebuah asrama mengalami penganiayaan tidak manusiawi seperti itu. Tentu kita lebih khawatir dan bertanya bagaimana keamanan dan kenyamanan belajar peserta didik reguler yang tidak berasrama? Boleh jadi kejadian itu bak fenomena gunung es.
Belum merdekanya peserta didik dalam belajar berawal dari pandangan guru dan/atau orang tua yang keliru akan keberadaan siswa. Pertama, guru memandang bahwa peserta didik sebagai pribadi yang kosong. Karena itu, guru membelajarkan siswa dengan dominasi metode ceramah. Akibatnya, pengalaman belajar siswa pasif karena hanya mendengarkan penjelasan dari guru.
Kedua, murid dipandang sebagai individu yang memerlukan pengetahuan. Tugas guru adalah mentransformasikan ilmu pengetahuan ( transfer of knowledge) kepada siswa. Pandangan pertama dan kedua itu memosisikan guru selaku pendidik sebagai satusatunya sumber ilmu pengetahuan. Padahal, disadari bahwa di era teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, alam takambang dadi guru, semua sumber belajar adalah guru, seluruh tempat adalah kelas, dan setiap waktu adalah jam belajar. Pengalaman belajar siswa aktif mengikuti informasi yang diperoleh dari guru, atau sumber belajar yang lain.
Ketiga, anak dipandang sebagai organisme yang berkembang. Tugas guru ialah membimbing siswa untuk mengembangkan perilakunya. Siswa mengalami perkembangan sejalan dengan bimbingan guru. Siswa menjadi penurut ( follower), tetapi kurang berani mengembangkan inovasi dan kreativitasnya.
Dampak lanjut dari anggapan bahwa siswa sebagai pribadi yang lemah dan tergantung menjadikan pembelajaran berpusat kepada guru ( teacher center). Pembelajaran yang semacam itu oleh Freire disebut sebagai pendidikan ’’gaya bank’’.Ada sejumlah antagonisme pendidikan ’’gaya bank’’ yang terjadi menurut Freire, yakni guru mengajar, murid belajar; guru tahu segalanya, murid tidak tahu apaapa; guru berpikir, murid dipikirkan; guru bicara, murid mendengarkan; guru mengatur, murid diatur; guru memilihdanmemaksakanpilihannya, murid menuruti; guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya; guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri; guru memiliki wewenang ilmu pengetahuan dan profesionalismenya, lalu mempertentangkan dengan kebebasan murid-murid; dan guru adalah subjek proses belajar, sementara murid menjadi objeknya.
Persona Penuh Potensi Guru yang menerapkan pembelajaran ’’gaya bank’’ tidak hanya memosisikan siswa menjadi pasif. Dalam penilaian pendidikan pun, guru lebih memilih menyusun soal dengan tingkat intelektualitas rendah dengan soal- soal LOTS ( lower order thinking skill), misalnya ingatan ( C1), pemahaman (C2), dan penerapan (C3). Itu dilakukan karena guru menganggap siswa belum mampu berpikir kritis dan abstrak. Jarang guru merangsang siswa dengan soal-soal berpikir tingkat tinggi, HOTS ( higher order thinking skill) macam soal analisis (C4), sintesis (C5), dan kreativitas (C6).
Itulah sebabnya, ketika mengikuti studi internasional macam PISA ( programme for international student assessment) yang mengukur kemampuan matematika, sains, dan membaca, pelajar Indonesia selalu berada di ranking buntut. Pada 2012, Indonesia berada di posisi ke-64 di antara 65 negara yang disigi. Pada 2015, meski beranjak naik, posisi Indonesia tetap saja berada di posisi bawah, yakni peringkat ke-69 di antara 76 negara yang distudi.
Hal itu berbeda dengan Vietnam, misalnya. Negara tersebut merdeka pada tahun yang sama dengan Indonesia, yakni 1945. Prestasi yang patut dijadikan pelajaran adalah, dalam studi PISA 2015, Vietnam berada di posisi ke-12 di atas Jerman (13), Australia (14), dan Inggris (20). Mengapa prestasi pendidikan di Vietnam begitu melesat? Tidak lain di antaranya adalah guru memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk mengembangkan potensinya. Singapura yang pada 2015 menduduki peringkat pertama dalam studi PISA maupun Finlandia (6) yang biasanya juga jawara setiap studi PISA dilakukan dalam praksis pendidikannya juga memberikan kemerdekaan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Jadi, pendidikan itu memerdekakan peserta didik, bukan membelenggu, apalagi menakutkan.
Siswa –merujuk Howard Gardner (2011) dalam Frames of Mind: The Teory of Multiple Intelligences– adalah pribadi yang kaya potensi dan multi kecerdasan. Tugas guru ialah mengembangkan potensi tersebut menjadi kompetensi dengan peran sebagai motivator dan fasilitator. Itu bisa terjadi bila guru memberikan ruang dan kesempatan kepada siswa sebagai manusia pembelajar sepanjang hayat yang merdeka. Itu tidak bisa diciptakan oleh guru konvensional yang masih kukuh dengan peran pengkhotbahnya, tetapi hanya bisa terjadi oleh guru yang menerapkan active learning bagi siswanya untuk merdeka dalam belajar. Bukankah begitu?! (*)
*) Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang