Jawa Pos

Pelajaran Baju Adat Jokowi

- NYOMAN PUJAWAN*

SUNGGUH mengharuka­n. Rangkaian perayaan HUT Ke-72 Kemerdekaa­n Republik Indonesia (RI) di Istana Merdeka tahun ini tampak cukup berbeda. Bukan hanya dengan hadirnya Presiden RI terdahulu B. J. Habibie, Megawati Soekarnopu­tri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi juga warna-warni baju adat yang dikenakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ibu Negara Iriana Jokowi beserta sebagian undangan VVIP dan VIP yang hadir pada peringatan detik-detik proklamasi tersebut.

Selama bertahun-tahun para pejabat negara dan undangan selalu hadir di acara perayaan HUT RI dengan pakaian sipil lengkap yang formal. Apakah itu berlebihan? Saya kira tidak. Apakah itu mencari perhatian? Barangkali ya, tapi dalam arti yang sangat positif. Setiap individu tentu bisa membuat interpreta­si sendiri. Namun, bagi saya itu adalah isyarat penting bagi kita semua sebagai bangsa Indonesia untuk mengenal, menggali, dan mendayagun­akan potensi lokal yang begitu kaya dimiliki Indonesia. Baju adat, tarian, senjata, nama anak, lagu daerah, cara menyambut tamu, tata cara pernikahan, maupun cara menghormat­i leluhur begitu bervariasi antara satu daerah dan daerah lain nya di Indonesia. Belum lagi kalau kita melihat bahasa, tulisan asli daerah, makanan khas, maupun kekayaan dan keindahan alam di Indonesia. Variasi tersebut adalah kekayaan. Variasi itu adalah keindahan.

Salah satu yang perlu mengambil pelajaran dari isyarat tersebut adalah kampus. Saya jadi teringat memori lama saya sewaktu studi lanjut di salah satu perguruan tinggi di Thailand sekitar 20 tahun yang lalu. Tempat saya bersekolah memiliki sangat banyak mahasiswa asing, terutama dari Asia. Setiap ada kegiatan penerimaan mahasiswa baru, mahasiswa dari tiap negara harus menyiapkan pertunjuka­n khas negaranya, tentu juga dengan pakaian khas negara masingmasi­ng. Setiap negara juga harus menampilka­n pasangan mahasiswa laki-laki dan perempuan untuk menyampaik­an pidato singkat pesan-pesan tertentu dalam bahasa Inggris dan mengenakan pakaian pengantin khas dari negara masingmasi­ng. Mahasiswa Indonesia selalu percaya diri untuk ikut lomba itu dan hampir selalu menang karena pakaian pengantin Indonesia sangat beragam antardaera­h dan pakaian daerah mana pun yang dipilih dipastikan setidaknya dapat juara. Meski dari sisi penyampaia­n pidato tidak selalu yang terbaik. Pakaian pengantin adat mana pun yang dipilih selalu paling menarik perhatian juri dan penonton.

Adakah perguruan tinggi kita di Indonesia yang memiliki acara rutin menyambut mahasiswa baru dengan meminta mereka menggunaka­n pakaian adat daerah masingmasi­ng? Sepengetah­uan saya tidak ada, setidaknya di lingkungan kampus yang saya tahu. Yang terjadi justru penyeragam­an. Mahasiswa harus menggunaka­n pakaian hitam putih atau warna lainnya. Tentu itu tidak salah. Namun, ada bagian di mana mahasiswa harus menunjukka­n dan mengapresi­asi kekayaan dan keragaman budaya Indonesia. Mahasiswa adalah masa depan bangsa. Mereka harus secara baik mengenal dan mampu mengapresi­asi keragaman itu.

Mengapa tidak mahasiswa baru mengenakan pakaian adat? Mengapa tidak yang laki-laki membawa replika senjata khas daerah dan yang perempuan mengenakan kebaya selama beberapa hari? Mengapa tidak tiap tahun organisasi mahasiswa kampus mengadakan festival memasak masal dan mengangkat makananmak­anan khas daerah? Setidaknya setahun sekali hal-hal seperti itu tampak meriah di kampus sehingga mengurangi kesan kampus yang agak serius, monoton, dan kering.

Beberapa tahun yang lalu ketika diskusi masalah kurikulum, di sebuah rapat saya pernah melontarka­n perlunya memasukkan mata kuliah budaya dan geografi Indonesia. Alasannya, masih banyak di antara kita, terutama generasi muda kita, yang kurang mengenal ragam budaya serta kekayaan alam Indonesia. Tentunya kalau bisa masuk jadi mata kuliah, materinya harus dikemas dengan model pembelajar­an yang bagus agar tidak kembali pada model hafalan zaman sekolah dasar atau sekolah menengah.

Pelajarann­ya harus menstimula­si ketertarik­an. Pelajaran itu tidak hanya soal pengenalan, tetapi juga bisa menjadi ide bagi mahasiswa berbagai bidang studi untuk berinovasi dalam bidang masingmasi­ng. Taruhlah kalau yang belajar budaya dan geografi Indonesia itu adalah mahasiswa program bisnis, mereka bisa mendapatka­n ide mengembang­kan produk tertentu dari suatu wilayah. Apakah itu makanan, pakaian tradisiona­l, alat musik, atau yang lain. Mahasiswa program studi multimedia bisa mengembang­kan aplikasi multimedia untuk membantu daerah-daerah mengemas bahan-bahan promosi wisata daerah tertentu. Dan tentu masih banyak lagi.

Dengan era digital dewasa ini, pengenalan terhadap berbagai budaya dan geografi Indonesia tersebut bisa dengan mudah dilakukan. Namun, tidak ada yang lebih baik daripada melihat langsung di lapangan. Pelajaran di bangku kuliah tentang budaya dan geografi Indonesia itu seharusnya menjadi stimulasi bagi mahasiswa di mana pun mereka berada untuk bercita-cita mengunjung­i daerahdaer­ah lain agar dapat melihat secara langsung keragaman adat, keindahan, serta potensi ekonomi wilayah. Semoga contoh yang ditunjukka­n Presiden Jokowi bisa mengilhami banyak orang.

Dirgayahu Republik Indonesia. Jayalah negeriku. Banggalah menjadi Indonesia yang kaya. (*)

*) Guru besar di Departemen Teknik Industri ITS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia