Jawa Pos

BELUM 100% MERDEKA

Indonesia baru saja merayakan kemerdekaa­n yang ke-72. Kemeriahan­nya bisa dirasakan dari desa hingga kota-kota besar. Namun, di tengah ingar-bingar perayaan itu, masih banyak rakyat Indonesia yang merasa belum merdeka dari kemiskinan, rasa lapar, dan kebod

- (swn/tih/c6/wir)

BERDASAR data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Agustus 2017, jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2017 mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen) atau naik 6.900 orang jika dibandingk­an dengan penduduk miskin pada September 2016 sebanyak 27,76 juta orang (10,7 persen).

Kenaikan tersebut terjadi di daerah perkotaan. Pada periode September 2016–Maret 2017, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik 188.190 orang. Sebaliknya, di daerah pedesaan jumlahnya justru turun 181.290 orang.

Meski begitu, sebagian besar penduduk miskin tinggal di daerah pedesaan. Menurut data BPS per Maret 2017, penduduk miskin yang tinggal di daerah pedesaan 61,56 persen dari seluruh penduduk miskin, sementara pada September 2016 sebanyak 62,24 persen. Persoalan kemiskinan bukan sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatik­an adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.

Pada periode September 2016–Maret 2017, indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2) mengalami kenaikan. Indeks kedalaman kemiskinan pada September 2016 adalah 1,74 dan pada Maret 2017 naik menjadi 1,83. Demikian pula, indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,44 menjadi 0,48 pada periode yang sama.

Pada Maret 2017, nilai indeks kedalaman kemiskinan untuk daerah perkotaan 1,24, sementara di daerah pedesaan jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 2,49. Pada periode yang sama, nilai indeks keparahan kemiskinan untuk perkotaan adalah 0,31, sedangkan di daerah pedesaan mencapai 0,67.

Karena itu, upaya memperkeci­l jumlah penduduk miskin harus dibarengi dengan kebijakan- kebijakan strategis untuk mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pasalnya, naiknya angka kemiskinan juga berarti meningkatn­ya potensi anak-anak yang putus sekolah. Hal itu bisa dilihat dari data arus siswa yang dirilis Kementeria­n Pendidikan dan Kebudayaan.

Tercatat, jumlah siswa sekolah dasar (SD) yang putus sekolah pada tahun pelajaran 2016–2017 sebanyak 39.213 orang atau 0,15 persen. Sementara itu, lulusan SD yang memutuskan untuk tidak melanjutka­n ke jenjang sekolah menengah pertama (SMP) cukup banyak, yaitu 946.013 orang atau 21,92 persen. Lulusan SMP yang tidak melanjutka­n ke sekolah menengah atas/kejuruan (SMA/SMK) berjumlah 71.492 orang atau 2,18 persen.

Pengamat pendidikan Jejen Mustafah mengaku sangat prihatin dengan kondisi itu. Apalagi jika penyebab siswa putus sekolah dan tidak bisa melanjutka­n ke jenjang berikutnya adalah masalah ekonomi. ”Pemerintah dan masyarakat harus menjadikan masalah ini sebagai isu utama. Cari solusi untuk memecahkan persoalan tersebut,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos Rabu (16/8) lalu.

Hal itu penting karena bangsa yang ingin maju harus memiliki generasi penerus yang berkualita­s. Pendidikan harus dianggap sebagai kebutuhan vital, sama halnya dengan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. ”Dalam keluarga, pendidikan adalah kebutuhan pokok. Bahkan, banyak orang tua yang mau mengurangi kualitas rumah atau makanan demi anak-anaknya bisa mendapat pendidikan tinggi,” sebutnya.

Menurut Jejen, kemiskinan memang selalu menjadi bayang-bayang hitam pendidikan di Indonesia. Namun, dia berharap setiap keluarga tetap menomorsat­ukan pendidikan bagi anakanakny­a. Sebab, jika generasi penerus bangsa tidak dibekali ilmu yang cukup, Indonesia tidak akan dapat mengentask­an kemiskinan. ”Jadi, yang harus dibenahi dulu adalah bidang pendidikan,” tegasnya.

Dengan peningkata­n mutu pendidikan, secara otomatis penganggur­an berkurang dan kebodohan dapat diatasi dengan mudah. Peran pemerintah sangat vital dalam hal ini. Diperlukan kebijakan-kebijakan strategis untuk mengurangi kemiskinan, baik di kota maupun desa. ”Masyarakat yang lemah ekonominya harus dibantu agar tetap mampu menyekolah­kan anaknya,” kata Jejen.

Dia mengakui, masih banyak orang tua yang tidak paham pentingnya pendidikan. Namun, rendahnya kesempatan rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan tetap harus menjadi perhatian semua pihak. ”Perhatian dan koordinasi pemerintah pusat dan daerah kurang maksimal. Seharusnya, ini juga didukung dunia usaha. Kita bisa kalau mau bekerja sama dan bersinergi untuk mengatasi ini,” tuturnya.

Jejen menambahka­n, sebaiknya anggaran pendidikan nasional ditambah untuk mengentask­an pendidikan dasar 9 tahun dan diperluas menjadi 12 tahun. Menurut dia, pendidikan dasar harus benar-benar dibebaskan dari segala beban biaya sehingga rakyat miskin tetap bisa mengenyam pendidikan. ”Jangan sampai nanti banyak usia produktif yang hanya lulusan SD,” ketusnya.

Dampak sosial yang terjadi pada masa depan adalah jumlah penganggur­an yang tinggi dan menjadi beban negara. Meski tetap bisa bekerja di sektor industri kreatif, biasanya mereka hanya berada di level bawah atau buruh yang tidak menjanjika­n kualitas hidup sehat. ”Bisa saja nanti kejahatan semakin tinggi karena banyak rakyat yang terdesak ekonomi,” jelasnya.

Menanggapi hal itu, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad mengaku perlu mengecek data terlebih dahulu. Namun, dia menduga, tingginya jumlah lulusan SD yang tidak melanjutka­n ke jenjang SMP bukan hanya karena masalah kesulitan ekonomi. ”Ada lulusan SD yang memilih lanjut ke pesantren, madrasah, atau ambil paket B,” katanya.

 ?? MIFTAHUL HAYAT/JAWA POS ?? HARUS JADI PRIORITAS: Pendidikan sama pentingnya dengan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Sebab, pendidikan merupakan salah satu kunci penting dalam mengentask­an kemiskinan.
MIFTAHUL HAYAT/JAWA POS HARUS JADI PRIORITAS: Pendidikan sama pentingnya dengan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Sebab, pendidikan merupakan salah satu kunci penting dalam mengentask­an kemiskinan.
 ?? IMAM HUSEIN/JAWA POS ?? MENATAP MASA DEPAN: Bangsa yang maju harus memiliki generasi penerus yang berkualita­s. Jangan sampai mereka putus sekolah.
IMAM HUSEIN/JAWA POS MENATAP MASA DEPAN: Bangsa yang maju harus memiliki generasi penerus yang berkualita­s. Jangan sampai mereka putus sekolah.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia