Jawa Pos

BEKAL BANGUN TOLERANSI

Bhinneka Tunggal Ika. Berbedabed­a tetapi tetap satu. Semboyan negara Indonesia itu biasa didengungk­an di sekolah. Bagaimana memberikan pengertian soal itu kepada anakanak agar memahami makna indahnya dengan benar, tidak sekadar menghafalk­annya?

- (fam/c14/ayi)

SEJAK dini, anak bisa mengenali perbedaan. Menurut psikolog Fransisca L.H. MPsi, si kecil bahkan memiliki kemampuan tersebut sejak dalam kandungan. ’’Saat berada di dalam kandungan, anak merekam suara orang yang sering didengar. Makanya, ketika lahir, bayi sudah bisa lebih dekat kepada ibu dan ayah ketimbang orang luar,’’ terangnya.

Seiring dengan bertambahn­ya usia, anak akan mulai mengenali wajah dan watak dalam konsep yang lebih sederhana. Anak mulai dapat membedakan perbedaan beberapa orang yang dikenal. Misalnya, saat bersama si A, dia merasa nyaman. Sebaliknya, ketika bareng si B, dia murung atau marah.

Psikolog di SD SAIM Surabaya itu menuturkan, anak mulai memahami konsep perbedaan yang riil pada usia 3 tahun yang merupakan awal periode sosialisas­i. Si kecil juga memahami identitas dirinya. Memasuki usia tersebut, orang tua sebaiknya mulai memfasilit­asi. ’’Misalnya, diajak ke playground atau tempat umum yang memungkink­an anak bertemu dengan banyak orang dari latar belakang berbeda,’’ ujarnya.

Bunda dan ayah bisa mengamati respons anak saat menjumpai individu yang berbeda, baik dari segi penampilan, cara bicara, maupun hal yang lebih spesifik seperti suku atau agama.

Sisca menyatakan, ada dua kemungkina­n yang muncul. Pertama, anak tetap santai dan terlihat biasa. Kedua, anak kaget, kemudian cenderung waspada.

Alumnus Universita­s Airlangga itu menjelaska­n, kuncinya ada pada pembiasaan. Jika tinggal di lingkungan heterogen, si kecil biasanya lebih tenang dan tidak kaget menghadapi perbedaan. ’’Orang tua juga pegang peranan. Kalau ayah-ibunya fleksibel dan bisa adaptasi, anak bakal mengikuti. Namun, jika orang tua sulit beradaptas­i, anak akan ikut-ikutan kaku,’’ kata Sisca.

Di lingkungan baru, anak biasanya mulai banyak bertanya atau berkomenta­r. Misalnya, kenapa seseorang beribadah di masjid, tetapi ada yang di gereja atau pura? Atau, bertanya tentang perbedaan warna kulit maupun bentuk mata.

Jony Eko Yulianto SPsi MA menyebut hal tersebut terbilang wajar. Menurut dia, orang tua tidak perlu bereaksi keras ketika anak mengkritis­i lingkungan sekitar. ’’Anak perlu punya pengalaman menghadapi orang-orang dengan latar belakang berbeda. Berinterak­si dengan beragam individu bisa meminimalk­an terbentukn­ya bias atau sentimen terhadap salah satu kelompok,’’ jelas Jony.

Dosen Fakultas Psikologi Universita­s Ciputra itu mengungkap­kan, bila tidak memiliki pengalaman tersebut, anak bakal tumbuh sebagai seseorang yang punya toleransi rendah. Tidak tertutup kemungkina­n, anak akan menjadi seorang yang etnosentri­sme. ’’Etnosentri­sme ditandai dengan kebanggaan berlebih pada latar belakangny­a. Orangorang ini cenderung memandang rendah kelompok lain. Cuma kelompokny­a yang superior,’’ papar Jony.

Efeknya, anak sulit beradaptas­i dan kurang memiliki toleransi pada keberagama­n. Hal itu bakal merugikan masa depan anak, terutama pada masa globalisas­i seperti sekarang.

Jony menuturkan, globalisas­i memudahkan individu bekerja atau pindah ke luar daerah atau luar negeri. ’’Kalau tidak dibekali pemahaman tentang cara menghadapi perbedaan atau social skill lainnya, anak akan sulit beradaptas­i. Lebih buruk lagi, mereka bisa paranoid pada lingkungan barunya,’’ tegas Jony.

 ?? DITE SURENDRA/JAWA POS ?? ANAK INDONESIA: Dari kiri, Yushaluna, Adika, Adiba, Emily, dan Osca mempraktik­kan sikap saling menghargai perbedaan di sekolah mereka, SDN Margorejo 1 Surabaya.
DITE SURENDRA/JAWA POS ANAK INDONESIA: Dari kiri, Yushaluna, Adika, Adiba, Emily, dan Osca mempraktik­kan sikap saling menghargai perbedaan di sekolah mereka, SDN Margorejo 1 Surabaya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia