Grahadi Berubah Jadi Palagan
SURABAYA – Halaman Gedung Negara Grahadi yang biasanya tenang mendadak gegap gempita. Ratusan warga berkumpul di sana, mengubah halaman berumput hijau itu menjadi ”kota kecil”. Ada yang berdagang semanggi, main kartu remi, sampai angon kambing.
Keriuhan tersebut sontak hening saat terdengar suara radio yang agak ngadat. Keresek-keresek sebentar, lalu terdengarlah suara Soekarno yang menggelegar. Membacakan proklamasi. Setelah kalimat terakhir, warga yang anteng tadi kembali riuh, bahkan lebih heboh dari sebelumnya. Mereka berlarian, memanggil-manggil bapak maupun emak, menyerukan pekik ”Merdeka!”.
Sayang, kebahagiaan itu segera sirna. Halaman Grahadi berubah sejenak menjadi kantor pemerintahan pusat di Jakarta
Petinggi Kerajaan Inggris kala itu yang salah satunya adalah Jenderal AWS Mallaby bertandang menemui Presiden Soekarno. Menegosiasikan kesepakatan agar warga Surabaya tak melawan pemerintahan yang dijalankan Inggris. Gencatan senjata pun disepakati.
Sayang, warga di Surabaya sudah bersiap memberontak. Kembali ke setting Surabaya 1945, tepatnya Oktober, rakyat Surabaya menyerang. Tidak peduli lakilaki atau perempuan, semua turun ke medan pertempuran.
Bahkan, para perempuan berjarit dan berkebaya tampak gahar saat berlari di atas aspal tanpa alas kaki. Begitu pula pejuang laki-laki dengan sarung dan kaus putihnya yang mulai memerah karena bercak darah.
Pertarungan sengit mereka melawan pasukan Inggris. Dipimpin Jenderal AWS Mallaby, tiga jip besar memasuki halaman Grahadi. Seolah-olah jip itu adalah tank yang mematikan. Di atasnya, bendera Union Jack berkibar dengan angkuhnya. Pasukan Inggris berseragam hijau kecokelatan menyerang dengan senapan dan pistol.
Sementara itu, rakyat menyerbu tanpa takut meski hanya berbekal bambu runcing. Asap hijau, merah, dan putih mengepul di mana-mana. Nyaris menutupi aksi heroik para pejuang.
Itulah cuplikan drama kolosal pertempuran 10 November dan tewasnya Jenderal Mallaby yang dipentaskan kemarin (17/8). Drama tersebut menjadi puncak peringatan Hari Kemerdekaan RI yang dikemas dalam tajuk Parade Senja oleh Pemprov Jatim. Drama yang melibatkan nyaris 300 orang itu disutradarai langsung oleh Taufik Monyong dari Dewan Kesenian Jatim.
Bukan hanya seniman lakon, drama itu juga melibatkan TNI, mahasiswa, organisasi pemuda, serta dewan kesenian sendiri. Pemkot juga mengadakan upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI dengan cukup meriah. Mulai menampilkan orkestra, kolintang, sampai drama kolosal yang diperankan anak-anak SMP Surabaya.
Ribuan anak terlibat dalam kegiatan tersebut. Bahkan, pemkot menghadirkan anakanak penyandang disabilitas untuk memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan RI. ”Ini putraputri kami yang mungkin memiliki kekurangan, tetapi memiliki bakat yang luar biasa,” kata Risma.
Dia menyatakan, dalam peringatan Hari Kemerdekaan RI kali ini, dirinya ingin warga Surabaya tidak terpecah belah. Risma ingin masyarakat bisa belajar dari sejarah. Yakni, kemerdekaan diraih melalui persatuan rakyat hingga menghasilkan kekuatan besar. ”Jangan sampai terpecah kembali,” ujarnya.
Menurut Risma, penjajahan ke depan berbeda dengan zaman dahulu. Penjajahan justru tidak kasatmata. Misalnya, banyak pengangguran, susahnya memperoleh pendidikan, dan perekonomian yang kian suram. ”Itu sebabnya, kita semua harus bersama-sama memerangi penjajahan tersebut,” urainya.
Risma menambahkan, tantangan ke depan akan jauh lebih berat. Selain masalah ekonomi dan kebodohan, penjajah masuk dengan cara merusak generasi bangsa melalui narkoba. ”Kita harus lanjutkan kemerdekaan ini dengan bekerja keras. Memerangi kebodohan dan kemiskinan,” tegas Risma.
Tahun ini pemkot melibatkan ribuan anak sekolah. Mereka tampil dengan gembira melalui bakat yang dimiliki masing-masing. Bahkan, persiapan anak-anak untuk peringatan Hari Kemerdekaan RI cukup matang. ”Mereka berani tampil dan calon generasi bangsa yang sukses,” tandasnya. (deb/ayu/c25/ano)