Jawa Pos

Minim GPK, SMK Kewalahan

Siswa Inklusi Butuh Perhatian Ekstra

-

SURABAYA – Sebagai upaya pemerataan pendidikan, seluruh sekolah harus menerima siswa inklusi. Padahal, tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang mumpuni. Salah satunya, guru pendamping khusus (GPK).

Para siswa inklusi memang memiliki kebutuhan yang berbeda dari siswa lain. Keberadaan­nya tidak jarang menghambat kegiatan pembelajar­an. Terutama di sekolah tanpa GPK.

Hal itu diungkapka­n Waka Kesiswaan SMKN 5 Anton Sujarwo. Tidak adanya GPK membuat para guru kewalahan. Apalagi, beragam jurusan yang tersedia berbasis teknik. Tentu, ucap Anton, itu menuntut kegiatan praktik dengan alat-alat kelistrika­n. ”Ini kan mengkhawat­irkan,” katanya.

Padahal, saat ini ada lima siswa inklusi di jurusan listrik. Hal tersebut, menurut Anton, membuat para guru pengajar harus ekstra perhatian. Sebab, lengah sedikit, ada saja hal berbahaya yang diper- buat para siswa tersebut. Anton mencontohk­an siswa yang hampir menggigit kabel listrik. Untungnya, guru sigap dan mencegah siswa itu dari bahaya kesetrum. Karena para guru tidak memiliki bekal sebagai GPK, hal tersebut memusingka­n mereka.

Hal serupa terjadi di SMKN 1. Pada penerimaan peserta didik baru kemarin, SMKN 1 menerima siswa inklusi. Hal tersebut harus dijalani. ”Karena kan kami tidak boleh menolak,” ujar Ketua PPDB SMKN 1 Abdul Majid.

Memang, beberapa pendaftar inklusi ngotot masuk SMKN 1. Padahal, menurut Majid, SMKN 6 lebih siap menerima inklusi. Sebab, sekolah itu memiliki GPK. Meskipun demikian, Majid mengaku bahwa banyak wali murid yang tetap ingin memasukkan anaknya di SMKN 1. ”Kami sudah jelaskan kalau kami tidak punya GPK, tapi ya kami yang repot,” jelasnya.

Para siswa inklusi tersebut memang beberapa kali menjadi kendala. Tidak jarang, kondisi itu memengaruh­i siswa lain. Selain guru yang aktif menangani, teman satu kelas ikut membantu. ”Ka- sihan siswanya karena tidak ditangani dengan tepat. Kasihan juga gurunya,” ungkap pengampu mata pelajaran PKn itu.

Pengamat pendidikan inklusi dari Universita­s Negeri Surabaya (Unesa) Budiyanto menyatakan, pendidikan inklusi merupakan tanggung jawab bersama. Bukan hanya dinas pendidikan, tapi juga dinas kesehatan, dinas sosial, dan dinas tenaga kerja. ”Ini sudah menjadi kewajiban untuk memiliki keberpihak­an kepada siswa inklusi,” ucapnya.

Terkait dengan ketersedia­an GPK, kata dia, instansi terkait harus ikut bertanggun­g jawab untuk menyediaka­n. Sebab, pada hakikatnya, siswa inklusi berhak mendapat pendidikan sesuai kebutuhann­ya.

Sementara itu, pemerintah memiliki kewajiban melaksanak­an sesuai ketentuan undangunda­ng untuk penyandang disabilita­s. ”Harus diusahakan. Kalau nunggu siap, bisa tidak pernah siap,” ujarnya. Karena itu, pihak sekolah atau instansi terkait bisa melakukan apa yang bisa diperbuat sesuai kondisi saat ini.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia