Separo Lebih Pelaku Masih di Usia Produktif
Gunungkidul satu-satunya kabupaten yang punya peraturan bupati terkait dengan penanggulangan bunuh diri. Dulu dikaitkan mitos, kini depresi dan sakit menahun yang jadi penyebab utama.
JOKO Pramono merasa hidupnya beruntung sekali dalam dua tahun terakhir. Teman-temannya mengajak dia kembali bekerja. Para tetangga juga tak henti-henti menyuntikkan semangat
Itu belum dukungan tambahan dari para aktivis LSM (lembaga swadaya masyarakat) Inti Mata Jiwa (Imaji). Semua itu pula yang pada akhirnya membuka matanya agar tidak kembali ke ”jalan gelap” dua tahun silam.
”Saya waktu itu merasa getun (menyesal, Red), kenapa kok memilih jalan itu,” kata Joko kepada Jawa Pos yang menemuinya di Dusun Gading, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, Jogjakarta (10/8).
Jalan gelap yang dimaksud, pemuda 28 tahun itu berusaha mengakhiri hidupnya pada 2015 karena didera banyak masalah. Dia memilih untuk menenggak racun.
Tapi, nyawa pria yang kini bekerja di bidang instalasi audio tersebut masih terselamatkan setelah salah seorang tetangga, Joko Waluyo, mengetahui tindakan itu. Sang tetangga lantas melarikannya ke klinik terdekat.
Untuk waktu yang lama, Gunungkidul memang lekat dengan fenomena bunuh diri. Tahun ini saja, hingga 10 Agustus lalu, sudah 25 orang yang memilih untuk mengakhiri hidup.
Berdasar data Polres Gunungkidul sebagaima na yang dihimpun Imaji, rata-rata angka kematian akibat bunuh diri di Gunungkidul mencapai 30 jiwa. Juga, fenomena tersebut tersebar merata di hampir semua kecamatan.
”Data ini merupakan hasil olahan sejak 2001. Ini belum termasuk data warga yang sengaja tidak dilaporkan, juga ada,” ujar Joko Yanuwidiasta, koordinator Imaji, kepada Jawa Pos.
Mengacu data itu, sejak 2001 sampai tahun ini selalu ada kasus bunuh diri di kabupaten yang beribu kota di Wonosari tersebut. Jumlah paling sedikit adalah 18 kejadian pada 2001.
Lalu, tahun 2007 mencatat angka kematian tertinggi. Sebanyak 39 warga bunuh diri. Angka tersebut sempat turun pada 2014 dengan 19 kematian akibat bunuh diri. Lalu, angka itu naik pada 2015 dan 2016 sampai menyentuh masing-masing 33 korban.
Yang memprihatinkan, angka kematian akibat bunuh diri juga didominasi usia produktif (18–60 tahun) pada tiga tahun terakhir. Mencapai 55 persen, 11 persen di atas kelompok usia lanjut atau di atas 60 tahun. Perbandingan data yang dirangkum selama 2005–2008 juga menunjukkan data yang kurang lebih sama. Menurut Yanuwidiasta, fenomena memprihatinkan di Gunungkidul itu awalnya kerap dikaitkan dengan mitos pulung gantung. Mitos tersebut terkait dengan munculnya bola api yang melintas atau dilihat warga yang lantas menjadi pemicu kenekatan pelaku.
Biasanya, jika sudah dikait-kaitkan dengan mitos itu, warga kemudian beramai-ramai mencari gelu atau penanda terkait. Namun, dari berbagai kejadian, masyarakat pada umumnya kebingungan untuk menemukan penanda tersebut.
”Dari situ, mulai muncul pergeseran keyakinan dari pulung gantung ke multifaktorial bunuh diri,” terang Yanuwidiasta.
Kasus gantung diri H, warga Kecamatan Semin, Gunungkidul, juga menunjukkan indikasi pergeseran pola pikir tersebut. Warga sekitar melihat, tidak ada keterkaitan tindakan H itu dengan mitos masa lalu.
” Lha memang orangnya sudah sakit menahun, merambat ke masalah ekonomi,” kata Sudoko, ketua RT 03, tempat H tinggal.
Imaji memang menemukan fakta bahwa bunuh diri bisa disebabkan berbagai faktor. Namun, faktor depresi dan sakit fisik menahun memiliki kontribusi terbesar sebagai pemicu bunuh diri.
”Sebanyak 43 persen memutuskan untuk bunuh diri karena depresi, 26 persen karena sakit,” terangnya.
Wakil Koordinator Imaji Sigit Wage Daksinarga menambahkan, data yang terkumpul selama ini menunjukkan bahwa kebutuhan warga Gunungkidul terhadap tenaga medis kejiwaan sudah mendesak. Namun, meski data kebutuhan itu sudah diketahui Pemkab Gunungkidul, belum ada langkah proaktif untuk memenuhinya.
”Gunungkidul yang seluas ini, psikiater hanya satu, di RSUD Gunungkidul,” kata Wage.
Langkah Pemkab Gunungkidul dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Berani Hidup pada 2016, yang lantas diganti menjadi Tim Pencegahan Bunuh Diri pada Juli lalu, juga belum efektif. Sebab, mayoritas pihak yang ditunjuk untuk terlibat dalam tim itu adalah birokrat.
”Pemkab juga belum tahu mau bertindak seperti apa, penganggarannya seperti apa,” kata Wage.
Ida Rochmawati, anggota Tim Pencegahan Bunuh Diri, menyatakan, pemkab sejatinya sudah memperhatikan dan serius menangani fenomena yang menjadi cap hitam Gunungkidul selama ini. ”Tolong ini dicatat, Gunungkidul adalah satu-satunya kabupaten yang punya peraturan bupati terkait penanggulangan bunuh diri. Ini sudah bergerak, cuma memang belum sinergi,” kata Ida.
Perempuan yang juga satu-satunya psikiater di Gunungkidul itu menyebutkan, yang sudah dilakukan pihaknya saat ini adalah deteksi dini terkait dengan faktor risiko bunuh diri. Mereka sudah mengunjungi langsung masyarakat, termasuk tokoh agama, untuk menyosialisasikan deteksi dini itu.
”Kami bersama Imaji juga menyampaikan sosialisasi moto Lihat, Dengar, dan Hubungkan,” kata Ida.
Perempuan yang datang ke Gunungkidul sebagai dokter PTT 17 tahun lalu itu menerangkan, moto tersebut adalah konsep sederhana agar masyarakat paham untuk melakukan deteksi dini perilaku bunuh diri. Mereka diminta untuk melihat apakah ada anggota masyarakat lain yang memiliki perilaku berbeda dari kebiasaan.
Jika ada, warga diminta untuk mendatangi orang tersebut. Atau setidaknya bertanya kepada anggota masyarakat lain soal perubahan perilaku yang dimaksud. Pada akhirnya, masyarakat diminta untuk menghubungkan warga yang berperilaku beda itu kepada pihak terkait.
”Menghubungkan itu ke tenaga medis ya, bukan ke dukun,” ujar perempuan asal Malang tersebut.
Satu–dua kecamatan di Gunungkidul sudah mengambil inisiatif dengan mendahului langkah pemkab untuk mengatasi persoalan yang terjadi hampir tiap tahun tersebut. Kecamatan Rongkop, misalnya, yang pada 2001–2008 mencatat angka kematian warga akibat bunuh diri mencapai 9 jiwa.
Lalu, sekitar 2010–2011, kecamatan tersebut mencanangkan diri sebagai kecamatan ramah dan sehat jiwa. Salah satu upaya Rongkop adalah menempatkan tenaga medis yang secara khusus membantu memberikan konseling di bidang kejiwaan.
Hasilnya, data 2011 hingga 2016 menunjukkan bahwa angka kematian akibat bunuh diri di Rongkop tinggal 2 jiwa. ”Artinya, saat wilayah itu sudah ramah jiwa, angka bunuh diri menurun,” jelas Wage.
Menurut Ida, menurunkan angka bunuh diri jelas bukan ranah timnya. Sebab, kematian tak bisa diramal.
Namun, dia mengklaim adanya peningkatan kepedulian masyarakat. Hal itu, menurut dia, terlihat dari meningkatnya rujukan anggota masyarakat ke sejumlah puskesmas untuk meminta konseling kejiwaan.
”Sekarang banyak puskesmas di Gunungkidul yang menjadikan layanan kesehatan jiwa sebagai unggulan. Seperti di Wonosari, Paliyan, dan Rongkop,” papar dia.
Di atas segalanya, yang terpenting, barangkali, memang kepedulian lingkungan sekitar. Joko Pramono contohnya. Perhatian yang dia dapatkan dari teman dan tetangga menguatkannya untuk kembali bangkit.
”Teman-teman tiap kali ketemu saya tak pernah mengungkit persoalan (bunuh diri, Red) itu. Mereka justru mengajak saya bekerja kembali,” katanya. (*/c11/ttg)