Jawa Pos

Gerakan Antijalan Kaki

-

IRONI merupakan bahan penting untuk komedi. Untuk bahan tulisan ini saja bisa berseri-seri. Karena kalau kita lihat sekeliling, hidup kita ini sangat penuh dengan ironi. Paling gampang: Soal jalan kaki

*** Ironi tidak perlu terlalu puitis. Tidak perlu terlalu berimajina­si. Tidak perlu berat-berat. Banyak sekali hal kecil dalam hidup kita ini yang sebenarnya ironis. Kita saja tidak sadar, tidak memedulika­n, dan ketika akhirnya sadar kemudian memutuskan untuk tetap membiarkan terjadi.

Mungkin dalam pekan-pekan ke depan akan banyak tulisan Happy Wednesday ini yang bicara soal ironi. Tapi, soal jalan kaki saja mungkin sudah memberi cukup bahan untuk membuat tulisan ini kepanjanga­n.

Serius. Indonesia ini punya masalah soal jalan kaki. Khususnya di kota-kota besar, dan sebenarnya di wilayah-wilayah yang lebih kecil pun sekarang sama.

Saking parahnya, seolah-olah sekarang ini seperti terjadi ”Gerakan Antijalan Kaki”.

Tidak perlu dicanangka­n pemerintah, tidak perlu diiklankan. Karena sudah banyak dipromosik­an di pusat-pusat perbelanja­an, bahkan di sekolah-sekolah!

Karena saya tinggal di kota besar, kampaye antijalan itu banyak terlihat di mal-mal atau di bandara atau di tempat-tempat publik lain yang ke luar-masuk kendaraann­ya tinggi.

Kalau di mal, entah mengapa, semua selalu berebut mencari area parkir paling dekat dengan pintu masuk ke mal. Rela menunggu, berputar-putar, daripada parkir di tempat yang dianggap jauh dari pintu masuk mal.

Rela membakar bahan bakar lebih banyak, rela membuang quality time lama. ”Daripada jalan terlalu jauh.” Biasanya begitu yang muncul di hati.

Jalan terlalu jauh? Emang jauh itu seberapa? Hanya gara-gara tidak mau berjalan 25 langkah, rela mutermuter cari parkir yang lebih ”dekat”.

Saya yakin, Anda, atau orang yang Anda kenal, perilakuny­a seperti itu ketika pergi ke mal.

Ketika ke bandara juga begitu. Yang bikin ribet adalah ketika semua mobil mencoba berhenti di tempat yang paling dekat dengan pintu masuk bandara. Rela menunggu bermenit-menit sambil menggerutu, lalu berhenti, bertumpuka­n di dekat jalan masuk yang diinginkan.

Padahal, kalau dia mau berhenti di tempat sebelumnya atau mau maju ke setelahnya, tidak akan menambah signifikan jarak yang harus ditempuh dengan jalan kaki. Paling nambah 10 sampai 30 langkah.

Oke, oke, ada koper yang harus diturunkan dan dibawa. Tapi, apakah koper itu butuh forklift untuk diangkut? Tidak, bukan? Emang sulit menyeret atau mengangkat koper untuk jarak ekstra 20 langkah?

Perilaku di airport itu berlaku sama dengan di sekolah-sekolah, khususnya yang banyak siswanya diantar pakai kendaraan. Baik mobil maupun motor.

Semua mobil antre dan berebut berhenti, bertumpuka­n di dekat pintu masuk sekolah. Itu bikin macet begitu luar biasa di jalanan sekitar sekolah tersebut. Jujur, termasuk sekolah anak saya. Apakah bisa berhenti sedikit lebih jauh, lalu sang anak disuruh jalan sedikit masuk ke sekolah? Tentu bisa. Tapi, apakah orang tua atau suster/asisten/ driver- nya mau? Mungkin tidak.

Alasan orang tua: Takut anaknya capek.

Alasan lain: Takut anaknya jatuh atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lainnya saat berjalan ke pintu masuk. Walaupun hanya puluhan langkah.

Alasan suster/asisten/ driver? Takut dimarahi orang tua karena anaknya disuruh jalan puluhan langkah.

Hayooo, siapa yang berpikirny­a seperti itu?

Tuh, kan, gerakan antijalan itu su dah dilaksanak­an di sekolah-sekolah! Sejak kecil, anak sudah diajari untuk jalan sesedikit mungkin!

Bagaimana di desa-desa atau kawasan lain? Bukan berarti orangnya sekarang masih mau jalan kaki, lho! Terima kasih dengan keberadaan motor, kunjungan tetangga 200 meter sekarang bisa dilakukan cukup dengan membakar sekian porsi bahan bakar.

Mau beli jajan di toko yang jaraknya 300 meter juga sama. Tidak perlu jalan kaki. Cukup nyalakan motor, jreng! Lalu menuju ke sana dan kembali ke rumah.

Anda pasti punya banyak contoh lain Gerakan Antijalan Kaki di sekeliling Anda. Bahkan mungkin banyak yang lebih ironis dan lucu bila dibandingk­an dengan contohcont­oh saya itu.

*** Kebetulan, saya berhasil membuat badan saya relatif kurus. Sehingga banyak orang bertanya resepnya apa. Biasanya, jawaban saya buat agak ngawur sekalian, ”Anda mungkin tidak akan tahan dengan cara saya.”

Emangnya dia mau bersepeda minimal tiga kali sepekan dengan jarak bisa 100 km sekali jalan? Emangnya dia mau bangun jam 03.45 setiap pagi, lalu sepedaan sebelum ke kantor?

Mungkin tidak perlu kurus lah. Yang penting sehat. Dan yang paling gampang kan dengan lebih banyak bergerak, bukan? Tidak harus olahraga keras kok. Orang yang nge-gym pun masih bisa masuk daftar ironi yang paling ironis!

Bayangkan, Anda naik mobil atau kendaraan lain ke mal. Kemudian turun sedekat mungkin dengan pintu masuk. Kemudian naik lift atau eskalator menuju lantai tempat gym berada. Kemudian, baru di dalam gym itu Anda berjalan cepat/berlari di treadmill atau simulasi naik tangga di stairmaste­r!

Bukannya lebih gampang jalan kaki/lari di suasana outdoor di pagi hari, lalu naik turun tangga di kantor atau tempat lain yang lebih praktis? Hayooo, siapa yang seperti itu? Tapi, mungkin masih mending lah mereka itu, yang pada akhirnya masih banyak bergerak di dalam gym. Karena mungkin lebih kasihan lagi mereka yang hanya banyak jalan kaki ketika ada event ”gerak jalan”.

Begitu hebatnya negara kita ini sampai jalan kaki saja harus di- buatkan event –dengan pancingan hadiah dan lain-lain– supaya masyarakat­nya mau jalan kaki!

Kalau di negara maju, memang infrastruk­tur untuk jalan kaki jauh lebih baik. Jalur pedestrian­nya bagus dan rindang. Banyak kawasan/ taman untuk jalan-jalan. Juga, suasana kota kondusif untuk jalan kaki dari satu tempat ke tempat lain.

Di sekolah dan kampus pun, yang namanya jalan kaki cepat untuk pindah dari satu ruang kelas ke yang lain juga biasa.

Di negara maju, juga ada hitungan anjuran supaya kita berjalan kaki minimal 30 menit sehari. Itu bisa memberi banyak dampak positif, mulai mood yang lebih baik, kesehatan perut, menjaga berat badan, hingga aspek sosial lain.

Negara kita memang belum negara maju. Juga, tidak semua kota punya visi untuk memperbaik­i dan meningkatk­an fasilitas pedestrian/pejalan kaki. Akhirnya, lengkaplah sudah. Pejalan kaki tidak diutamakan dan yang seharusnya jalan kaki juga memang tidak mau terlalu banyak jalan kaki!

Top! Hidup Gerakan Antijalan Kaki!!! (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia