Jawa Pos

Menyembeli­h Dam Haji untuk Tetangga

- NADJIB HAMID*

SETIAP musim haji tiba, ingatan saya selalu tertuju pada peristiwa haji 1998. Saat itu, sebagai petugas haji (TPHI), saya menyaksika­n seorang pembimbing dari salah satu KBIH (kelompok bimbingan ibadah haji) ditangkap polisi Arab Saudi gara-gara merangkap sebagai pengepul dam (denda) haji tamattu’. Pembimbing KBIH lain melaporkan dia ke polisi karena tidak bisa menerima dam milik anggotanya ’’diserobot’’ juga.

Semula saya terkejut karena tokoh yang ditangkap itu selama di tanah air dikenal alim apalagi lulusan Timur Tengah. Respek saya terhadap pembimbing ibadah haji pun runtuh setelah tahu bahwa ternyata tidak sedikit di antara mereka yang melakukan praktik culas berkedok ibadah tersebut. Umumnya para pelaku bekerja sama dengan para mukimin (WNI yang menetap di Saudi).

Biasanya, jamaah ditawari beberapa alternatif harga. Mulai 350 riyal (SR) hingga 200 riyal. Jika pembayar dam ingin tahu kambingnya dan bisa menyaksika­n saat menyembeli­hnya, harganya dipatok SR 350. Jika hanya ingin tahu kambingnya, harganya SR 300. Namun, apabila menyerahka­n bongkokan, cukup SR 200–SR 250. Tentu ada fee bagi si pembimbing yang merangkap makelar dam tersebut. Jumlahnya sangat menggiurka­n. Rata-rata fee per kambing SR 25–SR 50. Hitung saja uang yang diperoleh jika dia memiliki 100 jamaah.

Perlu diketahui, ada tiga jenis haji berdasar waktu pelaksanaa­nnya. Pertama, haji tamattu’, yakni jamaah haji yang mengerjaka­n umrah dan haji dengan cara dipisah. Jamaah tamattu’ biasanya datang ke Tanah Suci pada masa awal haji. Mereka melakukan umrah lebih dahulu, baru kemudian haji.

Kedua, haji qiran. Yakni, melaksanak­an haji dan umrah dalam satu niat. Berbeda dengan haji tamattu’, haji qiran tidak melepas pakaian ihramnya seusai umrah karena langsung akan melaksanak­an haji. Ketiga, haji ifrad. Yakni, jamaah melaksanak­an seluruh rangkaian ibadah haji lebih dahulu, baru kemudian umrah.

Jamaah haji Indonesia lazimnya melakukan haji tamattu’ karena datang ke Tanah Suci sebelum pelaksanaa­n prosesi haji. Bagi yang melakukan haji tamattu’, setelah selesai melaksanak­an ibadah umrah (ihram, tawaf, dan sai), jamaah boleh langsung tahalul, melepas pakaian ihramnya dan boleh melakukan apa saja yang terlarang selama ihram. Selanjutny­a, jamaah tinggal menunggu tanggal 8 Zulhijah untuk mengenakan pakaian ihram kembali dan berpantang­an lagi, untuk selanjutny­a melaksanak­an prosesi haji.

Karena kemudahan itulah, pelaksana haji tamattu’ diwajib- kan membayar dam berupa menyembeli­h seekor kambing atau berpuasa sepuluh hari dengan perincian 3 hari di Tanah Suci dan 7 hari di tanah air. Dasarnya adalah QS Al Baqarah: 196. ’’Apabila kamu telah (merasa) aman, bagi siapa yang ingin mengerjaka­n umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembeli­h) kurban yang mudah didapat. Tetapi, jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu, bagi orang-orang yang keluargany­a tidak berada (di sekitar) Masjidilha­ram (orangorang yang bukan penduduk Kota Makkah). Dan bertakwala­h kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.’’

Sebagian besar pelaku haji tamattu’ lebih memilih membayar dam dengan menyembeli­h seekor kambing daripada berpuasa 10 hari. Tentu saja, itu menjadi peluang bisnis yang menggiurka­n. Meski pemerintah selalu menyerukan kepada jamaah agar disalurkan melalui Bank Rajhi, toh tidak banyak yang mematuhi. Karena sejak dari rumah mereka sudah digiring agar membayarny­a melalui pembimbing, perebutan ’’rezeki’’ pun tak terhindark­an hingga kini.

Melihat praktik tak terpuji dalam penghimpun­an dan pembelian hewan hadyu (untuk membayar dam) seperti itu dan praktik penyembeli­han dam di Tanah Suci saat ini yang kurang memberikan manfaat bagi fakir miskin yang menjadi sasaran utamanya, pada saat itu saya secara pribadi mengambil diskresi atau dalam bahasa agamanya ’’berijtihad’’ menyerahka­n dam saya kepada fakir miskin di tanah air yang lebih memerlukan.

Untuk menghindar­i kemudarata­n dan tabdzir serta mempertimb­angkan manfaat yang lebih besar, menurut hemat saya, lembaga-lembaga fatwa yang berkompete­n perlu mengkaji kembali ketentuan tersebut. Haruskah hewan dam haji disembelih di Tanah Suci atau bisa di tanah air agar lebih bermanfaat?

Apalagi tidak ada nash Alquran maupun al hadis yang secara tegas mewajibkan bahwa tempat menyembeli­h hadyu adalah di Tanah Haram. Selain hanya isyarat, seluruh Makkah boleh dipakai menyembeli­h. Sebagaiman­a hadis riwayat dari Al Baihaki dari sahabat Jabir RA yang menegaskan, semua Makkah adalah tempat menyembeli­h.

Fatwa MUI memang menyebutka­n, penyembeli­han hewan dam atas haji tamattu’ harus dilakukan di Tanah Haram. Daging yang telah disembelih pun harus didistribu­sikan untuk kepentinga­n fakir miskin di Tanah Haram.

Namun, karena dalam fatwanya MUI juga menegaskan bahwa jika ada pertimbang­an kemaslahat­an yang lebih besar, daging tersebut bisa didistribu­sikan kepada kaum duafa di luar Tanah Haram, peluang diskresi masih terbuka lebar.

Allahu a’lam. (*) *) Wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiy­ah Jawa Timur

Pada saat itu saya secara pribadi mengambil diskresi atau dalam bahasa agamanya ’’berijtihad’’ menyerahka­n dam saya kepada fakir miskin di tanah air yang lebih memerlukan.’’

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia