Saracen dan Pasar Gelap Politik
PERTARUNGAN politik pada tingkat tinggi acap kali terjadi dalam ’’pasar gelap’’. Segala per mainan bisa terjadi dalam pasar gelap itu sampai waktu membukanya ke publik.
Dalam pasar gelap, bisa saja A menggunakan jasa B untuk menyerang C. Tapi, hal yang biasa pula jika C menggunakan jasa B untuk menyerang dirinya sendiri (C) dalam rangka simpati publik. Itu namanya victim playing.
Dalam pasar gelap, bisa saja A mendirikan B untuk menyerang C. Perkembangan kemudian B tumbuh dan berbalik menyerang A. Publik menduga B adalah musuh A sejak awal pendiriannya. Padahal, B itu ikut dibesarkan oleh A.
Sebelum segala hal terang benderang, kasus Saracen yang mengomersialkan isu SARA masih berada dalam wilayah pasar gelap. Polisi perlu dipuji karena mengangkat dan menemukan kasus penting itu. Namun, polisi harus tuntas hingga menemukan siapa pemakai jasa Saracen agar jelas duduk perkara.
Jika tidak, kasus Saracen menjadi bensin baru yang bisa membakar kembali luka, baik dalam Pilkada DKI 2017 maupun Pilpres 2014.
Cukup ketik di Google search, sudah muncul pernyataan yang bertentangan. Satu pihak menyatakan Saracen digunakan oleh pihak yang menang Pilkada DKI 2017. Muncul pula kesaksian, Saracen digunakan pihak yang kalah dalam Pilkada DKI 2017 untuk membangkitkan simpati.
Mana yang benar? Itu investigasi polisi yang harus mengusutnya. Saya selaku doktor ilmu politik sedikit memberi contoh apa yang terjadi dengan pasar gelap politik untuk kasus besar lain di dunia sana, yang kini sudah dibuka oleh pemainnya sendiri.
*** Pada 11 September 2001, pesawat merontokkan World Trade Center ( WTC) di New York. Korban tewas mencapai 2.996 warga dan luka lebih dari 6.000 orang. Kerugian ditaksir sebesar USD 10 billon atau setara dengan Rp 130 triliun karena hancurnya gedung dan infrastruktur.
Hingga hari ini, terjadi kesepakatan bahwa Al Qaeda berada di belakang aksi teroris yang mungkin paling spektakuler sepanjang sejarah. Segera muncul citra di publik luas, Al Qaeda musuh besar Amerika Serikat.
Publik tak tahu apa yang terjadi sebenarnya dalam pasar gelap po- litik. Kini pelan-pelan kita terbuka mata. Tak kurang dari Hillary Clinton sendiri yang berpidato resmi dan disiarkan luas di CNN. Kita pun tetap bisa menonton cuplikan pidato Hillary itu di YouTube.
Ujar Hillary, ’’Kita (Amerika) yang 20 tahun lalu ikut melahirkan Al Qaeda. Kita rekrut, latih, dan berikan logistik untuk kepentingan geopolitik Amerika di Timur Tengah melawan Uni Sovyet.’’
Yang terjadi kemudian, Al Qaeda membesar dan karena satu hal (tak kita tahu semuanya) berbalik melawan tuan yang ikut melahirkannya (Amerika Serikat).
Wow!!! Ternyata dalam politik bisa seperti itu. Apa yang terjadi di panggung terbuka bisa berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi, yang terselenggara dalam pasar gelap politik.
Kita bisa tengok kasus lain lagi. Sebuah true story yang sudah difilmkan: American Made (2017), dibintangi Tom Cruise yang memerankan seorang pilot bernama Barry Seal.
Betapa senangnya raja obat terlarang Pablo Escobar era 1980-an dengan Barry Seal. Pilot ini bisa dengan cerdas membantunya membawa ratusan kilo obat terlarang ke Amerika Serikat. Obat itu dari pesawat kecil dijatuhkan ke satu wilayah. Kolega bisnis Escobar sudah menanti kirim rezeki yang jatuh dari pesawat.
Bisnis lancar. Begitu banyak dana didapatkan.
Dari Barry Seal, Escobar dan kelompoknya bahkan bisa mendapatkan banyak senjata untuk gerilya. Dalam pasar gelap politik, bahkan itu tak disadari pemain sekaliber Pablo Escobar sekalipun. Ternyata Barry Seal adalah agen CIA yang disusupkan untuk memperoleh bukti dokumen, foto, dan sebagainya yang ujungnya menjerat Pablo sendiri.
Wow!!!! Ternyata dalam politik tingkat tinggi bisa seperti itu! Apa yang tampak di permukaan berbeda dengan yang sesungguhnya terjadi dalam pasar gelap politik. Ia yang seolah partner menjadi agen yang menjeratnya.
*** Karena itulah, kita memuji dan mendorong polisi harus mengungkap hingga detail siapa saja yang pernah memesan jasa the so called ’’Saracen’’ ini.
Mereka yang menggunakan politik identitas dengan melanggar hukum ( hate speech, kriminal) haruslah dihukum yang setimpal. Itu tak hanya melanggar hukum, tapi merusak kesatuan bangsa.
Namun, harus juga disadari berpolitik atas dasar keyakian agama itu dibolehkan oleh konstitusi UUD 45, prinsip HAM, dan praktik demokrasi modern.
Pemerintah dan warga juga harus pintar-pintar membedakan mana isu politik identitas yang boleh dan yang dilarang. Perbedaannya kadang membingungkan bagi yang tak terlatih dalam discourse pemikiran yang detail.
Semoga terbongkarnya kasus Saracen tak hanya meneguhkan kita sebagai satu negara. Dan juga semakin membuat kita paham bahwa ternyata dalam politik tingkat tinggi ada pula pasar gelap. (*) *) Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI)