Lepas Saham, tapi Tak Hengkang
Perpanjangan Operasi Freeport hingga 2041
JAKARTA – Setelah melalui putaran perundingan yang cukup alot, PT Freeport Indonesia (PTFI) akhirnya menyerah untuk melepas 51 persen saham kepada pemerintah. Namun, anak usaha Freeport-McMoran, raksasa tambang asal AS, tersebut mendapatkan jaminan perpanjangan operasi hingga 2041.
Hal itu tertuang dalam kesepakatan final dari perundingan yang berlangsung sejak Februari lalu. Kesepakatan tersebut diumumkan kemarin (29/8) dalam press conference yang dihadiri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, serta CEO Freeport-McMoran Inc Richard C. Adkerson di Kementerian ESDM, Jakarta.
Jonan menuturkan, selain divestasi 51 persen saham, PTFI bersedia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter dalam lima tahun sampai Januari 2022. Perusahaan tambang emas dan tembaga itu juga sepakat menjaga besaran setoran penerimaan negara lebih tinggi jika dibandingkan dengan skema kontrak karya (KK).
Jonan menegaskan, skema KK telah gugur dan beralih menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Lewat skema baru, Freeport tak lagi setara dengan pemerintah. Perusahaan tersebut harus memenuhi peraturan hukum dan tak bisa lagi berlindung di atas kesucian kontrak.
Dalam kesepakatan tersebut juga diatur mengenai perpanjangan operasi, yakni maksimum 2 kali 10 tahun. ’’Kita sepakat diberi perpanjangan yang pertama itu 10 tahun sampai 2031 dan yang kedua sampai 2041, dua kali 10 tahun,’’ ujarnya.
Jonan menambahkan, secara hukum, perpanjangan operasi tidak bisa dilakukan secara otomatis. Artinya, ada persyaratan lebih dahulu sebelum diperpanjang. Misalnya, harus membayar pajak, royalti, dan tidak boleh melanggar UU Lingkungan Hidup.
’’Selama itu dipenuhi, akan diberi perpanjangan sampai 2041. Ini akan dicantumkan secara detail dalam lampiran nanti. Kalau memenuhi (persyaratan) meski pemerintahannya berganti, itu otomatis akan diberikan,’’ jelasnya.
Selanjutnya, skema divestasi saham tersebut merujuk pada PP Nomor 1 Tahun 2017. Yakni, diprioritaskan kepada pemerintah pusat, lalu pemerintah daerah, selanjutnya BUMN, BUMD, dan terakhir perusahaan swasta nasional. Adapun penawaran saham melalui initial public offering (IPO) di lantai bursa baru akan dilakukan jika pemerintah pusat hingga BUMD tidak berminat dalam mengambil saham PTFI.
Di tempat yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, besaran penerimaan yang didapat negara ke depan akan lebih besar dibandingkan dari skema KK. Hal itu dilihat dari berbagai hitung-hitungan komponen penerimaan seperti royalti, PPN, PPh, maupun pajak daerah seperti yang diatur dalam IUPK.
’’Komposisi ini rata-rata akan meningkatkan penerimaan negara lebih tinggi dari sisi katakanlah total sales maupun income PT Freeport. Jadi, porsi yang dibayarkan pada pemerintah persentasenya akan lebih tinggi dari apabila menggunakan KK,’’ jelasnya.
CEO Freeport-McMoran Inc Richard C. Adkerson menyatakan, PTFI berkomitmen mematuhi hukum di Indonesia sekaligus transparansi dalam pelaporan keuangan. Kepastian hukum dan stabilitas investasi di Indonesia sangat penting bagi Freeport dalam melanjutkan operasinya menambang di Papua.
’’Jika kami tidak melakukan investasi untuk tambang bawah tanah, maka sumber daya tambang bawah tanah kami akan habis, tidak akan ada lagi sumber daya yang berkelanjutan dalam operasi kami,’’ ujarnya.
Sementara itu, dosen UGM dan mantan anggota Tim Antimafia Migas Fahmy Radhi mengungkapkan, kesepakatan yang diputuskan antara pemerintah dan Freeport lebih mengakomodasi tuntutan-tuntutan Indonesia. Fahmy melanjutkan, tanpa pengaturan detail, sejumlah kesepakatan tersebut malah berpotensi menimbulkan konflik baru. Sebab, Freeport akan kembali mencari celah.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menyambut positif hasil renegosiasi final tersebut. Namun, pihaknya menggarisbawahi bahwa kesepakatankesepakatan penting itu harus dilaksanakan secara konsisten. (dee/jun/ken/rin/c17/sof)