Sembilan BUMN Sakit, 24 Merugi
JAKARTA – Kinerja badan usaha milik negara (BUMN) sepanjang semester I tahun ini mengalami penurunan laba bersih. Laba yang dikumpulkan 118 perusahaan pelat merah mencapai Rp 87 triliun.
Artinya, terjadi penurunan laba bersih BUMN sebesar 1 persen bila dibandingkan dengan Rp 88 triliun pada semester I tahun lalu. ”Untuk kinerja, dibanding tahun lalu, more or less sama,’’ ujar Sekretaris Kementerian BUMN Imam Apriyanto Putro kemarin (29/8).
Penurunan perolehan laba disebabkan BUMN mengaloka- sikan sebagian laba untuk belanja modal. Hingga akhir tahun, 118 BUMN tersebut diprediksi mengumpulkan laba bersih Rp 180 triliun sampai Rp 197 triliun.
Hingga semester pertama tahun ini, belanja modal BUMN mencapai Rp 111 triliun. Artinya, ada lonjakan 40,50 persen ketimbang periode sama 2016 yang hanya Rp 79 triliun.
Alokasi belanja modal terbesar dialokasikan untuk sektor infrastruktur. Misalnya, listrik, minyak dan gas, serta telekomunikasi. ”Belanja investasi terbesar dibu- kukan PLN, Pertamina, dan Telkom Indonesia,’’ ungkapnya.
Kementerian BUMN juga berupaya menurunkan jumlah BUMN yang buntung. Pada semester I lalu, terdapat 24 BUMN yang merugi. Nilai kerugiannya mencapai Rp 5,826 triliun. Meski demikian, jumlah BUMN yang merugi itu lebih baik jika dibandingkan dengan 27 perusahaan BUMN pada tahun lalu. ”Kami berkomitmen pada akhir tahun hanya Merpati yang merugi,” ucapnya.
Kementerian BUMN berencana melakukan restrukturisasi de- ngan cara menggabungkan perusahaan yang rugi tersebut dalam satu holding.
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro menjelaskan, dari 24 BUMN yang mengalami kerugian, ada 9 di antaranya yang termasuk dalam kategori sakit.
Antara lain, Merpati Nusantara Airlines, Kertas Leces, Pengembangan Armada Niaga Nasional, dan Iglas. ’’Rugi sama sakit beda. Ada sekitar 9 BUMN yang sakit,’’ katanya. (dee/c20/noe)
– Ada kesenjangan yang cukup lebar antara komitmen dan realisasi investasi. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, sepanjang 2015 hingga semester I 2017, terdapat rencana investasi hingga Rp 4.837 triliun. Namun, baru Rp 1.494 triliun atau 30,9 persen yang dapat direalisasikan.
Tahun ini pemerintah menargetkan realisasi investasi Rp 678,8 triliun. Namun, selama ini rasio realisasi investasi terhadap komitmen investasi masih sangat rendah. Untuk menggenjot realisasi investasi tahun ini, BKPM melakukan reorientasi dan restrukturisasi organisasi. Kedeputian Bidang Kerja Sama Penanaman Modal yang sebelumnya berorientasi pada kegiatan kerja sama luar negeri diubah menjadi berfokus pada kegiatan kerja sama di dalam negeri, khususnya daerah.
Kepala BKPM Thomas Lembong mengungkapkan, salah satu kendala adalah beragamnya perizinan di daerah yang menghambat realisasi. ’’Jadi, perlu standardisasi perizinan-perizinan yang dikeluarkan di daerah,’’ katanya setelah pelantikan pejabat eselon II BKPM di kantornya kemarin (29/8).
Pihaknya pun melakukan reorientasi dan restrukturisasi untuk menjawab berbagai keluhan investor tentang karutmarutnya pelayanan investasi di daerah. ’’Ada yang sudah sangat baik sekali, tapi banyak yang masih menggunakan paradigma kuno. Akhirnya, mereka menjadi bagian dari masalah dan menghambat rea lisasi investasi,’’ ujarnya.
Thomas menuturkan, reorientasi dan restrukturisasi diharapkan bisa meningkatkan realisasi investasi di daerah. Selain itu, hal tersebut mampu memperkuat penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan yang telah ada di pelayanan terpadu satu pintu atau PTSP pusat.
Restrukturisasi BKPM difokuskan untuk membenahi pelayanan investasi di daerah. Salah satunya membentuk Direktorat Kerja Sama Standardisasi Perizinan dan Non Perizinan Penanaman Modal Daerah. Direktorat itu akan bertanggung jawab melakukan standardisasi perizinan. Kemudian, ada Direktorat Kerja Sama Pembinaan Teknis Perizinan dan Non Perizinan Penanaman Modal Daerah yang memiliki tiga fungsi utama. Yakni, pembinaan teknis, pemantauan, dan pengawasan. Yang terakhir, Direktorat Kerja Sama Penanaman Modal Luar Negeri yang bakal mengurusi kerja sama penanaman modal, baik di tingkat bilateral, regional, maupun multilateral.
Thomas menyatakan, reorientasi dan restrukturisasi itu juga merupakan langkah efektif dalam mengatasi hambatan yang dihadapi investor di daerah. Di antaranya, tidak adanya standardisasi jenis perizinan, lambatnya perizinan, rendahnya kompetensi aparatur daerah yang melayani perizinan, dan seringnya mutasi aparatur/ pejabat di daerah.
Kepala Pusat Data dan Informasi BKPM Siti Romayah menjelaskan, aspek utama pembenahan adalah terkait dengan sistem teknologi informasi pelayanan investasi di daerah yang akan disinergikan dengan sistem di pusat. Selama ini, meski BKPM gencar melakukan berbagai langkah untuk membantu pembentukan PTSP di daerah, belum ada pengawasan secara khusus.
’’ Targetnya adalah sistem teknologi informasi yang ada dapat diintegrasikan. Namun, untuk tahap awal, dilakukan pilot project di mana setiap sistem yang ada bisa saling terhubung melalui interface,’’ terang Siti. (ken/c14/sof)