Wilayah Jawa Timur Jadi Prioritas
Menyorot Rencana Pembentukan Kantor Perwakilan LPSK Permohonan untuk mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencapai ratusan, bahkan ribuan, dalam setahun. Termasuk yang berasal dari daerah. Jatim termasuk yang paling t
BERDASAR data yang dikeluarkan LPSK, jumlah pemohon perlindungan yang berasal dari Jatim sebanyak 67 orang. Atau, hampir 10 persen dari jumlah pemohon secara nasional ( selengkapnya lihat grafis).
Jumlah tersebut diprediksi terus bertambah. Pada kasus pencabulan di salah satu panti asuhan di Jalan Ngagel Jaya Tengah, misalnya. Sembilan korbannya belum terdata. Ada tujuh anak di bawah umur dan dua perempuan dewasa yang menjadi korban dan merasa trauma.
Meski begitu, menurut Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, sembilan korban tersebut sudah mengajukan permohonan pendampingan fisik kepada pihaknya. Selain perlindungan fisik, para korban yang takut bertemu dengan Alyuda, pelaku pencabulan, meminta fasilitas restitusi dan selter. ’’Untuk medis dan psikologis, sudah ada pihak lain,” jelasnya saat acara focus group discussion (FGD) bertema Rencana Pembentukan LPSK Perwakilan dan Sinergitas Aparat Terkait di Surabaya kemarin (29/8).
Pria asal Palembang tersebut mengakui, Jatim berada di urutan kedua pemohon perlindungan terbanyak setelah Jakarta. Salah satu penyebabnya adalah tingginya angka kriminalitas. Jenis kejahatannya masih tergolong konvensional. Yaitu, ada pelaku, saksi, dan korban.
Sayangnya, selama ini para saksi dan korban tidak mendapatkan hak mereka. Di antaranya, hak untuk mendapatkan perlindungan secara fisik, pendampingan hukum, hingga layanan medis, psikologis, dan sosial. Alasannya, LPSK yang dibentuk pada 2008 itu masih terpusat. ’’Sedangkan korban dan saksi kejahatan yang mencapai ratusan ribu orang itu menyebar di daerah-daerah,” lanjut pria 52 tahun tersebut.
Padahal, aturannya ada dalam UU 13/2006 dan UU 31/2014. Kemudian, diperkuat Perpres Nomor 60/2016 tentang Sekretariat Jenderal LPSK. Instruksinya, LPSK hadir di daerah sehingga masyarakat lebih mudah mengakses layanan. Tidak perlu lagi ke Jakarta. Biaya penanganannya lebih murah. Koordinasi antarinstansi terkait juga lebih mudah dan intens. ’’Menghemat waktu dan bisa cepat merespons,” jelasnya.
Saat ini rencana mendirikan kantor perwakilan LPSK masih memasuki tahap penjajakan. Menurut Haris, pihaknya sedang meminta masukan kepada beberapa stakeholder di daerah. Hasilnya akan menjadi bahan pertimbangan dan rekomendasinya dikirim ke Kementerian PAN-RB. ’’Targetnya, pada 2018 sudah ada perwakilan, termasuk di Jatim yang masuk prioritas,” terangnya.
Kabiro Hukum Pemprov Jatim Himawan Estu Bagijo merespons positif rencana tersebut. Rencana itu dinilai memiliki manfaat bagi masyarakat Jatim. Namun, dia menggarisbawahi, pihak LPSK harus melakukan kajian mendalam. ’’Karena UU-nya kan menye butkan disesuaikan dengan kebutuhan daerah,” lanjutnya.
Nah, kebutuhan di Jatim belum bisa diukur. Padahal, data konkret terkait dengan kebutuhan tersebut sangat penting untuk menentukan seberapa besar lembaga tersebut. Perkiraannya, dibutuhkan 15–20 orang sebagai penggerak awal. ’’Harus dipikirkan juga dari mana diambilnya karena kan juga butuh pejabat eselon III dan IV sebagai pengurusnya,” ungkapnya.
Dia juga menekankan bahwa pihaknya sangat peduli dengan kebutuhan para saksi dan korban yang merasa terancam jiwanya. Jika memang perlu dibangun selter atau rumah aman khusus, pihaknya akan mendukung. (aji/c7/fal)