Jawa Pos

Kata Istri, Kalau Belum Gila, Jangan Berhenti

Risau melihat kondisi Kali Buntung, mereka pun terpanggil. Tergerak untuk melakukan bersih-bersih hingga pengerukan dengan alat seadanya. Bukan apresiasi yang didapat, tetapi cacian yang kerap terdengar. Meski begitu, Kaum Cemet tetap melangkah.

- RESVIA AFRILENE

GUBUK itu mungil. Berdiri di pinggir Kali Buntung. Tepatnya di ujung jembatan sungai di RT 2, RW 1, Desa Kepuhkirim­an, Waru. Wujud gubuk tersebut sederhana. Dari bambu. Atapnya berbahan banner bekas. Ditata berlapis-lapis agar sinar matahari tidak masuk. Ada kursi kayu yang melengkapi gubuk berukuran 3 x 2 meter itu.

Selembar spanduk kuning tergantung di satu sisi gubuk. Terbaca saat ada yang melintas di jembatan dari arah Jalan Brigjend Katamso. Tulisannya mencolok. Merah. Base Camp Pengolahan Sampah Kali Buntung.

Ya, gubuk itu menjadi markas Kaum Cemet. Mereka beranggota 10 pria. Usianya tidak muda lagi. Sudah paro baya. Mereka merupakan warga asli Desa Kepuhkirim­an. Tempat tinggalnya tidak jauh dari jembatan tersebut. Mereka juga turut menjadi saksi perubahan ekosistem Kali Buntung. Dulu, sungai itu menjadi sumber air bersih. Kini tidak bersih lagi. Kondisi tersebut memanggil mereka. Namun, mereka tidak mau disebut aktivis lingkungan.

’’Kami ini bukan siapa-siapa. Buruh semua. Jadi, apalagi kalau bukan Kaum Cemet,’’ ujar Solihan, lantas tertawa.

Solihan saat itu terpaksa berdiam diri dulu. Dia untuk sementara absen dari kegiatan Kaum Cemet. Sebab, kaki Solihan masih dalam tahap penyembuha­n. Terdapat tujuh jahitan di kakinya. Luka itu ada setelah dia terjatuh dari perahu yang biasa digunakan Kaum Cemet untuk menyusuri Kali Buntung. ’’Habis ngajak anak-anak ngambili sampah. Sudah mandek di pinggir kali, anak-anak naik, kok mak bluk, jatuh pas ada besi,’’ tuturnya.

Pada Minggu (27/8), seperti biasa, mereka melakukan aksi bersihbers­ih. Mereka berkumpul di gubuk sejak pukul 08.00. Menggunaka­n kaus oranye. Bak petugas search and rescue (SAR). Mereka lantas menuruni tanggul sungai dari gubuk satu per satu. Menuju ke tempat perahu. Nah, perahu itu merupakan bikinan Solihan dan kawan-kawan. Mereka membuat perahu dari tong.

Hadi menapak ke kapal lebih dulu. Lalu, disusul Malik dan Sulem. Mereka kemudian menyusuri titiktitik yang penuh sampah. Pemilahan sampah secara spontan pun dilakukan. Terutama sampah-sampah plastik untuk diuangkan. ’’Ingin beli sepatu bot biar kaki nggak sobek lagi,’’ katanya.

Mereka tidak pernah mengambil uang untuk keuntungan pribadi. Gubuk, perahu, seragam, sampai crane dan backhoe manual bisa mereka beli dengan hasil tabungan kas tersebut.

Minggu kemarin agenda mereka mengeruk endapan di sisi sungai. Mereka berharap air bisa lancar mengalir jika endapan berkurang. ’’Kami hanya bisa pakai alat manual. Ya, sedikit-sedikit,’’ ungkap Anshori.

Upaya Kaum Cemet itu layak mendapat apresiasi. Mereka juga sadar bahwa mengembali­kan kondisi Kali Buntung menjadi sebersih dulu tidak mungkin. Namun, Kaum Cemet tidak mau tak acuh. ’’Kami prihatin kalau sungai menjadi tempat sampah, bikin banjir,’’ tutur Solihan.

Dia berharap aksi kecil yang mereka lakukan bisa jadi pengingat warga lain. ’’Saya nggak minta dipuji. Dihina sudah sering, ndak saya dengar. Yang penting, jangan perparah kondisi Kali Buntung,’’ tegasnya.

Kaum Cemet terkadang malah dicaci orang. ’’Katanya, ngurusi dapur saja kesusahan kok gaya bersih-bersih sungai,’’ tutur Hadi. Beruntung, istri mereka bisa menyadari. Bahkan turut memberikan dukungan. ’’ Lek gorong podo gendeng ojo mandek (kalau belum gila, jangan berhenti, Red) kata istri saya,’’ ucap Solihan yang langsung membuat seluruh temannya terpingkal-pingkal. Aksi sederhana, tetapi tidak semua orang mau melakukann­ya. (*/c15/hud)

 ?? RESVIA AFRILENE/JAWA POS ?? TANPA PAMRIH: Anggota Komunitas Pencinta Kali Buntung melakukan aksi bersih-bersih sungai pada Minggu (27/8).
RESVIA AFRILENE/JAWA POS TANPA PAMRIH: Anggota Komunitas Pencinta Kali Buntung melakukan aksi bersih-bersih sungai pada Minggu (27/8).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia