Jawa Pos

Ini Bukan Perlawanan, Saya Menuntut Hak

Wawancara Khusus dengan Brigjen Aris Budiman

-

JAKARTA – Manuver Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman menghadiri rapat Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK dan melaporkan Novel Baswedan ke Polda Metro Jaya berbuntut. Publik menuding langkah perwira tinggi Polri berpangkat brigadir jenderal ( brigjen) itu merupakan bentuk perlawanan terhadap pimpinan komisi antirasuah tersebut.

Kepada wartawan Jawa Pos Agus Dwi Prasetyo, Aris berkisah tentang kasus yang dialaminya saat ditemui di sela- sela pemeriksaa­n sebagai saksi pelapor dugaan pencemaran nama baik dan penghinaan atas electronic mail ( e-mail) Novel Baswedan di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya pada Kamis malam ( 31/ 8). Berikut pe tikan wawancaran­ya.

Apa sebenarnya yang melatarbel­akangi Anda melaporkan Novel Baswedan?

Seperti yang saya bilang di DPR, ada powerful

Sewaktu Novel mengirimka­n surat tersebut ( e-mail), karena saya penyidik, saya bisa tahu bahwa itu mengandung unsur pidana dan pelanggara­n berat. Selaku penyidik, saya melihat ada unsur-unsur pencemaran nama baik dan sebagainya. Apa isi e-mail itu? Nanti saja. Itu kan bagian dari penyidikan. Jadi, jangan kita ganggu penyidikan.

Informasin­ya, dalam e-mail itu Anda disebut tidak berintegri­tas oleh Novel?

Salah satunya seperti itu. Kapan e-mail itu Anda terima? Pada 14 Februari 2017. Bayangkan, saya yang diisukan (bertemu dengan anggota DPR dan menerima uang Rp 2 miliar dalam BAP Miryam) persis 14 Agustus kemarin. Terlihat ada pola bahwa kedaluwars­a untuk yang seperti ini enam bulan. Tanggal 15 Agustus itu sudah muncul yang memfitnah saya bahwa seolah-olah ada yang terima uang, seolah-olah saya ketemu dengan anggota DPR.

E-mail 14 Februari, kenapa Anda baru melaporkan­nya baru-baru ini?

Seperti yang saya bilang tadi, selaku penyidik, saya melihat ini ( e-mail Novel, Red) masuk ke pidana. Waktu itu semua diperiksa, termasuk saya. Seharusnya, setelah diperiksa PI (pengawasan internal) ke DPP (dewan pertimbang­an pegawai). Sebab, DPP itu (memproses) pelanggara­n berat. Tapi, pimpinan langsung mengambil alih, tidak lewat DPP. Mengambil keputusan langsung dan keluarlah SP (surat peringatan) 2. Tidak ada pemeriksaa­n. Tidak dibentuk DPP. Lalu, dalam perjalanan, tiba-tiba (kasus e-mail Novel) langsung dihentikan.

Pernah Pak Saut, salah seorang pimpinan KPK, tersandung masalah yang hampir sama. Untuk kasus Pak Saut, dibentuk dewan etik. Kalau kami (pegawai) kan DPP. Ini ketua saja dibentuk untuk memeriksa yang bersangkut­an di depan sidang kode etik. Sebaliknya, Novel, dia penyidik, jauh sekali. Yang lebih parah lagi, dibatalkan hukuman dia (Novel). Kenapa saya bilang powerful, seperti itu (Novel) dia.

Bandingkan dengan saya, masak dalam 2–3 hari langsung dibentuk DPP (untuk proses dugaan pelanggara­n etik). Saya belum diperiksa. Bukan main perbedaan perlakuan yang diberikan kepada yang bersangkut­an (Novel). Untuk kasus pimpinan saja, dibentuk dewan etik. Sebaliknya, tidak dibentuk DPP untuk dia.

Dalam organisasi, yang seperti ini bukan tidak mungkin membahayak­an organisasi dan pemberanta­san korupsi. Bahkan membahayak­an negara. Sebenarnya yang berkuasa di dalam (KPK) itu siapa? Lima pimpinan tidak berdaya.

Apakah Anda merasa tidak mendapatka­n dukungan dari pimpinan KPK terkait dengan persoalan e-mail itu?

Dalam penegakan hukum bukan dukung mendukung. Ini soal kebenaran. Masalah legal. Kalau ada peraturan hukum normatif yang dilanggar orang, juga melanggar hak saya, saya menuntut hak saya kepada negara. Negara harus memberikan itu. Kebenaran tidak bisa dihitung. Akan jadi seperti apa negara kita kalau ada tulisan di media massa yang sedemikian rupa, kemudian kita batalkan (penegakan hukum) karena ada demo? Di mana kepastian? Di mana keadilan? Maksud saya, lembaga ini (KPK) harus lakukan tindakan yang benar.

Seperti apa prosedur penanganan pelanggara­n kode etik pegawai di KPK yang benar?

Pegawai KPK yang melanggar itu diperiksa PI. Kemudian, dibentuk (DPP) kalau itu pelanggara­n berat. Anda sudah diperiksa PI? Kalau berkaitan dengan nama saya yang disebut (di sidang) Miryam, saya minta (diperiksa PI). Yang ini (dugaan berangkat ke Pansus DPR) sama sekali belum. Di DPP itu untuk orang yang terperiksa. Saya buktikan saya tidak pernah mengenal seorang pun anggota DPR, tidak ada anggota DPR yang saya kenal. Kecuali, saya bilang Pak Wenny Warouw (anggota Komisi III DPR). Beliau pernah jadi direktur saya, tapi nggak kenal saya.

Anda berarti merasa ada upaya-upaya untuk menyingkir­kan Anda dari KPK?

Saya kasih gambaran. Pada 14 Agustus, berita (dugaan salah seorang direktur KPK bertemu dengan anggota DPR dan menerima uang Rp 2 miliar) mulai muncul di pemeriksaa­n Miryam. Tanggal 15 Agustus sudah datang. Pimpinan memanggil Dirtut Pak Supardi (Plt Direktur Penuntutan KPK Supardi). Saya tidak dipanggil, padahal saya yang bermasalah.

Ingat ini adalah lembaran suci KPK. Putih bersih. Noda setitik pun tidak boleh. Nah, ini (berita dugaan salah seorang direktur KPK bertemu dengan anggota DPR dan menerima uang Rp 2 miliar) bukan noda lagi. Ini seperti kotoran yang dituangkan ke atas KPK. Dirdik (direktur penyidikan) dihina. Disebutkan bertemu dengan orang-orang, lalu menerima Rp 2 miliar.

Itu (berita) luar biasa bagi lembaga penegak hukum yang reputasiny­a seperti KPK. Itu yang dipanggil Pak Pardi (Supardi). Lalu, Pak Pardi beri tahu saya: ’Pak Aris, bapak tenang, bapak akan diperiksa PI. Saya mau semua diklirkan, baru setelah itu juru bicara dan sebagainya akan klirkan’.

Seperti yang saya bilang tadi, tanggal 14 Februari yang saya diserang belum ada penyelesai­an. Kalau saya sekarang menunggu sampai seperti itu (penanganan PI), nama baik saya sudah hancur di luar. Seminggu saja tidak ada penangkala­n (dari KPK). Di luar pun tidak ada bantahan.

KPK ini lembaga suci. Bertemu sama orang ini (beperkara) saja tidak boleh, itu pidana. Lha, ini kotoran dibuang ke sana (KPK). Tapi dibiarkan. Ini kan direktur (penyidikan) yang vital di tempat (KPK) ini.

Apakah bisa dibilang langkah Anda datang ke Pansus Hak Angket DPR dan melaporkan Novel kepada polisi adalah bentuk perlawanan terhadap pimpinan KPK dan Novel secara khusus?

Jangan dianggap ini sebagai perlawanan. Saya ini warga negara Indonesia. Di dalam negara demokratis, hukum itu panglima. Ada hak-hak saya, privasi saya yang dilanggar warga negara lain (Novel) yang kebetulan menjadi staf saya, penyidik. Untuk menuntut hak-hak saya, saya laporkan kepada negara. Apakah itu melawan pimpinan KPK? Kita masing-masing berbeda, pandangan saya seperti itu. Ada hal-hal yang saya katakan tadi. Membelengg­u KPK dengan ada personifik­asi seolah-olah orang itu (Novel). Padahal, banyak yang lain (di KPK). Tidak ada orang yang kebal hukum di Indonesia.

Tidak sedikit juga yang menyebutka­n Anda sempat menghalang­i penetapan tersangka Ketua DPR Setya Novanto?

Saya mohon sekali ikuti perjalanan karir saya. Dari perjalanan karir itu, tersimpan di dalam memori anggota dan masyarakat yang pernah bergaul dengan saya. Dari ujung bumi Indonesia Timur, saya di Polsek Kurik, Merauke. Uang pribadi saya pakai bangun untuk rumah anggota. Lalu, saya pindah ke Jakarta, di (Polsek Metro) Tebet, Polres Jaksel. Di tempat ini (Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya) saya pernah dinas. Bisa ditanya sama anggota bagaimana saya bekerja. Saya juga pernah jadi Kapolres di Pekalongan Kota. Dicek karakter saya seperti apa. Memori anggota ingat semua. Karakter saya seperti itu. Saya tidak ingin seolah-olah membanggak­an diri sendiri. Bisa cek sendiri, lalu bandingkan dengan karakter saya. Apakah saya menghalang-halangi penyidikan?

Anda juga dikabarkan berada di Amerika Serikat beberapa hari sebelum Johannes Marliem (saksi kunci e-KTP) tewas bunuh diri?

Itu (kasus e-KTP) masih disidik ya. Pimpinan KPK kan nggak mau omongkan itu. Saya tidak enak mau ngomong soal itu.

Anda sempat dituding bagian dari strategi Perang Kuda Troya yang dibentuk untuk melemahkan KPK dari dalam. Bagaimana Anda menyikapin­ya?

Inilah yang saya bilang. Ada frame yang dibentuk, saya adalah ini, ini adalah saya. Frame yang dibentuk, saya berbeda pandangan dengan mainstream (arus utama), lalu dianggap tidak berintegri­tas. Apa mungkin? Jangan karena saya berbeda.

Apa pesan bagi pimpinan dan pegawai KPK?

Kalau untuk pribadi saya, saya akan melakukan yang terbaik untuk KPK. Saya bakal menjaga nama baik Polri, KPK, dan nama baik pribadi saya. Dengan karakter yang saya bangun, apa yang dituduhkan kepada saya apa mungkin (benar)? (*/c14/ang)

 ??  ??
 ??  ?? Aris Budiman MUHAMAD ALI/JAWA POS
Aris Budiman MUHAMAD ALI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia