Ketika ATM Mati Bersama
RIBUAN ATM mengalami gangguan serius sehingga mesin transaksi perbankan jutaan orang itu telah berubah menjadi TV rusak akibat gangguan satelit. ATM menyala tetapi tidak berfungsi (mati). Imbas paling besar dialami BCA, yakni 5.000 ATM dan 100 kantor kas tidak berfungsi. Bank Mandiri melaporkan 2.000 ATM-nya gagal fungsi. Sementara Bank BNI, ada 1.500 ATM dan 51 outlet. Bank BRI relatif tidak terganggu sehingga hanya 321 ATM dan 124 outlet yang terkena imbas. Tentu ini karena BRI sudah mengoperasikan satelit sendiri.
Sumber gangguan yang menyeluruh ini adalah gagal fungsinya transponder satelit Telkom1 sehingga komunikasi data keuangan dan perbankan di Indonesia offline. Sayang, otoritas pembayaran, yaitu Bank Indonesia (BI), sepertinya memandang kasus macetnya ribuan ATM tidak terlalu istimewa. Mereka hanya meminta bank agar memindahkan jalur komunikasinya agar normal kembali. Kegagalan Manajemen Risiko Gangguan ATM yang masif ini merupakan peristiwa luar biasa. Artinya, pernyataan normatif agar layanan dipulihkan menandakan tidak pekanya otoritas. Kejadian ini seharusnya direspons lebih memadai. Untung saja, ini hanya berdampak di daerah, bukan di Jakarta. Dengan resource SDM yang sangat bagus dan anggaran yang begitu besar, yaitu Rp 21,2 triliun, respons BI atas kasus macetnya 8.000 ATM boleh dibilang kurang memadai. Idealnya, sebagai wujud tanggung jawab sebagai otoritas pembayaran, gubernur BI dan jajarannya melakukan press conference khusus untuk meminta maaf.
BCA sebagai entitas bisnis, memberikan respons yang lebih baik dengan membayarkan kompensasi berupa pembebasan tarik tunai di jaringan ATM lain. Sikap tanggung jawab itu seharusnya ditunjukkan otoritas sistem pembayaran dengan katakanlah membebaskan biaya RTGS bagi nasabah terdampak.
Kita bisa mengatakan kejadian ini sebagai force majeure. Meski demikian, dalam konteks ini sebenarnya bukan force majeure. Ini lebih karena lemahnya manajemen risiko sistem pembayaran nasional.
Inisiatif sistem pembayaran banyak dilakukan swasta sehingga otoritas terkesan selalu ketinggalan. Pengenalan ATM di Indonesia dilakukan Bank Niaga yang akhirnya ditiru BCA sehingga pada awal 2000-an bisa dibilang bank yang menyatukan Indonesia sebenarnya ya BCA.
Saat ini semua bank memiliki jaringan ATM sendiri. Itu membanggakan sekaligus menunjukkan egoisme kita sebagai bangsa. Semangat Indonesia Incorporated sama sekali tidak ada. Yang ada Indonesia Separated karena semuanya maunya punya sendiri-sendiri. Dalam satu gerai ATM di mal, ada puluhan ATM. Kalau ada 50 unit ATM, artinya kita membelanjakan hampir Rp 7,5 miliar untuk impor ATM.
Akibatnya, biaya tetap ( fixed cost) perbankan sangat besar. Itu baru mesin, belum lagi biaya jaringan dan sewa lahan. Bank masih harus investasi jaringan dan infrastruktur lain untuk mendukung layanan tersebut. Itulah salah satu penyebab kenapa efisiensi perbankan tidak mudah dicapai. Bunga kredit tetap tinggi walaupun Presiden Jokowi sudah minta agar diturunkan.
Sumber masalah itu adalah otoritas pembayaran ketinggalan dalam mempersiapkan infrastruktur. Di Malaysia, Bank Negara Malaysia (BNM) mendorong berdirinya Malaysia Electronic Payment System (MEPS) yang menjadi penyedia jaringan ATM bersama sehingga keharusan memiliki ATM sendiri berkurang. Dengan pricing yang jelas, bank bisa melakukan skim tertentu untuk layanan ATM di bank lain. Karena model itulah, biaya penarikan kas di bank lain di Malaysia seragam. Demikian juga dengan transfer antarbank. Antisipasi Risiko Sistemik Kegagalan ribuan ATM ini masuk kategori risiko operasional. Ini risiko yang, jika tidak dikelola dengan cara yang tepat, bisa menciptakan situasi yang disebut risiko sistemik ( systemic risk), di mana lalu lintas pembayaran dan pasar keuangan bisa berhenti berfungsi. Kalau isu kemacetan ATM ini dimanfaatkan untuk mendiskreditkan bank tertentu, stabilitas sistem perbankan kita bisa terancam. Artinya, kegagalan masif ATM bisa menyeret ekonomi dalam bencana ketidakstabilan seperti pelarian dana ( rush).
Kejadian ini bukan yang pertama sehingga seharusnya ada peringatan dini BI terhadap bank. Kejadian ini termasukkegagalansistemkomunikasi yang menyebabkan bank tidak bisa beroperasi. Pada 1985, misalnya, bank besar pelaksana kliring di New York (Bank of New York) mengalami kegagalansehinggasistempembayaran dan settlement sekuritas mengalami gangguan komputer. Respons otoritas, yaitu Federal Reserve Bank of New York (FRBNY), adalah memberikan pinjaman overnight otomatis sebesar USD 22 miliar. Langkah yang sama dilakukan sehubungan dengan peristiwa 11 September 2002.
Ke depan BI harus memastikan tingkat keandalan operasional menjadi ciri sistem pembayaran seperti ATM. Pemeriksaan dan pengawasan disusun secara komprehensif. Setahu penulis, core principle yang terkait dengan sistem pembayaran untuk menjamin dan memastikan penyelesaian transaksi dan ketahanan operasional sistem pembayaran sudah ada. Masalahnya, apakah BI sebagai otoritas pembayaran telah mengimplementasikannya.
Kejadian ini menunjukkan pemeriksaan BI terhadap infrastruktur sistem pembayaran di perbankan belum memadai. Kalau pemeriksaan dan pengawasan memadai, pasti potensi sumber risiko operasional ini bisa dideteksi. Kalau risiko ini sudah diidentifikasi, BI dapat melarang bank menggunakan satelit yang umur operasionalnya sudah kedaluwarsa. Penggunaan satelit Telkom1 yang secara umur teknis melebihi seharusnya sudah ditemukan pengawas sistem pembayaran.
Kejadian gagalnya ribuan ATM ini bisa membawa konsekuensi serius bagi BI karena ini bisa digunakan untuk mempertanyakan peran ganda BI dalam sistem pembayaran nasional. Seperti diketahui, BI adalah otoritas pengawas sekaligus operator sistem pembayaran nasional seperti sistem kliring nasional, BI-RTGS, dan sistem pembayaran yang lain. Kalau tidak tepat dalam menyikapi macetnya ribuan ATM, peran BI sebagai pelaku dalam sistem pembayaran bisabisa akan dicabut. Bisnis sistem pembayaran adalah bisnis laris manis dan banyak pebisnis yang ingin masuk atau merebut bisnis ini. (*) *) Dosen STIE Perbanas Surabaya