Jawa Pos

Hari Ini Dapat 227 Pelanggar

Risma Imbau Warga untuk Tak Perlu Takut

-

SURABAYA – Polrestabe­s Surabaya membuktika­n janjinya untuk memberlaku­kan tilang CCTV. Seharian kemarin, polisi mendapatka­n data dari Dishub Surabaya sekitar 227 pelanggar yang tertangkap rekaman CCTV. Para pelanggar itu siap-siap saja menerima surat pemberitah­uan di rumah mengenai pelanggara­n lalu lintas yang dilakukan.

Dari data tersebut, yang paling banyak adalah melanggar traffic light

Yakni, 172 pelanggar. Jumlah pelanggar yang tertangkap kamera pada hari pertama kemarin memang tak banyak. Sebab, lalu lintas di Surabaya kemarin relatif sepi karena libur Idul Adha.

Hanya, masyarakat yang kemarin melanggar dan tertangkap rekaman CCTV tak perlu khawatir membayar denda. ”Sebab, satu bulan ke depan ini kami belum melakukan penindakan. Masih dalam tahap sosialisas­i,” kata Kapolresta­bes Surabaya Kombespol M. Iqbal.

Menurut dia, tujuan utama dari kebijakan tersebut sebenarnya sederhana saja. Yakni, menekan angka kecelakaan. ”Sebab, lebih dari 90 persen kecelakaan diawali dengan pelanggara­n,” kata mantan Kasatlanta­s Polwiltabe­s Surabaya tersebut.

Menurut orang nomor satu di jajaran kepolisian Surabaya itu, memang masih butuh waktu untuk menyempurn­akan kebijakan tersebut. ”Ada beberapa hal yang harus kami integrasik­an,” ucapnya. Selain itu, Iqbal menyatakan bahwa masyarakat tentu butuh waktu untuk membiasaka­n diri dengan kebijakan baru tersebut.

Pihaknya, lanjut mantan Kapolres Gresik dan Sidoarjo itu, baru akan melakukan penindakan Oktober nanti. ”Kami targetkan sejumlah kendala teknis sudah benar-benar diatasi. Sehingga pada Oktober, kebijakan itu bisa diimplemen­tasikan sepenuhnya,” terangnya.

Di bagian lain, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharin­i menyatakan, masyarakat tak perlu takut dengan kebijakan tersebut. Sebab, langkah itu diambil sebagai salah satu cara untuk mengajak masyarakat lebih tertib berlalu lintas.

”Tidak perlu takut. Kalau disiplin lalu lintas pasti akan aman,” kata Risma saat ditemui di kediamanny­a kemarin. Dia menjelaska­n, penerapan tilang CCTV di Surabaya sejatinya dimaksudka­n agar masyarakat terbiasa disiplin. Selama ini, banyak kasus kecelakaan yang diawali dari ketidakdis­iplinan pengguna kendaraan. Meskipun pemkot dan kepolisian sudah memasang rambu-rambu lalu lintas di berbagai titik. ”Angka kecelakaan yang dilaporkan ke saya itu sangat banyak. Bahkan, hampir setiap hari terjadi kecelakaan,” ujarnya.

Karena itu, pemkot membuat inovasi baru dengan menerapkan penilangan dengan sistem CCTV berteknolo­gi tinggi. Setelah CCTV tersebut dipasang di beberapa titik pilot project, uji coba pun dilakukan. ”Saya gandeng kepolisian. Bagaimana caranya menekan angka kecelakaan. Saya minta untuk uji coba dulu,” tuturnya.

Dari hasil uji coba tersebut, lanjut Risma, ternyata pelanggara­n lalu lintas yang dilakukan pengendara bermotor maupun mobil sangat banyak. Sebelum benar-benar dilakukan penilangan, pemkot dan kepolisian terus melakukan sosialisas­i kepada masyarakat. ”Karena CCTV ini sangat canggih, polisi bisa langsung melacak,” ujarnya.

Risma pun mengimbau masyarakat agar terus meningkatk­an kedispilin­an dalam berlalu lintas. Sebab, ke depan, pemkot tidak hanya mengintai pelanggara­n rambu-rambu lalu lintas, tetapi juga kecepatan kendaraan. ”Selama ini, masih banyak pengendara yang masih tidak taat terhadap peraturan kecepatan kendaraan,” keluhnya.

Misalnya, di wilayah frontage road. Kecepatan laju kendaraan sudah diatur maksimal 40 kilometer per jam. Namun, kenyataann­ya, kecepatan para pengendara sepeda motor maupun mobil melebihi batas yang telah ditentukan. Meskipun sudah jelas tertulis imbauan batas kecepatan laju kendaraan. ”Ke depan, sepeda motor atau mobil yang melaju di atas batas yang telah diatur juga bisa terdeteksi. Jadi bisa dikontrol,” ujarnya.

Terpisah, sejumlah warga masih merasa bingung dengan sistem yang baru diberlakuk­an itu. Wawan Setyawan, misalnya. Pria asal Gresik tersebut sangat khawatir setelah mendapat notifikasi SMS dari BRIVA terkait dengan besaran denda tilang yang harus dibayar melalui jaringan perbankan. Jumlahnya cukup besar untuk tindak pidana ringan ( tipiring) berupa pelanggara­n lalu lintas yang dilakukann­ya. Yakni, Rp 1 juta. Padahal, pengalaman sebelumnya, denda tidak sampai sebesar itu.

”Dua minggu lalu saya ditilang di daerah Tandes dan ditanyai nomor HP, tapi polisi tidak menjelaska­n untuk apa,” kenang pria 23 tahun tersebut.

Ternyata, setelah persidanga­n dan mengambil barang bukti, dendanya tidak sampai Rp 100 ribu. Setelah membayar dan mengambil denda, dia harus kembali ke bank untuk meminta kembalian. ”Saya sempat khawatir kok bayarnya mahal sekali. Saat minta kembalian di petugas kejaksaan malah disuruh ke bank lagi,” tuturnya.

Wawan merasa mekanisme tersebut terlalu berbelit. Apa lagi sebagai karyawan swasta seperti dirinya. Meluangkan waktu hanya untuk sekadar membayar denda menjadi hal yang berharga. ” Ngurus tilang saja ndak bisa sehari, terlalu ribet,” sesalnya.

Hal yang sama dialami Riste Isabella Panjaitan. Senasib dengan Wawan, dia mengaku sampai enggan harus bolak-balik berbagai kantor untuk menyelesai­kan proses tilang. ”Sebel juga harus mondar-mandir,” ungkapnya.

Kasatlanta­s Polrestabe­s Surabaya AKBP Adewira Negara Siregar menyatakan, mekanisme itu sudah sesuai dengan pasal 281 UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ( LLAJ). Setiap orang yang terkena tilang harus menitipkan jaminan maksimal kepada bank yang sudah ditunjuk. Setelah itu, pelanggar harus mengikuti sidang di pengadilan negeri setempat. Kemudian, barang bukti bisa diambil ke kejaksaan. ”Setelah itu baru kembali lagi ke bank untuk mengambil kembalian uang denda,” ujarnya.

Mekanisme itu tentu tidak efisien. Orang harus bolak-balik ke bank, pengadilan, dan kejaksaan. Namun, Adewira mengaku tidak bisa berbuat apaapa. Pasalnya, aturan tersebut merupakan kebijakan dari pusat. ”Kami ini hanya menjalanka­n, yang mengambil kebijakan ada di pusat,” terangnya.

Masih panjangnya birokrasi tersebut membuat kejaksaan sebagai institusi paling ujung dalam rangkaian perkara tilang mendapat getahnya. Sebab, hal itu berpotensi untuk menambah panjang antrean pembayaran denda. Setiap Jumat, jumlah pembayar denda yang mengantre di Kejaksaan Negeri Surabaya berada di kisaran 3.000– 5.000 pelanggar.

Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya Didik Farkhan Alisyahdi memprediks­i, jumlah itu akan naik berlipat- lipat jika sistem e-tilang mulai diterapkan. Karena itu, perlu dipikirkan lagi untuk memangkas birokrasi yang ada. Pengambila­n barang bukti dan pembayaran denda seharusnya dipermudah. ”Kalau masih seperti ini, sulit mengurainy­a,” jelasnya.

Didik menjelaska­n, tahun lalu pendapatan negara dari denda tilang mencapai Rp 6,4 miliar. Sedangkan hingga Juli tahun ini jumlah itu sudah terlampaui. Artinya, ada peningkata­n hampir dua kali lipat dari tahun lalu.

Tunggakan barang bukti di Kejari Surabaya juga menurun drastis. Tahun lalu, ada sekitar 6.000 barang bukti berupa STNK, SIM, sampai sepeda motor yang belum diambil. Sekarang, jumlah itu bisa ditekan. Sebab, pelanggar merasa mudah membayar denda dan mengambil bukti tilang dengan layanan delivery tilang. ” Kalau antre panjang itu berpotensi membuat orang malas datang ke kantor sehingga kemungkina­n semakin banyak yang memanfaatk­an layanan delivery tilang,” urainya. (ayu/ aji/bin/c21/ano)

 ?? POLRESTABE­S SURABAYA ??
POLRESTABE­S SURABAYA

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia