Jawa Pos

Rayu Pemilik untuk Jebol Tembok Penyimpan Motor

Apa sih yang enggak buat kesayangan? Apa pun bisa dilakukan. Itu cocok untuk menggambar­kan Bripka Mariyanto. Kecintaan pada sepeda motor klasik membuat dia jatuh dalam petualanga­n yang tak terlupakan.

-

KECINTAAN pada hal-hal yang klasik itu muncul sekitar 2010. Kala itu Mariyanto masih duduk di bangku SMA. Dia sudah memodifika­si beberapa sepeda motor tua.

’’Dulu, pegangan saya masih MegaPro,’’ katanya. Honda bermesin 150 cc tersebut lantas dimodifika­si dan diikutkan ke kontes.

Sejak itu, segala macam kendaraan klasik pernah ditanganin­ya. Baik yang roda dua maupun roda empat. Misalnya, Toyota Corolla keluaran zaman baheula. Itu terjadi jauh sebelum Mariyanto benar-benar berfokus pada sepeda motor klasik seperti saat ini.

Memodifika­si sepeda motor, bagi Mariyanto, jauh lebih menantang. Memodifika­si kendaraan antik, kata Mariyanto, berbeda dengan modifikasi pada umumnya. Pemilik tak membuat kendaraann­ya punya wajah yang berbeda. Justru, mereka merekondis­i tunggangan­nya agar sama persis seperti aslinya. Saat kali pertama keluar di toko dulu. ’’Dan, itu prosesnya jelimet,’’ tutur Mariyanto.

Lalu, mengapa dia terus memilih berfokus pada sepeda motor klasik? ’’Otak saya sudah miring, Mas,’’ jawabnya, lalu terkekeh.

Ya, hanya segelintir orang yang mampu mengendara­i sepeda motor klasik. Sebab, cara pengoperas­iannya berbeda

Misalnya, Harley-Davidson WLA. Motor militer keluaran Amerika Serikat itu punya tuas kopling berupa pedal di sebelah kiri motor. Berbeda dengan motor lainnya yang tuas koplingnya berada di setang sebelah kiri.

Selain itu, pemindahan gigi menyerupai tuas persneling. Kalau ingin menambah gigi, pengendara harus memajukan tuas tersebut. Bahkan, beberapa kendaraan punya tuas putaran gas di setang kiri motor. ’’Otak kudu miring kabeh lek pingin isa numpak,’’ ucapnya, lantas tertawa.

Mengoleksi motor klasik bukannya tanpa hambatan. Sebab, para penggemar motor klasik seperti Mariyanto tak bisa sembaranga­n membeli barang. Harga barang yang menarik pun bisa jadi sudah menyentuh langit.

Belum lagi kalau ada beberapa bagian dari sepeda motor yang tak disukainya. Misalnya, jok, setir, atau macam-macam pernik yang kurang pas. ’’Yang jual kadang tidak mau melepas koleksinya. Bukan karena duitnya kurang. Tapi, tiba-tiba kurang sreg,’’ ujar polisi yang bertugas di bagian teori Satpas Colombo tersebut.

Pengalaman itu terjadi saat Mariyanto mengantar temannya membeli rangka sepeda pada 2012. Ya, hanya rangka sepeda. Memang, jarang motor yang akan dibeli Mariyanto masih utuh. Banyak yang hanya kerangka dalam keadaan terbengkal­ai. Misalnya, karena joknya sudah lenyap digerogoti waktu.

Tak jarang, tubuh kendaraan berubah menjadi putih keabuabuan akibat debu. Namun, justru itulah harta karun yang dicari Mariyanto dan kawan-kawannya. ’’Apa yang menurut mereka sampah, itu menurut saya harta karun,’’ jelasnya.

Lima tahun lalu itu, Mariyanto hendak menemui salah seorang pemilik rangka sepeda klasik di Surabaya. Dia hendak membeli sebuah rangka sepeda motor berjenis Birmingham Small Arms Company (BSA).

Awalnya, motor itu sudah ditawar orang lain. Impian Mariyanto hampir pupus saat itu. Namun, entah kenapa sang pemilik enggan menyerahka­n sepeda motor tersebut kepada orang lain selain Mariyanto. ’’Katanya, dia tidak sreg sama pembeli sebelumnya. Nggak tahu kenapa,’’ ungkap pria kelahiran 1984 tersebut.

Salah satu kelihaian dalam mengoleksi motor klasik, kata Mariyanto, adalah meyakinkan penjual. Bahwa sang pembeli memang layak menjadi tuan baru kendaraan tersebut.

Karena itu, kalau sang penjual sudah kesengsem, harga berapa pun akan diserahkan. ’’Waktu beli BSA, saya tawar Rp 5 juta. Orangnya cuman minta harganya dinaikin menjadi 5 juta seribu (Rp 5.001.000, Red),’’ terang Mariyanto, lantas tertawa.

Di kalangan teman-temannya, Mariyanto merupakan orang yang kelewat untung. Lidahnya seperti punya daya pelet. Pemilik selalu dibuat kelepek-kelepek oleh kemahiran Mariyanto dalam merayu.

Karena itulah, dia selalu berada di lini depan ketika temannya hendak menambah koleksi sepeda motor terbaru. ’’Justru cerita-cerita menarik datang ketika saya mengantar teman untuk membeli unit,’’ jelas pria yang masuk Polri pada 2004 tersebut.

Salah satunya adalah pengalaman Mariyanto saat harus membongkar rumah orang untuk mendapatka­n sepeda motor keramat. Sepeda motor itu berjenis BMW R27. Sepeda motor tersebut ditemukan di salah satu rumah warga di Probolingg­o. ’’Nah, desas-desusnya ada sepeda motor yang terkubur di rumah tersebut,’’ ungkap Mariyanto.

Makin penasaran, dia pun memulai perjalanan­nya menuju ke Lumajang. Dia harus menemui sang empunya rumah. Sebab, rumah tersebut merupakan rumah yang tergolong tua sehingga sudah jarang sekali ditempati.

Ketika berada di Lumajang, dia kemudian harus membawa sang pemilik menuju ke rumah yang dimaksud. Sesampai di Probolingg­o, Mariyanto dan kawan-kawan diperboleh­kan menyisir seisi rumah. Namun, sepeda motor yang dia maksud tak ditemukan di setiap sudut rumah.

Sang pemilik rumah pun enggan memberi tahu keberadaan sepeda motor tersebut. Alhasil, Mariyanto harus menginap semalam suntuk. Saat itulah dia berusaha mendapatka­n hati sang pemilik rumah.

’’Rahasianya ya harus tahu sepeda. Kalau masih anyaran, pemilik itu pasti sudah males mau ngasih tahu sepedanya di mana,’’ jawab ayah dua anak tersebut.

Keesokan harinya, sang pemilik memberi tahu lokasi sepeda motor tersebut. Yakni, di tembok yang memisahkan ruang tamu dan kamar tidur pemilik rumah. Tembok itu kecil. ’’Pas ukurannya sama satu sepeda motor saja,’’ kata Mariyanto.

Tanpa pikir panjang, Mariyanto dan kawan-kawannya langsung menjebol tembok tersebut. Syaratnya satu. Pemilik hanya ingin temboknya dikembalik­an secara utuh seperti sediakala.

Alhasil, Mariyanto dan kawannya harus merogoh kocek sedikit lebih dalam. ’’ Ya, menurut saya sih, harga tidak jadi masalah. Kalau barangnya langka, ada kesenangan tersendiri,’’ jelas mantan petugas Biro SDM Polda Jatim tersebut.

Menurut Mariyanto, ketimbang harus membeli sepeda motor dalam keadaan utuh, dirinya lebih suka melakukan pencarian seperti itu. Sebab, setiap sepeda pasti memiliki cerita.

Padahal, merakit satu unit sepeda motor tak bisa sebentar. Salah satu motor BSA keluaran 1955 milik Maryanto, contohnya. Dia butuh waktu tiga tahun untuk menyulap sepeda motor tersebut kinclong seperti baru.

Melakukan modifikasi sebenarnya tak sulit. Mariyanto dan kawankawan­nya sudah hafal ciri-ciri mesin sepeda motor klasik jenis apa pun. Sayangnya, tak semua spare part bisa didapat secara gampang. ’’Jadi, untuk mencari baut saja, kadang saya harus nunggu sampai ada pameran sepeda klasik. Kalau nggak ada, ya harus nunggu lagi,’’ jawabnya.

Harga suku cadang bisa sangat mahal. Untuk mendapatka­n satu mur atau baut, Mariyanto bisa mengeluark­an duit Rp 3 juta. Padahal, dalam satu sepeda motor terdapat ratusan suku cadang. Belum lagi kalau spare part itu harus didapatnya dengan memesan di Inggris. ’’Emblem BMW, contohnya. Itu hanya dijual di Inggris,’’ celetuk polisi yang sudah 12 tahun bertugas di satuan lalu lintas tersebut.

Caranya, dia harus pesan secara daring. Via online. Kadang dia titip kepada kawan yang sedang bepergian ke luar negeri. ’’Kalau saya, mana bisa? Sudah sibuk sendiri. Jadi, saya hanya bisa pesan,’’ ungkap Mariyanto, lantas tertawa.

Bagaimana kalau dipergunji­ngkan orang? Bukan perwira atau pejabat kepolisian kok punya motor yang biayanya sangat mahal. Memang, semua dilakukann­ya demi hobi. ’’Tapi, orang-orang tidak tahu bagaimana saya berjuang nabung dari awal. Mulai nol,’’ tegas Mariyanto. (*/c14/dos)

 ?? DRIAN BINTANG SURYANTO/JAWA POS ??
DRIAN BINTANG SURYANTO/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia