Jawa Pos

Kampus Swasta Butuh Tambah Profesor

-

SURABAYA – Upaya mengatasi defisit profesor terus dilakukan. Baik di kancah nasional maupun di tingkat lokal. Caranya, mendorong para doktor untuk produktif dalam meraih jabatan fungsional tertinggi tersebut. Misalnya, yang dilakukan Universita­s 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya.

Rektor Untag Prof Ida Aju Brahmasari menyatakan, guru besar di Untag berjumlah 11 orang. Adapun jumlah mahasiswa Untag mencapai 12 ribu orang. ’’Kami bisa memenuhi rasio. Tapi, belum bisa memenuhi guru besar minimum,’’ tuturnya.

Karena itu, jumlah dosen dengan jabatan guru besar harus ditingkatk­an. Kini jumlah doktor di Untag mencapai 76 orang. Mereka berasal dari berbagai jabatan akademik seperti lektor dan lektor kepala. Sementara itu, dosen yang sedang menjalani studi S-3 berjumlah 65 orang. ’’Karena itu, dalam waktu dekat kami bisa,’’ katanya.

Dia optimistis penambahan guru besar segera tercapai. Apalagi, saat ini penetapan menjadi guru besar lebih mudah dengan menggunaka­n online. Selain itu, tim ketenagaan di kampus siap membantu kepengurus­an untuk menjadi guru besar. ’’ Jadi, nunggu apa lagi. Saya mendorong yang 76 orang itu untuk segera guru besar,’’ tambahnya.

Sementara itu, Sekretaris Koordinato­r Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VII Jawa Timur Prof Ali Maksum mengatakan, jumlah profesor di berbagai perguruan tinggi swasta (PTS) memang belum banyak. Setidaknya baru ada sekitar 100 orang yang menjadi profesor di wilayah Kopertis VII. Padahal, ada 1.367 doktor. Mereka berpeluang untuk menjadi profesor dengan kepakarann­ya masing-masing.

Tidak banyaknya jumlah profesor patut disayangka­n. Ali menuturkan, hal itu tidak lepas dari mindset para dosen di PTS. Dosen menganggap mengajar saja sudah cukup. Padahal, selain mengajar, dosen harus melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Dosen di PTS umumnya kerap nyambi. Mereka mengajar di lebih dari satu perguruan tinggi. Fokus mereka biasanya memenuhi jumlah jam mengajar. Jadi, sebagian besar dosen mengisi waktu bekerjanya mulai pagi hingga petang dengan mengajar. ’’Anggapanny­a, yang penting jalan,’’ ungkapnya.

Padahal, penelitian yang membedakan dosen dan guru. Jika dosen hanya mengajar mulai pagi hingga petang, tentu tidak ubahnya seperti guru. ’’Kalau pola pikirnya begitu (mengajar saja, Red) ya susah,’’ jelasnya. (puj/c15/nda)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia