Jawa Pos

Jadi, di Mana ”Rumah” Itu, Daw Suu?

-

BUKAN main cemasnya Brenda Mazibuko. Apartheid memang telah berakhir. Tapi, kebencian dan kesalingcu­rigaan antara kulit hitam dan putih di Afrika Selatan (Afsel) masih sangat tinggi.

Dalam kondisi gesekan fisik setiap saat bisa terjadi, sang presiden baru, Nelson Mandela, malah menunjukka­n dukungan terbuka kepada tim rugbi Afsel. Padahal, Springbook­s, demikian julukan tim tersebut, selama ini jadi simbol supremasi kulit putih.

”Anda mempertaru­hkan modal politik Anda. Anda mempertaru­hkan masa depan Anda sebagai pemimpin,” kata Mazibuko yang bertindak sebagai kepala staf memperinga­tkan.

Tapi, seperti bisa disaksikan di film Invictus, Mandela merespons kekhawatir­an tersebut dengan tenang. ”Hari ketika saya merasa cemas terhadap apa yang kamu katakan itu adalah hari di mana saya tak pantas lagi menjadi pemimpin.”

Di hari-hari ketika puluhan ribu etnis Rohingya harus mengungsi karena tak tahan terus-menerus jadi korban kekerasan di kampung halaman sendiri, semua sadar kini, Aung San Suu Kyi ternyata memang bukan Nelson Mandela. Penasihat negara Myanmar itu ternyata bukan pemimpin yang berani mengambil risiko demi kepentinga­n yang jauh lebih agung. Untuk bangsanya. Untuk kemanusiaa­n. Padahal, sudah lebih dari 400 orang tewas akibat kebrutalan militer Myanmar kepada etnis Rohingya di Nega

ra Bagian Rakhine sejak 25 Agustus. Itu versi pemerintah. Angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi lagi.

Dan, apa yang dilakukan Daw Suu di hadapan kekerasan tiada henti tersebut?

Diam. Atau, kalaupun bersuara, yang dia persoalkan justru biskuit dari World Food Programme untuk mereka yang terdampak tragedi kemanusiaa­n tersebut. ”Staf-staf INGO ( internatio­nal non-government­al organizati­on atau organisasi non-pemerintah internasio­nal) membantu teroris yang bersembuny­i di Desa Taungbazar, Rakhine. Biskuit World Food Programme (WFP) kami temukan di sana,” tulisnya di akun Facebook State Counsellor Office of Informatio­n Committee itu. Yang terjadi kemudian, pemerintah Myanmar menghentik­an distribusi biskuit berenergi dari WFP. Akibatnya, sekitar 800.000 balita kurang gizi yang selama ini menjadi sasaran utama biskuit tersebut terpaksa mengonsums­i makanan seadanya. Bukan hanya itu, sejak akhir pekan ini, seluruh bantuan makanan untuk korban aksi sektarian di Rakhine juga distop. Total 250.000 orang terancam kelaparan. Padahal, masih terngiang benar kata-kata indah perempuan 72 tahun itu di penganuger­ahan Nobel 2012. ”Di mana ada

penderitaa­n yang diabaikan, di sana akan tumbuh bibit-bibit konflik. Sebab, pende ritaan selalu me lahirkan amarah, kebencian, dan kehancuran.”

Masih terngiang pula lirik menyentuh U2 dalam Walk On yang ditujukan kepada Suu Kyi semasa masih menjadi tahanan rumah junta militer. Ketika keinginan Suu Kyi menjadikan Myanmar sebagai rumah terus-menerus ditampik pihak penguasa.

Home, hard to know what it is if you’ve never had one//Home, I can’t say where it is but I know I’m going home.

Kini, ketika kekuasaan sudah di tangan, ditandai dengan kemenangan gemilang partainya (Liga Nasional untuk Demokrasi) pada Pemilu 2015, dan kursi penasihat negara, jabatan yang lebih tinggi daripada presiden, mengapa dia melakukan kekejaman yang sama dengan junta dulu? Dengan menolak memberikan ”rumah” kepada Rohingya?

”Dia tak perlu bersuara. Sikapnya sudah jelas, anti-Rohingya,” kata Matthew Smith, juru bicara Fortify Rights, kelompok pemerhati hak asasi manusia yang berbasis di Asia Tenggara.

Lalu, apa yang melatari sikap Suu Kyi itu? Kekhawatir­an atas tekanan dari mayoritas? Mungkin. Ketakutan atas ketidaksta­bilan Myanmar jika dia memihak minoritas? Bisa jadi.

Apa pun itu, di hadapan tragedi kemanusiaa­n, diam semestinya bukan opsi. Sebab, di atas segalanya adalah kemanusiaa­n. Dan, kemanusiaa­n semestinya melampaui sekat etnisitas, agama, apalagi kepentinga­n politik. ( AFP/ Reuters/ BBC/ theaustral­ian/washington­post/ time/hep/

c10/ttg)

 ?? MOHAMMAD PONIR HOSSAIN/REUTERS ?? STATELESS: Para pengungsi Rohingya menunggu diperiksa petugas perbatasan Bangladesh setelah dianggap masuk negara itu secara ilegal. KANGEN KAMPUNG HALAMAN: Para pengungsi Rohingya di Sidoarjo kemarin memohon perhatian dunia atas kekerasan yang dialami...
MOHAMMAD PONIR HOSSAIN/REUTERS STATELESS: Para pengungsi Rohingya menunggu diperiksa petugas perbatasan Bangladesh setelah dianggap masuk negara itu secara ilegal. KANGEN KAMPUNG HALAMAN: Para pengungsi Rohingya di Sidoarjo kemarin memohon perhatian dunia atas kekerasan yang dialami...

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia