Amma Toa Tak Dipilih Manusia
Amma berarti ayah. Toa diartikan tua. Amma toa adalah ayah tertua. Bagi masyarakat Suku Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, amma toa bukan sekadar pemangku adat. Mereka menganggap pengemban jabatan tersebut lebih tinggi daripada presiden.
DALAM kepercayaan masyarakat Kajang, amma toa adalah orang yang pertama diturunkan oleh Tu Rie’ A’ra’na di dunia. Yang Maha Berkehendak. Amma toa lantas ditempatkan di lokasi mereka berdiam saat ini. Di tana toa (tanah tertua),
amma menyebarkan segala pesan kepada masyarakatnya. Pesan itu turun-temurun hingga hari ini tetap bisa dirasakan generasi yang lebih baru.
Karena itu, amma toa bukan sosok sembarangan. Ketika wafat, masyarakat Suku Kajang percaya bahwa amma tidak meninggal dunia seperti orang kebanyakan. Tetapi sedang alindrung. Bersembunyi.
Tiga tahun kemudian baru dilakukan pemilihan amma toa definitif. Sebab, amma toa tidak dipilih oleh manusia. Pemilihannya dilakukan di ri borong
karama atau hutan keramat dengan prosesi upacara pa’nganro. Para calon harus melewati beberapa ritual yang disiapkan oleh
androta (panitia). Meski tergolong mudah, prosesi yang dianggap sakral itu mampu membuat para calon berguguran.
Syarat menjadi amma toa pun tidak sembarangan. Selain lakilaki, para calon harus asli keturunan Kajang Dalam. Dalam silsilahnya, dia juga berasal dari keturunan Tau Anang dan Tau Lima. Usianya sudah harus di atas 40 tahun, pandai menyusun silsilah mulai terciptanya manusia hingga sekarang, serta mengerti Pasang Ri Kajang atau aturan adat istiadat suku Kajang.
Meski demikian, pemilihannya terbuka bagi seluruh masyarakat Kajang Dalam. Orang luar boleh melihat asalkan mendapat izin dari penduduk setempat. Mereka juga wajib mengenakan pakaian serbahitam.
Pemilihan dimulai dengan mengambil air wudu. Kemudian,
androta memakaikan pakaian serbahitam kepada calon amma
toa. Begitu pula sebaliknya. Meski tampak sederhana, prosesi itu bisa saja membuat peserta tidak sanggup.
Calon yang terpilih akan terlihat tanda pada dirinya. Misalnya, tubuhnya menjadi bercahaya.
Amma toa terpilih pasti mampu memasuki hutan sebagai salah satu prosesi pa’nganro. Sekali terpilih, jabatan tersebut akan berlaku seumur hidup.
Amma toa tidak pernah keluar dari kawasan adat. Dalam kepemimpinannya, dia dibantu oleh 26 menteri dengan tugasnya masing-masing. Antara lain, galla
lombo’ yang menangani urusan dalam dan luar kawasan adat. Kemudian, galla pantama yang mengurusi pertanian dan perkebunan. Ada juga galla sappa, maleleng, bantalang, dan ganta’ yang menyiapkan keperluan logistik selama pa’ngaro. Selanjutnya, galla puto sebagai juru bicara. Sementara itu, camat Kajang dianugerahi gelar karaeng
kajang atau labbiria. Sehari-hari masyarakat suku Kajang hidup dengan prinsip
tallasa kamase-masea. Artinya, hidup apa adanya. Jauh dari gemerlap duniawi dan jauh dari modernisasi. Bahkan, masyarakat yang tinggal di dalam kawasan adat sama sekali tidak tersentuh listrik. Mereka mematuhi Pasang
Ri Kajang sebagai aturan baku. ’’Ada penghargaan tertinggi dan hukuman terberat yang ditetapkan melalui musyawarah,’’ ujar Amma Toa Puto Palasa. Meski memiliki jabatan tertinggi,
amma toa tidak bisa sembarangan mengambil keputusan sendiri. Segala keputusan harus diambil dengan jalan musyawarah. Baik dalam menetapkan penghargaan maupun hukuman.
Ada tiga jenis hukuman yang diterapkan oleh penduduk kawasan adat Kajang. Yaitu, Poko Ba’bala sebagai sanksi berat dengan denda 12 real. Kemudian, Tangnga Ba’bala atau sanksi sedang yang dendanya mencapai 8 real. Ketiga, Cappa Ba’bala, yakni sanksi ringan yang dendanya 6 real.
Real sebenarnya bukan mata uang asli yang digunakan oleh masyarakat suku Kajang Dalam. Itu hanya istilah yang selama ini mereka pakai. Satu real setara dengan Rp 1 juta. Jika terkena sanksi Poko Ba’bala, berarti harus membayar Rp 12 juta.
Seluruh masyarakat di dalam kawasan adat wajib mengenakan pakaian serbahitam setiap hari. Antara lain, tope le’leng (sarung hitam), pacaka, passapu, dan baju pokko. Hitam memiliki makna bersahaja, sederhana, kesamaan atau setara bagi seluruh masyarakat.
Begitu pula Amma Toa Puto Palasa. Dia berpakaian serbahitam dan tidak beralas kaki. Artinya, tidak ada perbedaan di antara mereka. Semua setara di mata Tuhan.
Untuk urusan kepercayaan, masyarakat suku Kajang Dalam menganut agama Sallang. Dalam bahasa umum artinya Islam. Meski demikian, mereka tidak menjalankan ibadah seperti muslim pada umumnya. Dengan mematuhi Pasang Ri Ka
jang, berarti mereka telah menjalankan perintah Tuhan. Setiap rumah di kawasan adat juga menghadap ke kiblat atau barat. Tujuannya, masyarakat terus mengingat Sang Pencipta.
Pernikahan, Kematian, Mata Pencaharian Baca PEKAN DEPAN…