Jatuh Cinta pada Lirik Karawang Bekasi
Dunia polisi memang berbeda jauh dengan dunia seni. Nguber-nguber maling tentu sedikit kaitannya dengan deklamasi. Namun, dua hal yang berbeda itu bisa dikuasai dengan baik oleh Kanitreskrim Polsek Tegalsari Iptu Zainal Abidin.
HOBI Iptu Zainul Abidin terbilang jauh dari profesi pekerjaannya. Jika biasanya polisi dekat dengan hobi ekstrem, Abidin justru jatuh cinta dengan sesuatu yang lemah lembut. Yakni, seni dan sastra. Pria 40 tahun yang kini menjabat Kanitreskrim Polsek Tegalsari tersebut memang mempunyai tutur kata yang cenderung rapi dan tertata dengan baik. ’’ Koyok wong pendidikan yo (seperti orang berpendidikan ya, Red)?” selorohnya, lantas cekikikan.
Hobinya itu muncul 26 tahun silam saat mendengarkan suara melengking Chairil Anwar membacakan Karawang Bekasi. Dia mengaku, jiwanya terpanggil untuk bersuara sekaligus beraksi. Saat itu dia masih duduk di bangku SMP. Dia tidak sempat memikirkan profesi yang akan digelutinya. ’’Pokoknya, dulu saya mau jadi sastrawan,’’ ujar suami Azza Elfiana tersebut.
Namun, ketika besar, dia justru berprofesi yang jauh dari sastra. ’’ Loh, kan yang penting sama-sama patriotisnya,’’ katanya. Sedikit maksa sih, tetapi tidak apa-apa. Dia tak menyangka gairah sastranya itu justru bisa berkembang di balik seragam cokelat yang dia kenakan. Dia pun kerap diundang ke berbagai event internal kepolisian, berpuisi dari panggung ke panggung.
Polisi yang memiliki tiga anak tersebut mengaku hanya berlatih saat akan dipanggil ke atas panggung. Abidin tak pernah rutin berlatih di depan kaca atau di studio khusus untuk mendalami materi puisi. ’’ Terus sing nyekel penjahat
sopo mas, nek aku latihan terus (jika latihan terus, yang nangkap penjahat lalu siapa, Red)?” ucapnya dengan nada bercanda.
Dia mengaku tak kesulitan walau berlatih dalam waktu yang singkat. Titik temu antara barisan kata dan jiwanya itulah yang mem- permudah Abidin mendalami materi. Menurut dia, untuk melakukan sebuah pekerjaan, walau itu sulit, kuncinya ada pada rasa senang. ’’Senangi dulu, cintai dulu, pasti mudah jalannya,’’ ungkapnya.
Saat hari libur, Abidin menghabiskan banyak waktu bersama keluarga. Namun, lagi-lagi dia tak bisa lepas dari jiwa sastranya. Pria asal Tuban itu sering mengajak keluarganya untuk mengapresiasi karya seni dan mengunjungi museum. Mengapresiasi lukisan, barang antik, hingga buku-buku sejarah jadi sasarannya untuk menghilangkan kejenuhan.
Alhasil, polisi asal Tuban tersebut mempunyai pengetahuan luas. Hal itu berpengaruh positif bagi dunia reserse yang tengah dia geluti. Misalnya, dia bisa mengetahui sebuah ciri kejahatan dari etnis tertentu. ’’Ada kelompok yang setelah beraksi, selalu menyisihkan hasilnya ke tempat ibadah,’’ ujarnya.
Selain itu, dunia seni dan sastra bisa membuatnya peka terhadap sebuah kasus. Terutama soal kemanusiaan. Hal tersebut dianggapnya sebagai penindakan yang paling penting. Saat menghadapi tersangka, polisi harus tahu betul latar belakang perbuatan kriminal tersangka. Yakni, bermotif asmara, keterbatasan cara berpikir, atau impitan ekonomi. ’’Polisi harus punya hati yang peka agar tak tersesat melihat fakta. Soalnya, kebenaran berada di balik fakta,” ungkap polisi berzodiak leo itu.
Bagi dia, seni dan sastra juga merupakan cara terbaik untuk merasakan kehadiran Sang Khalik. Dia yakin betul puisi adalah jalan terbaik untuk mendekati kenyataan hakiki. Sebab, kata-kata biasa itu seperti jarum yang menancapkan kupu-kupu kehidupan di atas papan. Sangar.
Selain itu, puisi baginya semacam pause untuk break dari rutinitas kerja sehari-hari. ‘’Ini sebagai imbangan terhadap kerja saya,’’ terangnya. Dunia reserse memang dunia yang sangat keras. Tidak ada basa-basi. Sering berurusan dengan orang-orang jalanan, yang kerap kasar. Maka, jika tidak diimbangi oleh puisi, Abidin mengaku bisa-bisa ikut terimbas kasar. ‘’Jadi, ini semacam imbangan agar saya tetap waras pikirannya,’’ imbuhnya, kemudian tertawa. (mir/c20/ano)