Selalu Bikin Lirik Lagu Berbahasa Jawa
Musik beraliran metal selalu mempunyai penikmat tersendiri. Gebukan drum, cabikan gitar, betotan bas, dan suara gahar vokalis menyuguhkan penampilan yang khas. Kinasih memadukan semuanya dengan lirik dalam bahasa ibu.
DENTUMAN musik memecah keheningan Taman Apkasi, Porong, Sabtu malam (26/8). Belasan band metal silih berganti menampilkan aksi panggung yang atraktif. Di depan mereka, puluhan anak muda yang berpakaian serbahitam tampak asyik menikmati dengan beragam ekspresi.
Di penghujung acara suasananya kian semarak. Mereka mengelu-elukan nama Kinasih. Ya, band yang digawangi empat personel itu memang mendapat hati tersendiri di kalangan pencinta musik metal. ’’Lagu pertama. Alas Roban!’’ kata Irawan, sang vokalis, begitu muncul di atas panggung.
’’Dina iki, dina wingi padhang wulan. Alas Roban duwe gawe, gawe gedhe. Lelembute sarwa sowan dadi siji. Nyembut wektu, wektune kang gawe mukti (Malam ini bulan sedang terang benderang. Hutan Roban punya hajat besar. Makhluk gaibnya berkumpul jadi satu. Menyambut suasana yang bahagia).’’ Penggunaan lirik dalam bahasa Jawa membuat band tersebut tampak beda.
Irawan masih terengah-engah saat ditemui Jawa Pos setelah perform. ’’Emosi terkuras di atas panggung,’’ jelas Andhoenk, sapaan pria 43 tahun itu.
Andhoenk dan teman-temannya kenyang pengalaman. Mereka manggung sejak medio 90-an. Di Kota Delta, band tersebut tergolong ’’senior’’. ’’Bandnya dulu bernama Sacrifice,’’ ucapnya.
Awalnya, band itu hanya beranggota Dedi Riyadi (gitar dan vokalis), Sunari (drum), dan Aan Supriyanto (bas). Sejak Andhoenk masuk pada awal 1998, Dedi lebih fokus mengolah melodi gitar pada setiap penampilan. ’’Beberapa bulan setelah band lahir, saya baru masuk,’’ ujarnya.
Menurut anak kedua dari tiga bersaudara itu, Sacrifice awalnya hanya mengcover lagu milik band metal luar negeri. ’’Baru ada keinginan buat album sendiri pada 1999,’’ tuturnya.
Setiap personel diberi kebebasan untuk menyumbangkan lagu. Tidak terkecuali Andhoenk. Uniknya, dia menggunakan lirik dalam bahasa Jawa. Lagunya diberi judul Alas Roban. ’’Beberapa kali latihan, personel lain tidak sadar kalau lirik lagu yang saya buat pakai bahasa ibu (bahasa Jawa),’’ lanjut Andhoenk, lantas tertawa.
Menurut dia, itu lumrah pada band beraliran black metal. Sebab, setiap personel biasanya sangat fokus pada tanggung jawab sendiri ketika bermain. Mereka hanya fokus pada judul dan tempo musik. ’’Waktu yang lain sadar, akhirnya malah muncul kesepakatan pakai bahasa Jawa pada semua lagu. Biar beda dengan yang lain dan untuk menjaga budaya lokal,’’ jelasnya.
Album pertama pun lahir. Namanya, Pamungkti Kang Pamungkasan. Maknanya tidak jauh berbeda dengan yin dan yang pada filosofi Tionghoa. Empat tahun berselang, album kedua bertajuk Ingsun terbit. ’’Pesan intinya, manusia harus selalu introspeksi,’’ ucapnya.
Dalam dua album tersebut, Andhoenk dipercaya menulis lirik semua lagu. ’’Ibu asli Jogjakarta sehingga sangat paham bahasa Jawa,’’ tuturnya.
Karena keunikannya, Sacrifice kerap menjadi bintang tamu dalam acara band metal hingga luar daerah. Namun, masalah menghampiri menjelang 2010. Puncaknya, Dedi memutuskan pergi ke tanah Papua untuk bekerja di sebuah perusahaan nikel. Sejak itu, Sacrifice vakum.
’’Baru kembali awal tahun ini,’’ kata Dedi. Usia yang semakin dewasa membuat para personel Sacrifice berbesar hati menyingkirkan ego. Mereka me- mutuskan kembali berkumpul.
Andhoenk, Dedi, dan teman-temannya sepakat meninggalkan nama Sacrifice, namun tidak mengubah konsep lama sebagai band black metal berbahasa Jawa. Dipilihlah nama Kinasih. Kinasih berasal dari bahasa Sansekerta. Artinya, yang paling disayang. (*/c20/pri)