73 Ribu Mengungsi, 400 Nyawa Melayang
Pengungsi: Militer Penggal Kepala Anak-Anak
COX’S BAZAR – Kekerasan terhadap warga Rohingya di Rakhine State, Myanmar Utara, belum juga membaik. Sampai kemarin (3/9) setidaknya 73 ribu orang mengungsi
Sekitar 400 orang lainnya dilaporkan meninggal dunia.
Puluhan ribu pengungsi Rohingya menyeberang ke Bangladesh. Sebagian besar nekat berjalan kaki ke perbatasan. Untung, aparat yang berjaga di perbatasan baik hati. Meskipun pemerintah Bangladesh memerintahkan polisi dan penjaga keamanan untuk menolak kehadiran kaum Rohingya, pada praktiknya para personel di perbatasan lebih memakai hati.
Selain puluhan ribu pengungsi Rohingya yang sudah berhasil masuk Bangladesh, masih ada sekitar 20.000 warga yang terjebak di sekitar Sungai Naf. Sungai besar yang terletak di perbatasan Myanmar dan Bangladesh itu berarus deras dan menjadi habitat ular berbisa. Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch untuk Asia, menyebutkan, ancaman kematian karena tenggelam dan gigitan ular sangat tinggi.
Dari Jakarta, Presiden Joko Widodo tadi malam menyampaikan sikap resmi Indonesia atas krisis di Myanmar. ”Kita menyesalkan aksi kekerasan yang terjadi di Rakhine State, Myanmar. Perlu sebuah aksi nyata, bukan hanya pernyataan kecaman-kecaman,” kata presiden di Istana Merdeka.
Pemerintah Indonesia berkomitmen terus membantu mengatasi krisis kemanusiaan. Pemerintah akan menggandeng masyarakat sipil dan masyarakat internasional. Jokowi mengatakan telah menugaskan Menlu Retno Marsudi untuk terus berkomunikasi dengan berbagai pihak, termasuk Sekjen PBB Antonio Guterres dan penasihat khusus untuk Rakhine State Kofi Annan.
Menlu Retno sendiri sudah bertolak ke Yangon kemarin sore. Rencananya, hari ini Retno menemui State Counsellor of Myanmar Aung San Suu Kyi.
Retno menjelaskan, dalam pertemuan tersebut dirinya akan menyampaikan sikap pemerintah Indonesia soal krisis kemanusiaan itu. ”Kita akan menyampaikan concern kita, itu pasti, tetapi kami juga akan bahas apa yang pemerintah Myanmar dapat lakukan. Pertanggungjawaban ada di pemerintahan Myanmar. Tetapi, ada bagian di mana kita dapat membantu, masyarakat internasional dapat membantu,” tuturnya.
Retno menambahkan, berdasar observasinya, dirinya adalah Menlu pertama yang masuk ke Myanmar dan akan melakukan pertemuan dengan otoritas Myanmar. ”Harapannya, pertemuan ini dapat berjalan dengan lancar. Sekali lagi, situasi sangat dinamis. Semoga tak ada perubahan. Kalau pertemuan dapat dilakukan, Indonesia menjadi negara pertama yang dapat melakukan pertemuan dengan otoritas di Myanmar,” ungkap Retno.
Selain dengan Suu Kyi, diplomat 54 tahun itu rencananya bertemu dengan Commander in Chief of Defense Services Senior General U Min Aung Hlaing, menteri pada kantor Presiden U Kyaw Tint Swe, dan National Security Advisor U Thaung Tun.
Sementara itu, Amnesti Internasional Indonesia meminta pemerintah mengambil peran yang benar-benar aktif dalam usaha menyelesaikan krisis di Rakhine State. Konflik antara militer Myanmar dan kelompok bersenjata dari etnis Rohingya telah membuat puluhan ribu warga etnis Rohingya mengungsi ke perbatasan Bangladesh.
Terlebih, laporan terakhir yang diterima Amnesti Internasional Indonesia menyebutkan bahwa konflik itu sudah mengakibatkan 400 orang tewas.
”Dalam pandangan kami, pemerintah Myanmar memandang etnis Rohingya dan milisi bersenjata di Rakhine sebagai ancaman atas kedaulatan mereka,” ujar Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid di kantornya kemarin.
Menurut Usman, bukan kali ini saja serangan balasan dijadikan dalih pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Serangan milisi ke pos polisi di Rakhine Oktober 2016 juga sudah menjadi alasan dilaksanakannya operasi militer di kawasan tersebut.
Inggris Ikut Mengecam Kegeraman terhadap sikap diam Aung San Suu Kyi juga disuarakan Inggris. Kemarin (3/9) Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson mengecam keras represi berulang terhadap etnis Rohingya yang melahirkan eksodus dan krisis kemanusiaan anyar di Myanmar.
”Kebijakan yang saat ini diterapkan Burma (nama lain Myanmar, Red) terhadap Rohingya hanya akan mencoreng reputasi mereka sendiri,” kata Johnson seperti dilansir The Independent.
Kemarin sejumlah warga Rohingya yang berada di Bangladesh menceritakan penderitaannya. Abdul Rahman, pria 41 tahun asal Desa Chut Pyin di Negara Bagian Rakhine, mengaku beruntung karena masih bisa hidup setelah terperangkap selama sekitar lima jam dalam pertempuran sengit. ”Mereka menangkapdanmenyekapkamidigubuk bambu yang kemudian dibakar.”
Yang lebih parah lagi adalah kondisi anak-anak. Menurut Rahman, dua keponakan lelakinya tewas dengan kondisi sangat mengenaskan. ”Kepala keponakan-keponakan saya terpenggal dari badan mereka. Yang satu berusia enam tahun dan yang lain berusia sembilan tahun,” tuturnya. (byu/and/ afp/hep/c11/c9/c10/ang)