Jawa Pos

Masih Ingat Pernah Telanjang Keliling Kampung

Di antara beragam nada putus asa, mereka tetap berjuang bersama. Terus bergerak membantu, bahu-membahu untuk masa depan ODS yang lebih baik. Dari Pulau Dewata, gerakan itu mereka namai Rumah Berdaya.

- SAHRUL YUNIZAR, Denpasar

PETIKAN gitar I Kadek Arimbawa terdengar nyaring di ruang tidur Rumah Berdaya, Denpasar, Bali

Bersama pemuda 25 tahun itu, Ketut Angga Wijaya dan Ida Kadesaka Rosanta (Saka) tengah bersantai. Menghabisk­an jam makan siang. Di antara lantunan lagu Zona Nyaman milik Fourtwnty yang dinyanyika­n Kadek, mereka sesekali bergurau.

Begitu lagu masuk bagian inti, ketiganya serentak bernyanyi. ”Sembilu yang dulu biarlah berlalu, bekerja bersama hati. Kita ini insan, bukan seekor sapi,” dendang mereka kompak. Senyum sesama orang dengan skizofreni­a (ODS) itu menyiratka­n makna lirik lagu yang mereka nyanyikan. Membiarkan masa lalu berlalu.

Tanpa banyak bicara, Kadek, Angga, maupun Saka mafhum betul dengan pengalaman masing-masing. Sebagai ODS yang sudah mampu mengontrol diri, mereka punya pengalaman nyaris serupa. Dipandang sebelah mata, diasingkan keluarga, dan dianggap tidak punya daya upaya. ” Tiang (saya) dulu sakit juga. Sekarang sudah sembuh.” Begitu Kadek membuka kisah masa lalunya.

Kadek bercerita penuh optimisme. Bahwa ODS bisa sembuh. Keyakinan itu yang membawa dirinya bergabung bersama Rumah Berdaya. Bagi dia, berada di antara ODS adalah yang terbaik. ”Kami bantu yang lain supaya sembuh,” ujar Kadek. Ucapan tersebut dia buktikan dengan mengantar dan menjemput rekan-rekan ODS dari berbagai wilayah di Denpasar ke Rumah Berdaya.

Lain dengan Kadek, Saka yang juga senang bermusik belum sepenuhnya pulih. Namun, gangguan kejiwaan yang dia alami tidak tampak sama sekali. Pria 35 tahun tersebut mampu berkomunik­asi dengan baik. Khususnya soal lukisan. Maklum, dia juga gemar melukis. Setiap punya waktu luang, tidak jarang dia menghabisk­annya di galeri Rumah Berdaya. Untuk melukis apa saja. Menuangkan yang ingin dia curahkan.

Sementara itu, Angga yang juga sudah berusia kepala tiga masih melakoni pekerjaan yang sangat dia sukai. ”Saya wartawan lepas,” katanya. Dia merupakan salah seorang yang turut serta mendirikan Rumah Berdaya. Bagi ODS lain, Angga adalah kawan bicara yang baik. Dia memang tidak senang banyak bicara, tapi banyak tahu. Dia juga yang sering kali membantu Rumah Berdaya turut ambil bagian dalam berbagai event di Bali.

Adalah I Nyoman Sudiasa yang turut serta dalam pembentuka­n Rumah Berdaya bersama Angga. Nyoman merupakan sosok yang paling stabil di antara ODS lain di Rumah Berdaya. Dia juga yang tahu betul bagaimana Rumah Berdaya memulai perjalanan­nya dua tahun lalu, tepatnya pada 10 Oktober 2015. Ketika Jawa Pos menyambang­i Rumah Berdaya Kamis siang, 24 Agustus, Nyoman sedang berbincang dengan seorang warga. ”Kami mau buat warung,” kata dia.

Bukan warung besar memang. Hanya warung kecil di muka Rumah Berdaya yang beralamat di Jalan Hayam Wuruk. ”Untuk tambah biaya operasiona­l,” kata Nyoman pelan. Rumah Berdaya memang bukan yayasan sosial. Mereka murni perkumpula­n ODS di Bali yang bergerak sendiri. Tidak banyak minta, tapi terus berkarya. Dari karya tersebut mereka bisa bertahan.

Berkat karya itu pula mereka mendapat perhatian pemerintah. Termasuk di antaranya bangunan milik Pemkot Denpasar yang dijadikan markas Rumah Berdaya. Juga kendaraan operasiona­l yang setiap hari dipakai Kadek mengantar jemput para ODS. Semua mereka dapatkan hampir bersamaan. Medio Oktober dan September tahun lalu. Itu pun tidak datang begitu saja. Tapi setelah mereka beraudiens­i dengan pemkot setempat.

Semula Nyoman dan Angga tidak bisa ber- temu setiap hari dengan ODS lain. Paling cepat seminggu sekali mereka bersua. Itu pun tidak lama. Dua jam. Dari pukul 16.00 sampai 18.00. Tempat bertemunya adalah kediaman dokter mereka, I Gusti Rai Putra. ”Kumpul-kumpul saja. Satu, dua, sampai tujuh orang,” ucap Nyoman. Tujuannya tidak lain para ODS semakin terbiasa berkomunik­asi. Minimal dengan sesama mereka.

”Saya juga ODS,” ungkapnya. Karena merasa tertekan dengan tanggung jawab yang diemban sebagai kepala gudang sebuah perusahaan swasta, 16 tahun lalu dia kehilangan kendali.

Kala itu hidupnya benar-benar gelap. ”Kontrol (diri sendiri) memang nggak ada. Tapi, kejadian apa pun kami ingat,” kenangnya. Setelah tumbang di tempat kerja pertengaha­n 2001, gangguan kejiwaan yang dia alami terus kambuh. Sempat sembuh, sebulan kemudian kembali kambuh. ”Rumah saya hancurkan. Telanjang keliling kampung di Buleleng,” kata dia sambil berusaha mengingat setiap kejadian yang dialami belasan tahun lalu.

Nyoman juga tidak lupa, pada tahun yang sama ketika mulai terganggu kejiwaanny­a, dirinya dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Bangli. Untung, dia punya istri setia. Meski Nyoman tengah terpuruk, istrinya tidak berhenti mendamping­i. Selama di Rumah Sakit Jiwa Bangli, ibu dua anak bernama Ni Putu Sri Ayu Astuti tersebut terus bersamanya. Saat itu tekad Nyoman bulat. Dia ingin bebas dari gangguan jiwa.

Bukan hanya karena istrinya. Tapi juga karena buah hatinya yang pertama, Ni Putu Putri Indah Melati. ”Saya harus bisa menghidupi anak dan istri,” ucap Nyoman mengulang kalimat yang kala itu hanya mampu dia sampaikan dalam hati. Tekad itu pula yang membuatnya lekas pulih. Bisa kembali bekerja dan menyaksika­n kelahiran anak keduanya, Ni Made Cindy Sephia Yanti. (*/c9/oki)

 ?? SAHRUL YUNIZAR/JAWA POS ?? KREATIF: Para ODS terus berkarya di Rumah Berdaya meski dalam keterbatas­an. Beberapa karya mereka dijual untuk menghidupi gerakan yang mereka mulai dua tahun lalu.
SAHRUL YUNIZAR/JAWA POS KREATIF: Para ODS terus berkarya di Rumah Berdaya meski dalam keterbatas­an. Beberapa karya mereka dijual untuk menghidupi gerakan yang mereka mulai dua tahun lalu.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia