Ingat, Presiden Ingin Dorong Industri Dalam Negeri
Keresahan merundung para penggiat mobil listrik nasional (molina). Penyebabnya, peraturan presiden (perpres) tentang percepatan pengembangan kendaraan listrik dianggap berpotensi mengubur mimpi mereka. Berbagai masukan pun disuarakan agar Presiden Joko Wi
Selain persiapan regulasi dan riset, pemerintah juga perlu menyusun insentif yang dapat mendorong semangat pengembangan mobil listrik. Insentif tersebut bisa diberikan kepada penemu, peneliti, maupun industri.” Presiden Jokowi pada acara Lebaran Betawi di Jakarta, 30 Juli 2017
SEJAK beberapa bulan terakhir Presiden Jokowi memang sering mengungkapkan keinginannya agar Indonesia segera mengembangkan mobil listrik. Jokowi tak ingin Indonesia terlambat lagi dalam mengembangkan industri otomotif
Karena itu, dia ingin membuat kebijakan yang pro penemu, periset, dan industri.
”Selain persiapan regulasi dan riset, pemerintah juga perlu menyusun insentif yang dapat mendorong semangat pengembangan mobil listrik. Insentif tersebut bisa diberikan kepada penemu, peneliti, maupun industri,” ujar presiden dalam acara Lebaran Betawi di Setu Babakan, Jakarta, Minggu, 30 Juli 2017.
Suara Jokowi itu ternyata diterjemahkan oleh para pembantunya (menteri-menteri terkait) lewat pembuatan peraturan presiden (perpres). Sayang, isi draf Perpres Percepatan Pemanfaatan Tenaga Listrik untuk Transportasi Jalan tersebut justru menciutkan mimpi para periset dan pelaku industri dalam negeri. Kegalauan mereka seperti perasaan para fans Raisa yang mengetahui kabar pernikahan idolanya.
Isi draf perpres itu memang terkesan hanya memberikan karpet merah bagi masuknya raksasa otomotif internasional. Salah satu yang mendasari argumen tersebut, ada pemberian insentif yang berupa pembebasan bea masuk dan pajak barang mewah. Isi perpres juga sama sekali tak mengatur perlindungan terhadap industri mobil listrik nasional.
”Yang saya dengar dari pemberitaan kan memang seperti itu. Kalau itu yang terjadi, tentu kita kalah bersaing,” ujar Staf Ahli Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Agus Puji Prasetyono. Pernyataan tersebut disampaikan ketika Agus memberikan paparan dalam sarasehan yang diadakan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, pada Kamis (31/8).
Mengapa bisa kalah bersaing? Sebab, menurut Agus, saat ini kebanyakan pengembangan kendaraan listrik dalam negeri masih bersifat merakit. Meskipun ada periset dari beberapa perguruan tinggi yang telah mampu membuat komponen utama kendaraan listrik. Misalnya motor, baterai, dan platformnya. Salah satunya ITS dengan motor Gesits-nya.
”Tapi, itu (yang sudah bisa membuat sendiri, Red) pun kalau harus dijual ya masih kalah dari sisi harga,” tutur Agus. Sebab, tetap ada komponen yang harus didatangkan dari luar negeri. Juga, tentu ada bea masuk yang harus ditanggung. ”Di sinilah kita akan kalah kalau kendaraan listrik dari luar negeri nanti dibebaskan begitu saja bea masuknya,” papar Agus.
Agus mengatakan, mewujudkan kemandirian teknologi harus dilakukan melalui penguasaan teknologi. Ada beberapa cara penguasaan teknologi. Ada penguasaan yang dilakukan dari hulu sampai hilir. Juga harus ada reverse engineering.
Reverse engineering merupakan sebuah proses untuk mencari dan menemukan teknologi yang bekerja di balik suatu sistem, perangkat, atau objek. Penemuan itu melalui sebuah proses analisis mendalam. Baik struktur, fungsi, maupun cara kerja sistem, perangkat, atau objek yang diteliti.
Untuk kasus kendaraan listrik, misalnya, pemerintah bisa membuat kebijakan agar teknologi dari produk pabrikan asing yang akan masuk ke Indonesia dipelajari atau diaudit dulu. Setelah itu, dipetakan mana yang bisa dibangun dalam negeri. ”Nah, teknologi yang bisa dibangun dalam negeri itulah yang harus diserahkan kepada kita (industri dalam negeri, Red). Sehingga tidak masuk secara gelondongan,” tutur Agus.
Hal lain yang bisa diatur terkait dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Menurut Agus, sejauh ini aturan tentang TKDN hanya menyangkut manufaktur, sumber daya manusia, dan sumber daya alam. ”Belum memasukkan aturan mengenai RnD ( research and development),” ujarnya.
Seharusnya ada aturan mengenai TKDN dan RnD. Aturan itu bisa memaksa pabrikan asing yang masuk ke Indonesia untuk menggandeng lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) atau perguruan tinggi dalam melakukan riset mobil listrik bersama-sama. ”Dari situ, nanti kita bisa membangun mobil listrik yang teknologinya sama dan baru,” terangnya.
Dirjen Penguatan Inovasi Kemenristekdikti Jumain Appe mengatakan, dari sisi teknologi serta kompetensi, litbang perguruan tinggi dan perusahaan swasta dalam negeri tak diragukan lagi. Mereka pasti mampu melaksanakan produksi mobil listrik nasional. ”Sekarang butuh kesepakatan bersama agar kita bisa bersaing ketika masuk industri,” ujarnya.
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) seharusnya menjadi leader dalam menyiapkan market untuk kendaraan listrik nasional. ”Produk mana yang market readiness levelnya tinggi, dari situ dipetakan lagi apakah dari sisi manufacture dan supply chain bisa dipenuhi pelaku dalam negeri,” katanya.
Jumain berharap kesamaan visi sejumlah kementerian yang terlibat dalam pembuatan kebijakan untuk mobil listrik. Selama ini tiga kementerian yang menggarap perpres mobil listrik memang punya sikap yang berbeda. Itu terungkap dari pernyataan menterimenterinya di media.
Dalam sejumlah kesempatan, arah percepatan pengembangan mobil listrik di Indonesia memang berbeda-beda antar kementerian. Kementerian ESDM misalnya. Pihak ESDM lebih memilih investor dari Tiongkok untuk mengembangkan kendaraan listrik di Bali. Sementara itu, arah kebijakan Kemenperin terbaca lebih sreg untuk mendatangkan kendaraan hybrid produk pabrikan luar negeri.
Hanya Kemenristekdikti yang memiliki semangat yang masih Merah Putih. Melalui Ditjen Penguatan Inovasi dan Ditjen Kelembagaan, Kemenristekdikti mendukung penuh kerja sama produksi motor listrik ITS. Produksi itu dilakukan melalui kerja sama dengan Garansindo, Wika, Kadin Bali, Telkom, dan Telkomsel. (gun/ c11/ang)