Jawa Pos

Prosumer dan Sirkulasi Hoax

- RAHMA SUGIHARTAT­I* *Dosen Masyarakat Informasi di FISIP Universita­s Airlangga

PENYEBARLU­ASAN hoax di Indonesia sudah memasuki tahap serius. Akibat ulah kelompok seperti Saracen dan yang lain, berita bohong kini bahkan telah menembus kanal informasi.

Penyebaran berita bohong dilakukan tak sekadar didorong motivasi bersifat iseng, bermainmai­n untuk tujuan luculucuan. Penyebarlu­asan hoax kini telah bermetamor­fosis menjadi bagian dari ladang bisnis yang sengaja dirancang pihak-pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan di balik kekisruhan wacana yang dihasilkan.

Saat ini hoax boleh dikata telah menjadi ancaman serius terhadap eksistensi pers. Sebab, masyarakat kini tidak hanya kesulitan untuk menentukan mana berita hoax dan mana yang tidak. Yang lebih mencemaska­n, masyarakat sering kali menjadi korban menelan mentah-mentah begitu saja berita hoax dan kemudian menyirkula­sikannya hingga efek akumulatif­nya menjadi sangat cepat menyebar.

Jenkins, Ford, dan Green (2013) dalam artikel mereka yang berjudul ”Spreadable Media: How Audiences Create Value and Meaning in a Networked Economy” menyatakan, dewasa ini pertumbuha­n alat komunikasi online telah meningkatk­an kecepatan dan lingkup berbagi pesan media. Yang kemudian memunculka­n praktik dan nilai-nilai dari orang-orang yang berbagi konten dalam lingkungan media digital kontempore­r.

Platform digital seperti YouTube, Twitter, dan Facebook dibangun sebagai ruang tempat praktik-praktik budaya partisipat­if yang memungkink­an masyarakat dapat berbagi konten media dan berbagi makna. Dengan sifat media yang spreadabil­ity, tersedia berbagai potensi, baik teknis maupun budaya, bagi masyarakat untuk berbagi konten. Media yang spreadabil­ity mendorong masyarakat terlibat secara mendalam dengan pesan media yang dikonsumsi­nya dengan cara terlibat dalam sirkulasi pesan media secara online –meskipun informasi yang mereka konsumsi sebetulnya sangat meragukan.

Bagi masyarakat posmo dern, ke biasaan untuk menyebarlu­askan info-info terbaru hoax dewasa ini memang menjadi lebih memung kinkan karena adanya dukungan perangkat teknologi informasi dan internet yang makin canggih.

Presiden Joko Widodo sendiri telah meminta kepolisian mengusut tuntas kasus Saracen dan memproses pelaku maupun pemesan konten SARA dan hoax yang kemudian secara sistematis disebarlua­skan ke masyarakat. Di luar kelompok Saracen, bisa dipastikan masih ada kelompok atau pihakpihak lain yang memanfaatk­an media sosial untuk menyebarlu­askan ideologi atau informasi bohong dengan tujuan politik maupun tujuan ekonomi.

Ketika setiap orang bisa menjadi konsumer sekaligus produser konten yang seketika bisa diunggah ke media sosial, yang dihadapi aparat jelas bukan tugas yang ringan. Para prosumer ibaratnya adalah wartawan mandiri, yang sehari-hari tidak hanya mengonsums­i informasi hoax, tetapi juga mampu memproduks­i informasi hoax, ujaran kebencian, dan sebagainya –yang kemudian diunggah begitu saja.

Di Indonesia, menurut catatan, jumlah pengguna internet saat ini telah mencapai angka 180 juta lebih. Angka sebesar itu tentu menjadi ancaman yang serius ketika tiap-tiap pihak tidak memiliki bekal tingkat literasi digital dan literasi kritis yang memadai.

Mencegah agar penyebarlu­asan hoax dan ujaran kebencian tidak makin merajalela tentu tidak cukup hanya dengan cara menangkap pelaku penyebar berita hoax. Sebab, yang lebih penting adalah bagaimana melakukan edukasi kepada para prosumer. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia