Prosumer dan Sirkulasi Hoax
PENYEBARLUASAN hoax di Indonesia sudah memasuki tahap serius. Akibat ulah kelompok seperti Saracen dan yang lain, berita bohong kini bahkan telah menembus kanal informasi.
Penyebaran berita bohong dilakukan tak sekadar didorong motivasi bersifat iseng, bermainmain untuk tujuan luculucuan. Penyebarluasan hoax kini telah bermetamorfosis menjadi bagian dari ladang bisnis yang sengaja dirancang pihak-pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan di balik kekisruhan wacana yang dihasilkan.
Saat ini hoax boleh dikata telah menjadi ancaman serius terhadap eksistensi pers. Sebab, masyarakat kini tidak hanya kesulitan untuk menentukan mana berita hoax dan mana yang tidak. Yang lebih mencemaskan, masyarakat sering kali menjadi korban menelan mentah-mentah begitu saja berita hoax dan kemudian menyirkulasikannya hingga efek akumulatifnya menjadi sangat cepat menyebar.
Jenkins, Ford, dan Green (2013) dalam artikel mereka yang berjudul ”Spreadable Media: How Audiences Create Value and Meaning in a Networked Economy” menyatakan, dewasa ini pertumbuhan alat komunikasi online telah meningkatkan kecepatan dan lingkup berbagi pesan media. Yang kemudian memunculkan praktik dan nilai-nilai dari orang-orang yang berbagi konten dalam lingkungan media digital kontemporer.
Platform digital seperti YouTube, Twitter, dan Facebook dibangun sebagai ruang tempat praktik-praktik budaya partisipatif yang memungkinkan masyarakat dapat berbagi konten media dan berbagi makna. Dengan sifat media yang spreadability, tersedia berbagai potensi, baik teknis maupun budaya, bagi masyarakat untuk berbagi konten. Media yang spreadability mendorong masyarakat terlibat secara mendalam dengan pesan media yang dikonsumsinya dengan cara terlibat dalam sirkulasi pesan media secara online –meskipun informasi yang mereka konsumsi sebetulnya sangat meragukan.
Bagi masyarakat posmo dern, ke biasaan untuk menyebarluaskan info-info terbaru hoax dewasa ini memang menjadi lebih memung kinkan karena adanya dukungan perangkat teknologi informasi dan internet yang makin canggih.
Presiden Joko Widodo sendiri telah meminta kepolisian mengusut tuntas kasus Saracen dan memproses pelaku maupun pemesan konten SARA dan hoax yang kemudian secara sistematis disebarluaskan ke masyarakat. Di luar kelompok Saracen, bisa dipastikan masih ada kelompok atau pihakpihak lain yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarluaskan ideologi atau informasi bohong dengan tujuan politik maupun tujuan ekonomi.
Ketika setiap orang bisa menjadi konsumer sekaligus produser konten yang seketika bisa diunggah ke media sosial, yang dihadapi aparat jelas bukan tugas yang ringan. Para prosumer ibaratnya adalah wartawan mandiri, yang sehari-hari tidak hanya mengonsumsi informasi hoax, tetapi juga mampu memproduksi informasi hoax, ujaran kebencian, dan sebagainya –yang kemudian diunggah begitu saja.
Di Indonesia, menurut catatan, jumlah pengguna internet saat ini telah mencapai angka 180 juta lebih. Angka sebesar itu tentu menjadi ancaman yang serius ketika tiap-tiap pihak tidak memiliki bekal tingkat literasi digital dan literasi kritis yang memadai.
Mencegah agar penyebarluasan hoax dan ujaran kebencian tidak makin merajalela tentu tidak cukup hanya dengan cara menangkap pelaku penyebar berita hoax. Sebab, yang lebih penting adalah bagaimana melakukan edukasi kepada para prosumer. (*)