Jawa Pos

Belum Pahami Ujaran Kebencian

- GUFRON MABRURI* *Wakil Direktur Imparsial

PENANGANAN maraknya ujaran kebencian di ruang publik hingga kini masih merupakan persoalan pelik. Salah satu masalah utamanya, isu ujaran kebencian belum secara baik dan jelas dipahami. Tidak se dikit orang yang belum bisa mem bedakan mana bentuk ekspresi dan mana yang bukan. Kekaburan dan bahkan persepsi yang keliru di dalam memahami ujaran kebencian menimbulka­n persoalan baru. Tentu saja, adanya perhatian yang semakin besar atas isu ujaran kebencian dan langkah tegas pemerintah sebagai perkembang­an positif.

Meski demikian, penanganan maraknya ujaran kebencian membutuhka­n kehati-hatian. Penanganan yang semena-mena bisa membuka pintu celah bagi pemberangu­san kebebasan berekspres­i, atau disalahgun­akan oleh penguasa atau pemerintah untuk merepresi oposisi.

Kebebasan berekspres­i adalah hak asasi yang telah dijamin dan memiliki makna esensial dalam demokrasi.

Dalam perspektif HAM, ada beberapa tipe ekspresi yang bisa dilimitasi di mana ujaran kebencian tercakup salah satunya. Tipe ekspresi ini juga dikategori­kan sebagai tindak pidana.

Secara konseptual, ujaran kebencian sering dirujuk sebagai bentuk ekspresi (tulisan, ucapan, bahasa gestur, atau pidato) yang bisa mendorong atau menghasut kebencian terhadap anggota suatu kelompok tertentu atas dasar identitasn­ya.

Ada dua unsur utama dalam ujaran kebencian. Pertama, kebencian ( hate), yakni emosi yang kuat dan irasional yang berbentuk penghinaan, permusuhan, dan kebencian terhadap individu atau kelompok yang dijadikan target lantaran memiliki karakteris­tik tertentu yang dilindungi (diakui hukum internasio­nal) seperti ras, warna kulit, agama, keturunan, adat, suku bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual. Kedua, pidato atau perkataan ( speech), yakni setiap ekspresi untuk menyampaik­an pendapat atau ide –membawa pendapat atau ide internal ke publik– yang dapat dilakukan melalui berbagai bentuk: tulis, nonverbal, visual atau artistik, dan dapat disebarlua­skan melalui internet, barang cetak, radio, atau televisi. Dan bahkan, kalau kita merujuk pada penjelasan normatif pasal 20 ayat (2) Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) yang telah diratifika­si oleh Indonesia pada tahun 2005, konsep ujaran kebencian dirumuskan lebih ketat lagi. Selain kedua unsur utama di atas, suatu ekspresi bisa disebut sebagai ujaran kebencian mensyaratk­an adanya unsur ’’hasutan’’ yang bisa mendorong orang lain bertindak.

Sebab itu, bisa disimpulka­n tidak semua bentuk ekspresi kebencian bisa dikategori­kan sebagai ’’ujaran kebencian’’. Esensi konsep ujaran kebencian bukan merujuk pada ekspresi kebencian yang sifatnya umum, tetapi ekspresi kebencian yang mendorong orang untuk melakukan diskrimina­si atau kekerasan berdasar alasan SARA. Sejauh dua unsur dan tidak adanya hasutan, suatu ekspresi tidak bisa diidentifi­kasi dan dikategori­kan sebagai ujaran kebencian.

Berbagai studi atau kajian juga mengungkap­kan ranah ujaran kebencian dalam hubungan sosial. Dilihat dari sasarannya, korban ujaran kebencian bisa merupakan individu ataupun kelompok oleh karena latar belakang identitas yang dimilikiny­a (SARA).

Dengan demikian, secara konsep dan praktik tidak dikenal ujaran kebencian berdimensi vertikal terhadap pemerintah. Apalagi pada 2007 Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah mencabut pasal 154 dan pasal 155 KUHP tentang ujaran kebencian terhadap pemerintah. Delik ini dikhawatir­kan menjadi instrumen politik untuk merepresi kritik publik terhadap pemerintah. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia