Kurangi Isi dengan Tambah Topping, Tak Gunakan Wadah Contong Lagi
Kelangkaan komoditas garam akhir-akhir ini tak hanya dikeluhkan ibu rumah tangga. Nasib para pedagang es puter juga terancam gulung tikar. Sebab, garam merupakan bahan wajib dalam pembuatan es puter.
PADA siang yang cukup terik itu, Jumardi, 30, pedagang es puter, berkeliling menjajakan dagangannya di wilayah Desa Sumbertebu, Kecamatan Bangsal. Dengan gerobak sederhananya, dia berkeliling sambil memukul alat musik khas yang menyerupai kenong gamelan.
Dengan bunyi yang dihasilkan, Jumardi tak harus berteriak. Sebab, anak-anak pasti mengetahui bahwa sumber bunyi kenong tersebut berasal dari pedagang es puter yang lewat. Karena itu, es puter lebih dikenal dengan es nungnung atau es dung-dung karena bunyi kenong tersebut.
Tak dibutuhkan waktu lama, tepat di depan Masjid Ki Buyut Lankay, Dusun Gempang, Desa Sumbertebu, Kecamatan Bangsal, Jumardi langsung dikerubungi puluhan bocah setempat.
Rasa es puter belum banyak berubah. Bahkan, pembuatannya pun masih dilakukan dengan cara tradisional. Namun, akhir-akhir ini keberadaan pedagang es puter mulai terusik akibat kelangkaan dan tingginya harga garam. Pasalnya, garam merupakan salah satu bahan wajib yang dibutuhkan dalam pembuatan es itu.
Jumardi menyatakan, bahan utama untuk membuat es puter adalah santan, gula, dan sedikit vanili sebagai aroma khasnya. Kemudian, semua bahan diaduk dan ditempatkan di wadah tabung khusus untuk pembekuan. ’’Sekitar 10 sampai 15 liter santan untuk bahan baku es puter,’’ ungkapnya.
Pria asal Dusun Sawahan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bangsal, tersebut menjelaskan, untuk pembekuan, dibutuhkan campuran garam dan pecahan es batu. Menurut dia, garam berfungsi mempercepat pembentukan bunga es. ’’Kalau tidak pakai garam, (santan, Red) tidak bisa jadi es,’’ ungkapnya.
Caranya, garam dan es batu ditempatkan di suatu wadah khusus yang dilapisi spons serta plastik. Kemudian, tabung yang berisi bahan olahan santan dimasukkan ke wadah berisi pecahan es batu dan garam. Tabung lantas diputarputar secara terus-menerus selama 1,5 hingga 2 jam. ’’Satu kali proses menghabiskan 10 kilogram garam dan dua balok es batu,’’ terangnya.
Yang digunakannya adalah jenis garam kasar atau grasak. Namun, kata Jumardi, selama tiga bulan terakhir, dirinya sulit mendapatkan garam akibat terjadi kelangkaan di pasaran. Kalaupun ada, harganya naik tiga kali lipat jika dibandingkan dengan sebelumnya.
Saat ini harga garam menyentuh Rp 220 ribu per 50 kilogram. Padahal, harga sebelumnya hanya Rp 60 ribu. ’’Naiknya lebih dari tiga kali lipat,’’ keluhnya.
Mau tidak mau, dia harus memutar otak agar pekerjaan yang digeluti sejak 2004 itu tidak sampai gulung tikar seperti teman-temannya. Dia menceritakan, di antara lima teman yang menjadi tukang es puter keliling, hanya Jumardi satu-satunya yang masih berjualan.
’’Semuanya sudah tidak jualan es puter lagi. Mereka cari pekerjaan lain,’’ papar pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, tersebut.
Dia menyiasatinya dengan menaikkan harga es Rp 1.000 per cup. Hal itu terpaksa dilakukan agar penghasilannya bisa diputar kembali untuk membeli kebutuhan bahan baku. Dalam wadah cup ukuran sedang yang semula dijual Rp 2.000, kini menjadi Rp 3.000.
Jumardi pun tak lagi menyediakan wadah es contong yang sebelumnya dijual Rp 1.000. Dia menggantinya dengan cup ukuran kecil yang dijual Rp 2 ribu. ’’ Gak berani menaikkan harga banyak-banyak biar tetap bisa dijangkau anak-anak sekolah,’’ tuturnya. (abi/c22/end)