Jawa Pos

Kakinya Tak Berjodoh dengan Sepatu

Di kalangan pelari yang sering mengikuti race maraton, nama Hamzah Haruna cukup dikenal. Padahal, dia bukan langganan podium. Dia menjadi top karena selalu nyeker saat berlari. Itu sudah menjadi ciri khas pemuda asal Makassar, Sulawesi Selatan, tersebut.

-

HAMZAH Haruna tahun lalu berhasil menaklukka­n race maraton 42,195 kilometer dengan cara barefoot (tanpa alas kaki) di Blackmores Sidney Running Festival 2016 di Sydney, Australia. Tidak hanya tanpa alas kaki, dia juga mengenakan baju adat Bugis.

Meski tanpa sepatu, dia mampu finis cukup cepat dengan catatan waktu 4 jam 3 menit 48 detik. Fotonya saat memasuki finish line mengenakan baju adat Bugis warna merah, membawa bendera Merah Putih, dan tentu saja

nyeker beredar luas di kalangan runners serta menjadi buah bibir.

Memulai lari sejak 2013, awalnya pelari 35 tahun tersebut berlari mengenakan sepatu seperti para pelari pada umumnya. Namun, pada awal 2015, Ancha memilih berlari bertelanja­ng kaki alias tanpa sepatu. Mengapa? ’’Saya selalu nggak pernah cocok lari pakai sepatu apa pun. Kuku saya sering lepas. Sebelumnya sudah nyoba banyak jenis sepatu juga,’’ ucap Ancha kepada Jawa Pos.

Memilih menanggalk­an sepatu bukan tanpa pertimbang­an. Dia telah mencoba bertahan hampir 2 tahun berlari mengenakan sepatu, namun selalu berakibat kukunya bergeser dan luka. ’’Terus saya coba iseng-iseng lari nyeker. Ternyata enak dan akhirnya keterusan sampai sekarang,’’ kata finisher Hongkong Ma- rathon 2017 itu.

Dia mengungkap­kan, dirinya berlariri tanpa mengenakan sepatu merupakann cara yang lebih alami, membuat kakiki lebih nyaman, dan bisa memperbaik­i ki teknik lari. Kontak langsung dengan n permukaan aspal atau tanah saat men- darat tanpa sudah barang tentu membuatat telapak kaki rentan cedera. Namun, n, Ancha menepis anggapan tersebut.

’’ Nggak sakit kok kalau tekniknya benar.r. Yang penting telapak kaki depan menapakk lebih dulu. Sakitnya baru kalau kena tumitit aja sih,’’ terang pria yang berprofesi sebagaiai reseller jam tangan olahraga itu.

Namun, dia juga punya beberapa pe- ngalaman akibat berlari tanpa mengenakan alas kaki. Yaitu, saat dia tidak sengaja menginjak kerikil. ’’Sakit juga a kalau menginjak kerikil agak tajam. m. Kadang-kadang juga saya tidak bisa a menghindar­i karena warnanya samaa dengan aspal,’’ tuturnya.

Menurut dia, tren barefoot masih jarang g dijumpai di tanah air, namun cukup populer di luar negeri. Ada sebagian yang setuju dan menganggap barefoot memberikan efek bagus bagi pelari. Namun, ada pula pelari yang menganggap cara tersebut tidak bagus.

’’Ada yang bilang bisa berpengaru­h ke saraf. Tapi, selama ini saya gak ada keluhan. Orang-orang yang pakai sepatu kadang-kadang bisa gak sadar kalau telapak kaki belakang dulu yang mendarat. Itu yang bisa bikin cedera,’’ ucap pelari yang tergabung dalam komunitas Juku Eja Runners tersebut.

Menurut Ancha, beberapa rekannya di komunitas Juku Eja Runners penasaran dengan barefoot dan mencoba me- ngikutinya ngikutinya. ’’Tergantung ’’Tergantung­masing-masing masing-masing. Kalau nggak nyaman, ya mendingan tidak usah diteruskan,’’ kata ayah seorang anak itu.

Hampir setiap hari finisher Kuala Lumpur Marathon 2014 itu latihan berlari tanpa mengenakan sepatu. Sekali berlatih dia bisa menempuh jarak 10–15 km. Jaraknya bisa lebih panjang bila dia sedang mempersiap­kan diri untuk mengikuti event.

Tidak hanya berhasil berlari maraton tanpa mengenakan alas kaki, Ancha juga berhasil menamatkan ajang NusantaRun Chapter 4 Cirebon–Purwokerto 2016 sepanjang 145 km ( half course) dengan nyeker. ’’NusantaRun itu pengalaman lari paling berkesan. Jaraknya jauh dan lari untuk misi sosial,’’ katanya. (nes/c4/tom)

 ?? FOTO-FOTO: MUHAMMAD IDHAM AMA/FAJAR/JPG ??
FOTO-FOTO: MUHAMMAD IDHAM AMA/FAJAR/JPG

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia