Dandan ala Mumi saat Bawakan Puisi W.S. Rendra
Usia bukan penghalang bagi Asmika untuk terus berkarya. Laki-laki yang tahun ini genap berumur 79 tahun tersebut masih aktif membaca puisi dan membina teater. Semua dilakukan demi memenuhi kepuasan jiwanya.
ASMIKA mampu berjalan dengan langkah yang cepat. Tubuhnya pun tampak bugar. Gaya bicara kakek yang tinggal di Sidoarjo itu pun tetap lancar. Yakni, dengan nada suara yang berat dan kosakata jelas tanpa terhambat.
Kemarin sore (3/9), Asmika tampil rapi saat ditemui di Perumahan Sekardangan Indah. Dia mengenakan kemeja motif kotak warna cokelat dipadu dengan celana jins hitam. Warna sepatunya pun se- nada. Rambutnya yang memutih dengan panjang sebahu dibiarkan terurai. Bukan hanya rambut di kepala Asmika yang telah memutih, alis mata dan kumis tipisnya pun berwarna putih. Beberapa bagian kulit di dua tangannya tampak keriput. Juga ada kerutan di sudut matanya. ”Meski begini, saya masih jelas untuk membaca, tidak pakai kacamata,” katanya.
Anak kedua dari sepuluh bersaudara tersebut sangat ramah. Asmika merupakan sosok yang pandai bergaul. Dia bisa menjadi teman siapa saja. Baik tua maupun muda. Berbicara tentang seni dengannya akan mendapat banyak hal. Terutama soal puisi dan teater yang kini masih digeluti. Dia begitu cinta dengan dunia seni. Kecintaannya itu timbul sejak dia duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Dalam pelajaran bahasa Indonesia, dia sering kali membuat cerita. ”Istilahnya dulu dongeng,” ucap pria kelahiran Madiun tersebut.
Dalam mata pelajaran itu, dia selalu unggul. Bahkan, nama Asmika dikenal dalam seni drama. Saat acara perpisahan, karya ceritanya terpilih untuk dipentaskan. Dalam karya tersebut, Asmika pun menjadi tokohnya. Bemula dari panggung sekolah itulah, Asmika mendalami seni. Dia juga sering tampil membaca puisi. Kegiatan itu sampai sekarang dilakoni. Pada Februari lalu, dia juga tampil di Taman Budaya Surabaya. Dia membawakan puisi Pertemuan Malam karya W.S. Rendra.
Tidak sekadar membaca, lakilaki yang mendapat penghargaan dari Pemprov Jatim sebagai Seniman/Tokoh Berdedikasi 2015 tersebut juga merefleksikan makna puisi di dalamnya. Dalam pergelaran itu, Asmika yang usianya sudah kepala tujuh tampil prima. Dalam foto yang dipigura tersebut, Asmika juga menunjukkan totalitasnya sebagai insan seni. Dia berdandan ala mumi. Menurut dia, puisi itu bercerita tentang pertemuan Rendra dan ayahnya yang telah meninggal. ”Jadi, saya tampil dengan gaya seperti ini,” tuturnya seraya menunjukkan fotonya yang tampak gagah di dalam pigura.
Laki-laki yang menjadi tokoh dalam film Bendera Sobek pada 2011 tersebut mengungkapkan, banyak orang yang meragukan kemampuan- nya. Terlebih saat mereka tahu bahwa Asmika merupakan seniman yang tak lagi muda. Namun, keraguan itu dijawab Asmika dengan akting yang luar biasa. Bahkan, dia mampu membuat gerakan gesit dan lincah saat di panggung.
Bagi Asmika, seni merupakan hidupnya. Karena itu, saat tampil, dia tidak ingin setengah-setengah. Totalitas selalu dia terapkan dalam berkesenian. Saban hari, dia juga menjaga tubuhnya agar senantiasa bugar. Resepnya sederhana, yakni dengan jalan kaki.
Tiap hari Asmika selalu berjalan kaki. Bahkan, tiap Senin malam, saat dia ke Surabaya untuk membina teater, dia juga jalan kaki dari rumahnya sampai ke jalan raya. Jarak yang harus dia tempuh lebih dari 2 kilometer. Dari jalan raya, dia naik angkutan umum menuju Kota Pahlawan.
Semua dilakoni dengan hati gembira. Kegembiraan itu pula yang membuat dia tetap awet berkesenian sampai sekarang. ”Bersyukur, tidak pernah sakit,” katanya. Di umurnya yang sekarang, ingatan Asmika masih tajam. Dengan gamblang, dia bercerita tentang masa lalunya.
Asmika kecil harus pergi ke Jakarta demi mendapatkan uang untuk menghidupi adik-adiknya. Dia juga kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Saat aktivitas perkuliahan tidak kondusif, dia mulai mendirikan beberapa kelompok teater dan main sebagai figuran di beberapa film. ”Saya pernah pergi ke Timor Timur,” ujarnya. Dia terlibat dalam pembangunan jalan dan jembatan di sana.
Kini, saat berusia senja, dia tetap cinta dengan dunia seninya. Sering kali dia diundang dalam workshop. Anak-anak teater dan pencinta puisi juga datang padanya untuk mencari ilmu. Dari dulu sampai sekarang, Asmika tak pernah berubah. Kala membaca puisi, dia penuh dengan penghayatan sejati.
Dia hafal bait per bait puisi yang dibawakan. Untuk mengetes tanggapan penonton, sering kali di berlatih di jalan hingga tempat parkir. Di jalan tiba-tiba berhenti untuk membaca puisi juga sering dijalani. Yang pasti, Asmika akan tetap berkarya meski tidak lagi muda. Dia tetap membaca dengan nada yang mantap dan pas di pendengaran walaupun tangannya sering bergetar-getar saat berbicara dan begerak. (*/c20/ai)