Anak Cinta Literasi, Ibu Terbantu secara Ekonomi
Saat Jawa Pos mengunjungi rumah tersebut pada Kamis (31/8), suasana sedikit semrawut. Terutama pada bagian rak yang dipenuhi ribuan buku yang berjejal. Tatanan buku tumpang tindih. Tidak teratur.
Tapi, kesan risi itu langsung lenyap. Sapaan Mochamad Theo Zainuri yang bikin buyar kesan tersebut. ”Biasa, Mas. Kalau anak-anak datang ke sini, pasti bukunya morat-marit,” terangnya sambil tersenyum.
Ya, pria kelahiran 10 Desember 1973 itu terlihat terbiasa dengan kesemrawutan rumahnya. Dari raut wajahnya, dia malah tampak senang. Baginya, susunan buku amburadul tersebut merupakan bukti bahwa hari itu RBL ramai dikunjungi anak-anak.
Theo justru sedih jika ruang RBL tampak rapi. Dengan buku-buku yang berjajar rapat. Lurus. Kondisi rapi, baginya, menjadi bukti bahwa pada hari itu, tidak banyak anak yang datang mengunjungi ruang tamu yang diubah menjadi perpustakaan tersebut.
Didirikan pada September 2012, RBL memang bertujuan untuk memberikan fasilitas belajar bagi anak-anak. Khususnya bagi anak yang ingin menambah referensi belajar dengan membaca buku.
Ide itu lahir lantaran prihatin. Terutama tentang minimnya akses anak-anak pada dunia literasi.
Anak hanya membaca buku sewaktu di sekolah. Kalau di rumah, mereka hanya membaca ketika ada tugas. Buku-buku lain, di luar materi pelajaran, tidak ada. ”Kondisi itulah yang membuat saya membuka RBL,” jelas bapak satu anak tersebut.
Tidak sekadar memberikan alternatif bacaan, di RBL Theo membebaskan anak-anak untuk meminjam buku. Tanpa dipungut biaya. Gratis. Setiap anak yang ingin meminjam buku tinggal mengisi buku peminjaman. Setelah itu, buku bisa langsung dibawa pulang.
Konsep membebaskan peminjam itu memang sengaja dibuat lelaki yang juga dosen luar biasa di Universitas Ciputra tersebut. Tujuannya sederhana. Theo ingin mengajarkan kepada anak-anak soal kejujuran dan tanggung jawab. Jujur dalam meminjam buku dan bertanggung jawab dalam mengembalikannya.
Meski terlihat sederhana, penanaman dua nilai itu bukan tanpa kendala. Pada awal penerapannya, Theo bersama sang istri, Solikhatul Fatonah Kurniawati, harus ikhlas kehilangan beberapa koleksi buku. Mereka harus nomboki koleksi buku yang raib.
Peminjam terkadang tidak bertanggung jawab. Mereka lupa pernah meminjam buku dan belum mengembalikan. Ada pula yang lolos tidak terdeteksi karena peminjam tidak mengisi buku. ”Kejadian itu sering terjadi pada waktu awal pembukaan RBL,” tuturnya.
Untuk menjaga koleksi RBL tetap komplet, Theo mulai membuat strategi baru. Dia memberdayakan seluruh anak yang sering bermain ke RBL untuk membuat organisasi. Membentuk struktur pengurus dan siapa yang bertanggung jawab mengelolanya.
Kepercayaan kepada anak-anak itu kemudian terjawab setelah beberapa bulan RBL berdiri. Buku makin jarang hilang. Kesadaran terbangun. Anak-anak saling mengingatkan kalau ada yang terlambat mengembalikan buku.
Selain mengajak anak membaca, Theo membuat beberapa kegiatan kreatif. Misalnya, menulis catatan, membuat cerpen, hingga menghasilkan sebuah sajak. Untuk kemampuan terakhir itu, kreativitas anak-anak RBL cukup andal. Terbukti, beberapa karya anak RBL sering berseliweran di koran.
Kelas menulis diadakan seminggu sekali. Selain teknik membuat kalimat, pada kelas itu anak juga diajak untuk memahami realitas yang terjadi di sekitarnya. Pengamatan yang dilihat pada keseharian itulah yang menjadi bahan anak-anak dalam menulis.
Di RBL, Theo juga membuat program Kelas Impian Lintang. Pada kegiatan tersebut, dia mengajak anak-anak berimajinasi lebih luas dalam mengejar cita-cita.
Kelas itu menghadirkan sosok yang bekerja di berbagai bidang. Tamu yang diundang akan menceritakan pengalaman selama bekerja. Bagaimana mereka bisa mendapatkan profesinya hingga curhat soal kisah hidup selama menjadi siswa. ”Biasanya, kisah ini disukai anak-anak,” jelasnya.
Harapan Theo, anak-anak bisa lebih bersemangat dalam menjalani hidup. Pikiran lebih panjang dan tidak gampang menyerah pada keadaan.
Theo tidak ingin anak-anak RBL hanya mengikuti jejak para pemuda yang tinggal di lingkungan mereka. Yang hanya bercita-cita pendek. Menamatkan sekolah setingkat SMP atau SMA. Kemudian, bergegas mencari pekerjaan. Jadi montir di bengkel atau melamar sebagai buruh pabrik.
Selain memfasilitasi para bocah untuk membaca, RBL menyediakan beasiswa bagi anggotanya yang berasal dari keluarga kurang mampu. Syarat lainnya, anak harus aktif berkegiatan di RBL.
Sudah ada tiga anak yang mendapat beasiswa dari RBL. Beasiswa itu diberikan dalam bentuk pembiayaan SPP anak selama bersekolah. ”Mereka tinggal bersekolah saja,” terang Solikhatul Fatonah K., istri Theo.
Namun, baru beberapa bulan berjalan, terjadi insiden yang sangat disayangkan dalam pemberian beasiswa itu. RBL terpaksa menghentikan pendanaan kepada salah seorang penerima beasiswa lantaran melanggar aturan. Anak tersebut ketahuan merokok.
” Kami sebenarnya sangat kecewa. Sedih melihat masalah ini,” jelasnya. Tapi, mau bagaimana lagi. Setelah ditanya berkali-kali, sang anak ternyata lebih memilih rokok ketimbang mendapatkan beasiswa.
Tidak hanya memfasilitasi bocah-bocah, Theo juga bergerak dalam pemberdayaan para ibu rumah tangga. Dia memberikan pelatihan membuat beberapa kerajinan dan perkakas yang kemudian dijual.
Salah satunya membuat karpet dari serat tumbuhan rami jawa. Tekniknya menganyam. Teknik tersebut bisa dipelajari ibu-ibu di RBL.
Awalnya, para ibu diajak menonton video cara menganyam serat rami jawa menjadi lembaran karpet. Setelah beberapa kali menonton, para ibu yang tergabung dalam Kelompok Bunda Lintang Kreatif itu langsung praktik. ”Latihannya cuma modal nonton YouTube. Ibu-ibu langsung bisa,” terangnya, lantas tertawa.
Setelah mahir membuat karpet, para ibu selanjutnya mengerjakan kerajinan tersebut di rumah masing-masing. Proses produksi sengaja dilakukan di rumah agar aktivitas keseharian ibu-ibu tidak terganggu.
Kini kelompok yang berdiri sejak 2015 itu memiliki 12 anggota. Seluruhnya merupakan ibu rumah tangga di sekitar Gang Ngelom.
Meski hanya dibuat dalam skala rumahan, produk karya ibu-ibu binaannya tersebut berkualitas cukup baik. Laris. Selain dipasarkan ke Bandung dan Jakarta, produk karpet sudah merambah ke luar negeri. Misalnya, Australia, Korea, Jerman, dan Italia.
Memang penjualan karpet belum skala besar. Masih perorangan. Namun, sudah banyak yang tertarik dengan produk tersebut. ”Terutama para bule yang tertarik karena karpet itu seluruhnya dibuat dari bahan alam,” jelasnya.
Selain karpet, para ibu binaan tersebut membuat kerajinan berupa tas tempat kacamata, kain tenda anak, hingga dadu berbahan spons. Semua itu dikerjakan setiap hari oleh para ibu di kampungnya.
Theo mengatakan, mayoritas pendanaan kegiatan RBL dan usaha kelompok ibu-ibu kreatif tersebut berasal dari uang pribadi. Dia mengambil dari keuntungan penjualan barang kerajinan dan usaha yang didirikannya bersama sang istri.
Semua itu dia lakukan lantaran ingin melihat kemandirian di kampung halamannya. Melihat anak-anak tumbuh dengan pikiran yang sehat dan memiliki karakter kuat. Melihat para ibu yang bisa membantu sang suami mencari nafkah melalui kegiatan produksi barang. ”Semua ini kami lakukan untuk melihat kemandirian yang lebih baik,” jelasnya. (*/c6/dos)