MA Serahkan Kasus Gratifikasi Hakim ke KPK
Mendesak, Perbaikan Sistem Pengawasan
JAKARTA – Praktik korupsi yang masih marak di lingkungan lembaga peradilan menjadi cambuk bagi Mahkamah Agung (MA) untuk memperbaiki sistem pengawasan dan pembinaan aparaturnya
Demikian juga mekanisme pengaduan ( whistleblowing system) yang ada saat ini, sepatutnya dimaksimalkan untuk membersihkan pengadilan dari perilaku koruptif.
Meski sudah menindak tegas hakim anggota Pengadilan Tipikor Bengkulu Dewi Suryana dan panitera pengganti Hendra Kurniawan yang tertangkap tangan KPK pada Kamis (7/9), MA harus tetap melakukan evaluasi. Khususnya dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan. ”Regulasi pengawasan hakim harus diubah,” kata peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar.
Menurut Erwin, perbaikan sistem pengawasan tetap harus dilakukan. Bukan hanya oleh MA, tapi juga oleh Komisi Yudisial (KY) yang notabene memang bertugas menjaga marwah para hakim.
Erwin mengatakan, dualisme pengawasan hakim oleh MA dan KY menjadi salah satu sebab macetnya sistem pengawasan terhadap para hakim.
”Dualisme itu membuat tidak ada standar,” ungkapnya. Sebaliknya, dualisme tersebut justru membuat sistem pengawasan yang sudah ada tidak berja lan efektif.
Selain perbaikan pengawasan, RUU Jabatan Hakim harus segera disahkan untuk mempercepat reformasi lembaga peradilan. Dalam aturan itu, sebagian poin berkaitan dengan integritas hakim. Dengan begitu, tidak ada lagi hakim yang berbuat curang. Apalagi menerima suap atau terlibat praktik korupsi. ”Semua itu untuk mempercepat reformasi lembaga peradilan,” bebernya.
Sebagaimana diketahui, MA sejatinya memiliki instrumen untuk mencegah praktik korupsi di lembaga peradilan. Yakni Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 9/2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistleblowing System) di MA dan badan peradilan di bawahnya.
Pengaduan itu bisa dilaporkan melalui berbagai cara. Antara lain lewat aplikasi Siwas MA di situs MA, layanan pesan singkat (SMS), surat elektronik ( e-mail), faksimile, telepon, meja pengaduan, surat, dan kotak pengaduan yang ada di seluruh lembaga peradilan. Semua indikasi pelanggaran bisa disampaikan melalui sistem itu. Misalnya pelanggaran kode etik serta perilaku menyimpang hakim dan panitera.
Ketua Muda Pengawasan MA Hakim Agung Sunarto menegaskan, pihaknya bekerja sama dengan Bidang Pencegahan KPK untuk merumuskan sistem pengaduan dan pengawasan yang baik. Dengan demikian, badan peradilan di seluruh tanah air bisa diawasi secara ketat. ”Kalau informasinya (masyarakat, Red) berkaitan dengan gratifikasi, kami serahkan ke KPK,” ujarnya.
Di sisi lain, KPK berupaya menelusuri keterlibatan hakim lain dalam praktik korupsi di lembaga peradilan. Baik di Pengadilan Tipikor Bengkulu maupun Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan ( Jaksel). Sebagaimana diketahui, sejumlah aparatur di dua badan peradilan itu samasama terjaring OTT KPK dalam kurun waktu kurang dari satu bulan terakhir. ”Indikasi keterlibatan pihak lain terus kami dalami,” tutur Juru Bicara KPK Febri Diansyah kemarin.
Khusus untuk kasus dugaan suap di PN Jaksel, KPK kemarin memperpanjang masa penahanan selama 40 hari untuk tiga tersangka. Yakni Tarmizi (panitera pengganti), Akhmad Zaini (advokat), dan Yusuf Nafik (Dirut PT Aquamarine Divindo Inspection).
KPK juga memanggil sejumlah aparat PN Jaksel terkait dengan kasus itu. Antara lain hakim Agus Widodo, Djarwanto, dan Djoko Indiarto serta panitera I Gede Ngurah Arya Winaya. Empat orang tersebut diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Tarmizi. Berdasar informasi, Tarmizi mengakui bahwa uang rasuah juga mengalir ke sejumlah pihak. ”Saya hanya ditanya soal struktur organisasi dan tugas panitera,” kata Arya setelah menjalani pemeriksaan. Dia mengaku tidak tahu banyak soal Tarmizi. Sebab, dia baru bertugas di PN Jaksel Juni lalu. ”Saya tahunya dia tugasnya di panitera, mendampingi hakim,” tuturnya. (tyo/c11/agm)