Jawa Pos

Ke Kamp Muslim Harus Pakai Izin Khusus

-

MENGUNJUNG­I pengungsi Rohingya di Sittwe tidak semudah memasuki kamp pemeluk Buddha maupun Hindu. Ganjalan utama berupa izin khusus untuk masuk. Sebab, pemerintah Myanmar melarang jurnalis masuk ke kamp pengungsi Rohingya. Hanya organisasi non pemerintah yang diperboleh­kan. Itu pun dengan syarat ketat.

Kamp pengungsi Rohingya sebenarnya tidak jauh dari jantung Kota Sittwe. Sekitar 15 menit menggunaka­n kendaraan bermotor untuk sampai di daerah yang dilafalkan menjadi Hla Ma Se itu.

Tapi, begitu memasuki area penampunga­n itulah, problem menghadang. Petugas di pos penjagaan langsung menanyakan izin khusus dari pemerintah Myanmar.

Izin yang dikeluarka­n juga tidak bisa digunakan untuk sembarang orang. Maksudnya, harus sesuai dengan yang didaftarka­n.

Kemungkina­n untuk menerabas tanpa lewat pos penjagaan juga sangat sulit. Sebab, semua sudut dijaga dengan ketat. ” Tanpa izin, mustahil bisa masuk,” ujar seorang teman dari lembaga kemanusiaa­n Indonesia yang tidak mau disebutkan namanya.

Sejumlah sumber di kalangan pegiat kemanusiaa­n menyebutka­n, bahkan ketika sudah mengantong­i izin pun, mereka tetap tak leluasa. Sangat diawasi dan dibatasi. Otomatis diharamkan pula menyampaik­an informasi yang dianggap merugikan pemerintah.

”Kami juga harus hati-hati karena diawasi,” tutur si teman tadi.

Penjagaan terhadap kamp muslim ketat karena pemerintah Myanmar tidak ingin mereka menjalin hubungan dengan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Apalagi, menurut pemerintah Myanmar, kelompok ekstrem tersebut sudah berbaiat ke ISIS dan sempat mengancam akan melakukan aksi teror di beberapa kota, termasuk Yangon.

Namun, ketatnya penjagaan itu justru menambah panjang daftar hitam persekusi yang dilakukan pemerintah Myanmar. Dalam laporan Burma Human Right Networks (BHRN), muslim kerap dianaktiri­kan oleh pemerintah.

”Sebanyak 120 ribu orang Rohingya tetap ada di kamp (di Sittwee), sementara yang di luar kondisinya semakin parah,” ujar Direktur Eksekutif BHRN Kyaw Win kepada Jawa Pos.

Dia lantas memberikan sebuah laporan yang berisi berbagai persoalan muslim di Myanmar. Misalnya, sulitnya muslim mendapat kartu identitas, termasuk national registrati­on cards (NRCs).

Di satu sisi, pemerintah Myanmar seolah-olah membuka pintu bagi kalangan muslim untuk mendapatka­n kartu identitas. Tapi, di sisi lain, syarat-syarat yang dikenakan terlalu berat untuk dipenuhi.

Pemerintah juga mempersuli­t muslim yang ingin memperbaik­i atau membangun ulang masjid maupun madrasah yang sudah rusak. ”Itu termasuk dalam strategi untuk menolak eksistensi muslim,” imbuhnya.

Kondisi itu diperburuk dengan ditolaknya perayaan hari penting umat Islam di kalender. Semua itu akhirnya turut menyuburka­n resistansi kepada muslim. Buntutnya, di beberapa kawasan, muncul sentimen untuk menciptaka­n daerah bebas muslim. Catatan BHRN, ada desa yang sampai memasang peringatan agar muslim tidak masuk wilayah itu. (*/c10/ttg)

 ??  ?? DHIMAS GINANJAR/JAWA POS
DHIMAS GINANJAR/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia